Ini adalah Minggu pertama aku kembali kontrol ke rumah sakit. Aya yang mengantar karena Mamah sedang ada urusan terkait usahanya. Menjadi anak tunggal sepertiku nyatanya merasa kesepian apalagi setelah tahu bahwa Ayah telah tiada rasanya duniaku hening seketika.
Riang tunggu pasien hanya tersisa beberapa orang, Ayas sedang mengurus administrasi di ruangan yang tak begitu jauh dari tempat aku duduk sekarang. Aku membaca plang nama yang tertera di bagian ruang praktek dokter yang sekarang akan mengontrol dan memeriksa kondisiku. Dr Aji Gumilang.
Lima belas menit berlalu kemudian namaku dipanggil. Aku yang mengenakan kursi roda ini tak begitu kesulitan untuk bisa sampai ke ruangan dokter, lagi pula kursi rodaku ada tombol pencet yang bisa langsung bergerak sesuai yang kita inginkan.
Baru saja tanganku hendak meraih handle pintu, seseorang dari belakang membukakannya dan saat menoleh ternyata itu Ayas. Lelaki jarang senyum yang selama ini menjagaku.
"Masuklah," ucapnya saat pintu sudah ia buka lebar. Aku segera masuk dengan memencet tombol kursi roda warna hijau, Ayas pun mengikuti dari belakang.
"Selamat siang Kak Khayra," sapa lelaki berjas putih itu, kini ia berdiri dari posisi duduknya.
Aku tak langsung menjawab melainkan menelisiknya terlebih dahulu. Wajah itu seperti tidak asing. Mirip Seno sekilas, astaga aku baru ingat kalau nama Seno adalah Seno Gumilang. Dan yang di depanku ini adalah Aji Gumilang yang tak lain adiknya. Dulu aku sering sekali bertemu dengannya di rumah saat aku menyempatkan diri ke rumah Seno.
"Kamu Aji?"
"Ya, senang bertemu kembali dengan Kak Khayra." Lelaki itu menyodorkan tangannya mengajakku berjabat, aku menyambutnya dengan senyum .
"Jadi kamu sekarang udah jadi dokter?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Iya, berkat doa Kakak juga sih. Kan dulu Kaka Khayra yang terus saja menyemangati Aji."
"Oh ya?" tanyaku antara ingat dan tak ingat. Semoga dia tahu bahwa ingatanku tak sesempurna dulu.
"Hmm dokter, Khayra ingatannya tidak penuh. Sebagian memorinya hilang." Kali ini Ayas angkat bicara.
"Saya tahu, Pak. Saya sudah baca riwayat yang tercantum di buku medis tentang Kak Khayra. Kakak suaminya ya?" tanya Aji sambil menatap ke arah Ayas.
"Ya, betul saya suaminya."
"Kalau begitu saya langsung memeriksa kondisi Kak Khayra dulu ya. Anda boleh tunggu di sana." Aji menunjuk kursi besi yang berada di sudut ruangan. Ayas akhirnya melangkah dan duduk di sana, mengawasiku yang kini sedang diperiksa.
"Kak Khayra kenapa bisa lumpuh seperti ini?" tanya Aji pelan.
"Kecelakaan."
Tiba-tiba terlintas dalam benakku untuk menanyakan tentang Seno.
"Seno sekarang di mana, Ji?"
"Lagi tugas di luar kota, mungkin satu bulan lagi juga balik ke rumah."
"Apakah Seno sudah menikah?" Pertanyaan itu keluar dari mulutku begitu saja, tanpa terencana.
"Belum Kak. Mungkin belum bisa move on," jawabnya sambil tersenyum. Aji terlihat gagah dan tubuhnya yang dulu kerempeng itu kini semakin berisi. Dulu Seno bilang dia kerap sebal pada adiknya yang berotak jenius ini, Seno selalu di anak nomor duakan dalam keluarga karena keluarganya lebih perhatian pada Aji. Wajar kukira Aji anak baik yang selalu patuh pada orangtuanya sedangkan Seno jangankan patuh, kuliah aja dia banyak bolos dan gak masuk. Tapi yang aku tahu, Seno adalah putra sulung yang kreatif dan mandiri. Buktinya dia mampu kuliah sambil bekerja dan tak lagi menyusahkan orangtuanya. Kemandiriannya dan tanggung jawabnya sudah benar-benar teruji menurutku. Itu mengapa aku dulu jatuh cinta padanya. Setiap anak itu punya karakter berbeda, mereka memiliki keunikan yang berbeda jadi kenalilah mereka dan jangan bandingkan dengan siapa pun karena mereka semuanya punya keunggulan masing-masing. Begitu yang pernah aku dengar dari psikolog anak terkenal di Indonesia ini.
