Siapa sebenernya kamu, Bung?

1125 Kata
"Seno mana Tante?" tanyaku kemudian. Tante Sari yang tadi memelukku kini melepas pelukan dan meraih segelas teh hangat. Diminumnya hingga tersisa setengah gelas. "Ayo Key diminum," ucap Tante Sari menyilahkan. "Iya Tante nanti juga Key minum kok. Jawab dulu pertanyaanku." Tante Sari terlihat menarik napas kemudian tatapannya tertuju padaku. "Seno ada, dia masih di kamarnya." "Boleh kah Key bertemu Seno?" "Lima belas menit lagi Tante ada pertemuan penting di luar Key, maaf Tante gak bisa temenin kamu di sini," ucapnya. Apakah Tante Lisa sengaja mengatakan demikian untuk menghindari permintaanku tadi? Atau secara halus untuk memintaku pulang? Namun aku tidak mau pulang jika belum bertemu dengan Seno. Pokoknya dengan cara apa pun aku harus bisa bertemu dengan Seno dan menanyakan banyak hal. "Aku gak papa kok Tante, tapi pliis aku ingin ketemu Seno." Tante Sari terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya dia melangkah ke lantai atas dan membiarkanku sendiri di ruangan ini. Semoga saja Tante Sari memberitahukan Seno bahwa aku ada di sini. Ponsel dalam tas berdering, aku segera meraihnya dan terlihat dalam layar yang berpendar itu sebaris nama Ayas. Apakah aku harus mengangkatnya sekarang? Tidak, Atas tak boleh tahu kalau aku sedang ada di sini untuk menemui Seno, akhirnya kuputuskan untuk menekan tombol silent. 'Maaf Ayas aku harus menemui Seno dulu, kamu tak boleh tahu karena mungkin akan membuatmu cemburu. Aku ke sini hanya untuk bertanya dan mendapatkan jawaban yang sebenernya, karena bertanya padamu juga percuma dengan kamu tak pernah mau menceritakan apa-apa tentang kita,' batinku. Suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga, aku yakin itu Tante Sari. Benar saja dia sudah berganti baju dan juga sudah rapi. Wajah cantiknya terpoles makeup ringan. Langkahnya mulai mendekat ke arahku, dia duduk sebentar di sampingku. Tersenyum ramah. "Seno akan turun dari kamarnya sebentar lagi. Tante tinggal dulu ya, karena ada hal penting di luar yang mesti Tante urus. Kamu jangan pulang sendirian nanti biar Seno yang antar," tutur Tante Sari. "Iya Tante," jawabku singkat. "Ya sudah Tante berangkat dulu ya, Key." Tante Sari kemudian berlalu dari hadapanku. Terdengar suara mesin mobil dinyalakan lalu tak lama kemudian suara mobil itu mulai menjauh hingga tak terdengar lagi suaranya. Itu artinya Tante Sari telah benar-benar pergi. Tinggal aku sendirian di rumahan ini sambil menunggu Seno, harusnya dia segera turun dan menemuiku namun hingga lima menit berlalu dia tak kunjung muncul. Aku menghela napas kesal, kenapa Seno tak juga muncul padahal aku tak ingin berlama-lama di sini hanya untuk menunggunya. Segelas minum kuraih dan kuteguk hingga tersisa sedikit di gelas. Saat meletakkan gelas di tempatnya aku sedikit terkejut karena Seno datang menghampiri. Seno sudah rapih dengan kemeja burgundi dan juga celana jeans berwarna hitam. Rambutnya rapih dan aroma sparkling menguar saat ia duduk berhadapan denganku. Dia tetap tampan seperti dulu, dia juga tetap murah senyum seperti dulu bedanya dia terlihat lebih dewasa kini. "Hai Key, sudah lama ya kita gak ketemu. Apa kabar?" sapanya seraya menatapku lekat. "Aku baik. Kamu apa kabar?" tanyaku. Pertemuan setelah sekian lama tapi aku merasa enjoy saja karena Seno pun terlihat santai dan tenang. "Aku juga baik. Ke sini sama siapa?" "Sendirian." "Nggak diantar Ayas?" tanyanya lagi. Aku menggeleng cepat. "Aku ke sini tanpa sepengetahuan Ayas." "Kok bisa? Bukan kah kamu sangat mencintai Ayas kenapa malah ke sini tanpa sepengetahuannya?" "Karena aku akan menanyakan banyak hal padamu, Sen." "Oh ya? Nanya apa?" "Apa yang membuatku dulu meninggalkanmu dan memilih Ayas untuk jadi suamiku? Bukan kah dulu kita saling