Minggu kedua setelah malam itu aku tak lagi melihat Ayas, dia benar-benar seperti menghilang ditekan bumi. Tak lagi datang ke rumah bahkan di kantornya Mamah bilang tak menemui Ayas. Di tengah rasa masa bodohku rasanya bohong kalau aku tak memikirkannya. Walau bagaimanapun dia masih suamiku. Bukan kah menang seharusnya aku peduli?
"Key, ngelamun lagi?" Tiba-tiba Mamah sudah ada di hadapanku. Pagi ini cuaca cerah dan mentari sudah terasa hangat meski baru jam setengah tujuh.
"Mikirin Ayas ya? Kalau Ayas pulang bilang ke dia Mamah minta maaf karena tempo hari mengusirnya."
"Bukan salah Mamah kok, jadi gak usah minta maaf. Ayas aja yang keterlaluan."
"Jangan gitu, Key. Bagaimana pun dia suamimu dan yang menjagamu selama ini. Jadi maafkan kesalahannya."
Ah tidak tahu kah Mamah kalau dulu aku sering mendapatkan kdrt dari Ayas? Ya, Mah memang tidak tahu karena dulu aku tak pernah bercerita. Dulu aku juga heran kenapa sebegitu cintanya sama Ayas? Di pelet kah? Ah ada-ada saja ini pikiran. Semakin ngaco cara pikirku.
"kalau misalkan Key mau cerai aja dari Ayas, gimana?"
Mama.yertegun seketika, ia menatapku dengan raut wajah tak percaya.
"Karena Ayas waktu itu memukul Seno dan menguncimu di kamar? Dia begitu karena cemburu padamu Key. Percayalah ini hanya ujian rumah tangga kalian."
"Tapi Key udah gak cinta sama Ayas," timpalku jujur.
"Karena ada Seno? Karena kamu sudah kembali berhubungan dengan Seno dan nyaman dalam bayangan masa lalu? Berhenti membandingkan Key, rumah tanggamu sudah berjalan dua tahun dengan Ayas tidak kah ada sedikit saja kebaikannya yang bisa mengetuk pintu hatimu untuk bertahan dengannya?"
"Tidak, Mah. Key sudah bosan."
"Begitulah Key, namanya rumah tangga pasti ada bosannya. Pasti ada masalah dan juga pasang surutnya. Namun Key, dari semua masalah itu kalian akan sama-sama tahu dan paham karakter masing-masing. Jika kalian menghadapinya bersama maka kalian akan lebih bisa menerima dan saling menyayangi dengan tulus. Bertahan lah Key, suatu hari nanti pasti kamu menemukan kebahagiaan bersama Ayas." Mama bertutur lagi, ia mungkin sedang membujukku. Membujuk agar aku baikan dengan Ayas.
"Oke, Key akan menuruti permintaan Mamah tapi kalau Ayas sudah berhubungan dengan lain wanita maka tak ada maaf lagi baginya, Mah," tegasku.
"Iya Sayang, Mamah paham kalo memang kasusnya menduakan. Kamu boleh berhenti dan melepaskannya. Sekarang coba hubungi Ayas dan tanyakan dia ada di mana, suruh pulang. Mamah berangkat dulu ya," ucap Mama seraya mencium keningku sebelum berlalu.
Aku harus menghubungi Ayas? Bisa-bisa dia besar kepala. Oh ayolah Key, setidaknya kamu melakukan ini di Mamah, ucapku dalam hati.
Dengan setengah hati akhirnya aku mulai mendial nomor Ayas dan sambungan telepon tersambung, tapi belum juga di angkat. Samapi dua kali aku ulangi tetap saja telepon ini tak terhubung. Sudah lah, aku lelah.
Hari ini setelah sarapan aku segera bersiap, nyekar ke makam Ayah setelah itu mau beli kucing buat dipiara.
Baru saja selesai mandi kudengar pintu kamar diketuk dari luar.
"Siapa?" teriakku dari dalam.
"Bibi Neng."
"Masuk aja, Bi. Gak dikunci kok."
"Iya," sahutnya. Sedangkan aku masih mengeringkan rambut dengan hair dryer. Tak kudengar suara Bi Ijah lagi, bukan kah tadi dia mengetuk pintu? Baru saja akan membalik badan aku terkejut oleh sebuah pelukan erat di pinggang. Reflek aku menepisnya dan mendorong tubuh seseorang di belakangku.
"Ayas?" Aku setengah terpekik, menatapnya dan ada yang aneh. Mata Ayas merah dan tercium aroma anggur yang sangat kuat. Aku nyaris mual karena tak tahan dengan baunya. Ayas mabuk, jalannya saja sempoyongan dan kini mulutnya meracau tak jelas. Ya Tuhan, dadaku semakin sesak menyaksikannya. Kenapa dia bertingkah sekacau ini?
"Kau tau? Semua orang di dunia ini bisa berubah. Orang jahat aja bisa baik begitu juga orang baik. Kau tahu?" Ayas tertawa tak jelas. Aku menatapnya iba, ya nyatanya kemarahan dan kekesalanku waktu itu seolah menguap begitu saja karena tak tega melihat Ayas seperti ini. Apakah dia begini gara-gara aku?
"Ganti bajumu," ucapku sambil melemparkan kaos berwarna biru padanya yang kini telentang di kasur.
"Aku bisa gila tanpa kamu, Khayra," ucapnya lagi.
Ada yang bilang bahwa omongan orang yang mabuk itu jujur, ia jujur perihal hati dan apa yang ia rasakan. Kalau benar Ayas mencintaiku, kenapa dia begitu sering menyakiti? Ada satu hal yang belum terkuak, ada satu hal yang belum mampu kuingat. Tentang perjanjian itu, perjanjian Ayah terhadap Ayas. Tapi apa? Kenapa sampai sekarang ingatan itu belum juga kembali ke memori otakku.
"Khayra, jangan tinggalkan aku." Terdengar Ayas kemabli meracau. Aku segera mengenakan pakaianku dengan terburu-nuru dan beranjak keluar kamar menutup pintunya. Membiarkan Ayas agar tertidur dan saat nanti ia bangun dan juga sadar dari mabuknya akan aku interogasi dia sedetil mungkin. Kenapa dia sampai memilih mabuk? Ini keterlaluan. Aku sama sekali tak suka. Setelah dua minggu Ayas tak pulang dia malah mabuk seperti ini. Sebenernya apa yang dia lakukan selama dua Minggu tak pulang?
Kenapa juga aku jadi kepo? Bukan kah ketika itu aku benar-benar tak peduli? Oh ayolah hati dan kepala, kalian bekerjasama untuk klop. Kalo memang sudah tak peduli ya tak peduli aja, bukan malah kepo ke mana Ayas selama dua Minggu ini? Benar-benar tidak sinkron.
Aku meraih pasmina hitam yang kebetulan ada di jemuran samping rumah, mengenakannya tanpa peniti dan memilih naik metik menuju ke makam Ayah. Sebelum ke malam kusempatkan untuk membeli bunga.
Melewati barisan makam hatiku terasa pedih, sedih bercampur satu dengan rindu. Ayah ... Semoga kau ditempatkan di tempat yang indah.
Aku nyekar sendirian, ya karena memang aku sedang ingin sendiri. Di makam ini aku bisa meleburkan rindu.
"Maaf Yah, Key mungkin belum bisa jadi Putri Ayah yang baik. Key rasanya tak bisa meneruskan hubungan Key dengan Ayas. Dia terlalu egois Yah, dia kasar. Seandainya Key ingat apa yang Ayah katakan perihal Ayas sebelum Key mantap memutuskan menerimanya, mungkin Key punya alasan lagi untuk bertahan. Ayah, Key rindu." Mengungkapkan itu air mataku merebak tak tertahan. Aku seperti bicara langsung pada Ayah meskipun cuma batu nisannya yang terlihat.
Panas matahari siang sudah sangat terik, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Berharap sampai di rumah Ayas sudah sadar dari pengaruh alkohol. Aku tidak tahu kenapa rasanya begitu berat untuk menerima Ayas, padahal dia masih suamiku. Mungkin ingatan-ingatanku yang telah kembali adalah penyebab ya karena memang aku mengingat semua perlakuan Ayas dulu. Salah kah jika aku membencinya? Dia dulu begitu semena-mena. Aku juga ingin tahu siapa perempuan yang dibawanya malam itu? Apakah dia pacarnya Ayas? Kalau iya, maka berpisah dengannya akan terasa begitu mudah.
Sepanjang jalan pulang pikiranku malah tak henti memikirkan Ayas. Aku kenapa? Inikah yang dinamakan cinta? Membenci setengah mati tapi terus terpatri tentangnya dalam pikiran dan sanubari?
Kemarin-kemarin aku bersikeras ingin berpisah dengan Ayas, tapi saat melihatnya tadi pulang dengan kondisi berantakan dan meracau tak karuan kenapa jadi kasihan?
Sialan sekali bukan?
Sampai rumah, terdengar adzan Dzuhur. Bi Ijah menghampiriku dan memberitahu kalau Ayas jatuh di kamar mandi, kepalanya membentur keran dan berdarah.
"Terus Ayas di mana sekarang?" tanyaku sedikit panik.
"Di kamarnya Neng, tadi manggil bibi cuma minta tolong ambilin kotak obat. Lukanya udah dikasih Betadine dan udah dipakein kasa. Bibi kaget banget karena tadinya darah di pelipis Tuan Ayas gak berhenti-henti. Tapi setelah dikompres pake air es akhirnya berhenti juga." Penuturan Bi Ijah membuatku akhirnya segera berjalan menuju kamar.
Saat pintu kamar terbuka, aku mendapati Ayas masih berbaring dengan mata terpejam. Ternyata bajunya sudah ganti dan dia terlihat sudah mandi, rambutnya masih basah. Pandanganku beralih melihat pelipisnya ada kasa yang warnanya merah, darahnya tembus ternyata. Aku meraih kasa baru dan perlahan menggantinya pelan-pelan. Ayas menggeliat pelan kemudian ia membuka mata. Sedikit terkejut karena melihatku di dekatnya.
"Khayra," gumamnya. "Aku minta maaf."
"Istirahatlah, kamu butuh istirahat setelah untuk menetralkan kinerja otakmu yang kacau. Oh iya sudah berapa botol wine yang kamu minum?"
Ayas terdiam, dia sama sekali tak menjawab pertanyaanku dan memilih menunduk.
"Sekarang jam berapa?" tanyanya kemudian.
"Setengah satu."
"Aku harus berangkat," ucapnya.
"Berangkat ke mana?"
"Mau ikut?"
"No. Aku di rumah saja. Pergilah kalau memang mau pergi."
"Hanya sebentar, setelah itu aku kembali lagi ke sini." Ayas mengenakan jaketnya, menyisir rambut sebentar lalu ia pergi begitu saja. Diam-diam aku penasaran, sepenting apa kah kepergiannya itu? Hingga saat pelipisnya luka aja dia memaksakan tetap pergi. Karena tak mau penasaran dibuatnya, aku sengaja mengikutinya. Mengikuti mobilnya dengan metik yang iuebdarai dengan jarak lumayan jauh. Agar Ayas tak menyadari bahwa aku mengikuti.
Aku kira tempatnya dekat tapi ternyata butuh waktu dua jam untuk sampai. Ya, akhirnya sampai di sebuah restoran yang tidak terlalu besar. Ada ucapan peresmian di sepanjang jalan menuju parkiran dan halaman resto. Sekumpulan orang berdiri di dekat pintu. Ada nasi tumpeng dan juga pita panjang di dekat pintu masuk resto. Aku yakin ini bangunan resto baru di daerah sini, dan mungkin hari ini adalah pembukaan sekaligus peresmiannya. Saat langkah Ayas menuju ke sana, mereka menyambut kedatangan Ayas dengan antusias. Aku masih mengamati sambil berjalan di belakang Ayas, berjarak sekitar tujuh langkah. Sengaja menjaga jarak agar tidak ketahuan.
"Selamat datang, Pak." Mereka menyambut Ayas secara kompak, mengiringi langkah Ayas dan memberinya gunting untuk memotong pita. Namun sebelum itu aku melihat beberapa perempuan membawakan tumpeng berwarna kuning dan meminta Ayas memotong bagian pucuknya. Ayas menoleh ke belakang dan tatapannya bertemu denganku, untungnya aku mengenakan masker dan tajin betul kalau Ayas tidak kan menyadari kalau ini aku, karena aku sudah berbaur dengan rombongan yang juga turut merayakan acara ini. Namun jauh di luar dugaan, ternyata Ayas melangkah menghampiriku, meraih lenganku dan mengajakku turut serta untuk menggunting pita peresmian.
"Berikan gunting dari lagi," pintanya. Dan seorang lelaki berjas hitam menyerahkan gunting itu, Ayas memberikannya padaku lalu ia berbisik.
"Kita potong pitanya sama-sama."
Aku mengangguk.
Tiga detik kemudian pita itu dipotong lalu setelahnya teluk tangan terdengar riuh. Beberapa orang saling berpelukan dan mengucap syukur. Acara bubar dan Ayas menggandeng tanganku masuk ke restoran. Memesan beberapa menu dan mempersilahkan aku untuk makan.
"Buka maskernya, aku sudah tahu dari awal kalau kamu mengikutiku dari rumah, Nona." Ayas kembali memanggilku 'Nona'. Dia tersenyum.
"Kalau tahu aku mengikutimu kenapa di jalan membiarkanku menyetir motor? sudah lah capek. Kepanasan pula." Aku bersungut kesal.
"Kadang perempuan keras kepala sepertimu sulit untuk ditebak Nona, sulit dimengerti juga, tapi sekarang aku tahu bahwa kau mencintaiku. Kalau tidak, mana mungkin mau mengendarai motor selama dua jam lebih untuk sampai di sini mengikutiku. Itulah kenapa aku membiarkanmu, selain ingin tahu aku juga percaya tipe wanita sepertimu bukan tipe yang lemah. Ayo makan, perutmu pasti lapar dan keroncongan setelah mengendarai motor selam dua jam tanpa henti."
"Sialan," umpatku.
Selesai makan, Ayas mengajakku langsung pulang. Kali ini aku memilih naik mobil bersamanya.
"Mau pulang ke mana kita?" tanya Ayas.
"Ya ke rumah lah." Aku masih menjawab dengan nada ketus.
"Ke rumah kita?" Ayas mengedipkan sebelah matanya.
"Maksud kamu?"
"Jangan pura-pura nggak tahu, bukan kah aku pernah mengajakmu ke sana?"
"Ke rumah besar kita yang dulu?"
"Tidak, Nona. Aku sudah tidak hidup di sana."
Oke aku mulai paham.
"Ke rumah yang baru dibeli ketika itu?"
"Ya," ucapnya cepat.
"Mau apa ke sana?"
"Aku menyiapkan kejutan untukmu."
"Kau mau menyekapku?"
"Ya Tuhan ... Apa aku begitu jahat sehingga di pikiranmu yang terlintas malah yang tidak-tidak?"
"Ya, kau jahat. Sangat jahat. Aku benci saat kamu memperlakukanku dengan kasar, benci saat tempo hari kamu menghajar Seno dengan brutal, benc ...."
Mobil menepi dan berhenti mendadak. Ayas menatapku tajam, aku mulai ciut nyali. Apa jangan-jangan dia akan menyakitiku seperti yang sudah-sudah?
Namun tiba-tiba semua di luar dugaanku. Ayas mendekat, dia melumat bibirku dengan cepat, lembut dan menuntut. Kami terengah-engah setelahnya. Bibirku basah sedangkan hatiku dag dig dug tak karuan bercampur gelisah. Apa yang sebenernya Ayas lakukan tadi?
Ciuman atau hanya sedang mengetes-ku saja?
Aku ingat ini adalah ciuman Ayas yang kedua. Dua-duanya selalu sukses membuat jantungku berdebar lebih kencang. Apa iya ini yang dinamakan cinta? Hanya saja aku masih tak ingat bagaimana dulu aku mencintainya.