"Pemeriksaan sudah selesai setelah ini Kak Khayra terapi berjalan ya. Tempatnya di ruangan Anggrek nomor 45, di sana akan ada perawat yang membimbing. Nanti aku juga ke sana Kak, setelah beres menerima pasien terlebih dahulu." Penjelasan dari Aji membuatku paham.
"Thanks ya, Ji."
"Sama-sama, Kak. Aku turut sedih dengan kondisi Kakak yang sekarang tetapi Aji yakin kok kalau Kaka bisa kembali pulih seperti sedia kala yang penting rutin kontrol dan latihan jalan pelan-pelan ya."
"Iya, Ji. Makasih ya."
Seno menghampiri dan ia mendorong kursi roda yang kududuki menuju keluar ruangan.
"Siapa dokter itu?" tanya Ayas saat kami sudah berada di koridor rumah sakit.
"Adiknya Seno."
"Oh," jawabnya singkat.
"Kita ke ruangan Anggrek nomor 45."
"Baiklah," jawabnya.
Sampai di sana, beberapa perawat mulai membantuku untuk memulai terapi. Mereka membantuku untuk berdiri meskipun kaki ini rasanya lemas dan bergetar.
"Pelan-pelan ya, Sus. Isteri saya sedang lemah kondisinya," ucap Ayas. Aku menoleh ke arah lelaki gondrong itu. Dia cukup perhatian tapi mengapa selama menikahiku dia tak menyentuhku? Apa yang salah? Apa aku tidak menarik atau doa yang tak normal? Astaga aku menepuk kening sendiri saat pikiran itu terlintas begitu saja dalam benak.
'Sudahlah, Key, kamu aja baru tahu kok kalau Ayas adalah suamimu jadi jangan berpikir yang aneh-aneh. Ingatanmu perlu pemulihan dan perbaikan, pelan-pelan saja,' batinku.
Sepuluh menit berlalu dan aku baru bisa mencoba berdiri tanpa melangkah sejengkal pun. Perawat itu sedikit kesulitan saat mengarahkan dan juga menuntunku.
"Cukup, Sus. Biarkan saya yang mengambil alih tugasnya." Dari arah pintu ruangan Aji masuk dan langsung memegangi besi stainless alat yang aku pegang saat ini.
Dia orang suster itu akhirnya mundur ke belakang, sedangkan Ayas mulai menatap Aji dengan wajah tak suka. Apakah Ayas cemburu?
"Ayo Kak, mulai paksain melangkah sedikit demi sedikit." Aji memposisikan dirinya di belakangku. Aku mulai menggerakkan kaki kanan dan rasanya sudah sekali.
"Kebas atau gimana rasanya?" tanya Aji.
"Berat dan kaku."
"Sebentar biar aku pijit di titik syaraf dan otot kakinya." Aji segera membungkuk dan ia mulai memijat bagian tungkai kaki dan juga telapak kakiku pelan.
"Nah sekarang coba lagi, pelan-pelan gerakin kakinya."
Aku menurut dengan perintah Aji dan entah di detik ke berapa akhirnya bisa juga menggerakkan kaki dan maju pelan-pelan. Aji memposisikan tubuhnya di sampingku untuk membantu mengarahkan. Saat mulai melangkah kakiku kembali bermasalah, entah karena aku juga tidak begitu paham hanya yang kurasakan kali ini adalah ngilu dan juga jemper di bagian belakang lutut. Pegangan tanganku di rangka besi melesat dan aku terjatuh tapi tidak ke lantai melainkan ke pelukan Aji, Ayas menatap dan ia berlari menghampiri.
"Biar saya saja, dok." Ayas meraih tubuhku dan membimbingku untuk kembali duduk di kursi roda.
"Oke terapi kali ini kayaknya cukup. Kamu butuh refleksi dan pemanasan dulu lain kali. Tiga hari lagi kita ulangi terapinya ya Kak," ucap Aji. Setelah itu dia permisi keluar.
"Kita pulang aja kalo gitu," putusku kemudian.
"Ya memang pulang, memangnya mau di sini terus apa?" Entah mengapa jawaban Ayas terkesan sangat jutek.
"Kamu kenapa, Bung?" tanyaku meliriknya.
"Tidak apa-apa."
"Tapi dari tutur bicaramu yang jutek itu aku yakin ada apa-apa."
"Hanya tidak suka saja dokter itu terlalu dekat denganmu, Nona," jawabnya kemudian.