mencintai?" Mendengar pertanyaanku Seno terperangah. Aku tidak tahu apakah dia kaget atau menganggapku gila, biarkan saja toh aku butuh info yang valid setelah kecelakaan itu merenggut sebagian memori ingatanku. "Seno jawab aku." "Yang benar saja Key? Kamu ngapain nanya itu ke aku, toh kamu yang mutusin demikian." "Kalo aku tahu dan ingat mungkin aku tidak akan menemui dan menanyakannya padamu." "Sebentar, apa maksud kamu? Kamu gak amnesia kan sehingga harus menanyakan hal seperti tadi?" "Aku amnesia dan separuh ingatanku hilang, Sen," jawabku kemudian. Seno terdiam dan menunduk, terlihat dua tangannya mengepal. Di sini aku mulai was-was apakah Seno sedang marah? "Apa yang dilakukan Ayas hingga membuatmu amnesia. Aku tidak akan memaafkannya." Seno berkata tegas. Dan aku malah tak mengerti kenapa Seno terlihat marah seperti sekarang. "Ayas bahkan tidak bercerita apa-apa selain memberitahu bahwa aku dan dia sudah menikah Hamit dua tahun lamanya." "Dan selama dua tahu itu dia menyakitimu." "Menyakitiku?" Aku menggumam tak mengerti. "Di mana Ayas aku ingin bertemu dengannya. Kalau dia tidak bisa menjagamu maka aku yang akan mengambilmu dari dia." "Seno, aku sama sekali tak mengerti ada apa sebenarnya? Aku datang ke sini untuk bertanya bukan untuk melihatmu marah seperti ini." "Aku tidak akan marah andai Seno bisa memperlakukanmu dengan baik. Kamu perempuan yang sangat aku cintai, Key. Kalau bukan kamu yang memohon waktu itu maka aku tidak akan pernah reka melepasnya untuk b******n itu." Berapi-api Seno mengatakannya. "b******n? Siapa yang b******n Sen?" "Laki-laki yang mengekang dan memukul istrinya adalah b******n," jawabnya. "Apakah Ayas seperti itu?" "Katakan di mana Ayas? Aku ingin bicara dengannya, Key." "Jawab pertanyaan aku, Seno." "Sudah lah Key. Kamu tidak akan paham lagi pula per uma aku jelaskan toh kamu sangat mencintai tau Ayas kan?" Aku menggeleng tegas, bukan itu yang ingin kudengar dari mulut Seno melainkan jawaban dari beberapa pertanyaanku tadi. "Seno jawab aku. Aku berhak tahu kan apa yang terjadi di masa laluku? Aku juga bingung kenapa bisa menikah dengan Ayas." Seno terdiam, mungkin kah dia sedang bingung untuk menjawabnya? "Sen, aku sengaja datang ke sini untuk mengetahui apa yang terjadi karena Ayas tak pernah mau memberitahuku. Aku harap saat kamu menjelaskan apa yang sebenarnya mungkin ingatanku perlahan-lahan mulai pulih lagi. Bantu aku untuk mengingat semuanya, karena hidup dengan ingatan yang hilang membuatku seperti orang linglung dan tak mengenal diriku bahkan tak mengenal suamiku." "Pulang lah, Key. Maaf aku bukannya mengisirmu tapi jujur mendengar dan melihatmu datang dengan cara seperti ini aku tak bisa mengendalikan emosi. Aku bisa saja membunuh Atas sekarang. Aku tidak terima kamu mengalami amnesia seorang ini." "Kenapa kamu terus menyalahkan Ayas? Kenapa Sen?" "Karena dia lah satu-satunya orang yang pantas disalahkan atas hilangnya ingatanmu." "Apakah Ayas yang membuatku kecelakaan dan hilang ingatan seperti sekarang?" tanyaku lagi. "Coba kamu tanyakan langsung pada Ayas sendiri. Kalau dia mengakui berarti dia cukup gentle tetapi kalau dia tidak mengakui maka dia lelaki pengecut dan tak pantas bersanding dengan kamu, Keyra." Ya Tuhan fakta apa ini, kenapa rasanya begitu sakit dan menusuk hingga ke lubuk hati? Ayas suamiku mungkinkah yang membuatku celaka? Tidak, Bung, aku masih tidak percaya kalau seandainya apa yang dikatakan Seno kali ini benar. Sungguh Bung, aku tidak percaya jika penyebab hangnya ingatanku adalah kamu. Kalau memang sejahat itu, kenapa kamu bisa bersikap baik padaku sejak aku bangun dan sadar dari koma? Kalau kamu jahat kenapa selama ini jadi sosok yang baik di depanku? Siapa sebenernya kamu, Bung?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN