Menemui Seno

1827 Kata
Hari-hari berikutnya terasa kelabu bagiku. Memilih diam dan menganggap Ayas tak ada adalah sebuah pilihan yang kuambil saat ini. Bukan tanpa alasan tetapi memang ini adalah caraku untuk menyembuhkan luka. Aku butuh waktu untuk menimbang, merasakan lalu membuat keputusan. Aku kecewa? Itu benar, kecewa karena akhirnya ingat bahwa Ayas pernah menyakitiku begitu dalam. Merasa dulu aku begitu bodoh bertahan di atas luka dan kebenciannya. Terlebih akhirnya peristiwa malam itu kini tercetak jelas dalam ingatan, bahwa Ayas membawa perempuan lain ke rumah. Mereka tidur di kamar dan malam itu aku benar-benar rapuh serta kecewa. Menangis sejadinya keluar rumah dan saat itu aku merasakan sebuah benturan hingga membuatku tak ingat apa pun lagi. Aku yakin itulah awal aku mengalami sebuah kecelakaan yang akhirnya membuatku hilang ingatan. Tuhan, kenapa kau kirim lelaki jahat macam dia dalam hidupku? Apakah dengan dia aku akan bisa menjalani bahtera rumah tangga dengan bahagia? Sedangkan dia sering kali kasar dan tak peduli dengan perasaanku. Lalu setelah aku sadar dari rumah sakit itu, dia mendadak bersikap baik. Apa yang sedang Ayas rencanakan? Mau apa lagi dia dariku? Tidak puas kah luka yang telah ditorehkannya untukku? Pagi ini aku kuputuskan untuk memberi makan ikan hias di kolam depan rumah. Melewati ruangan yang terasa lengang dan kulihat Bi Ijah masih sibuk menata menu sarapan di meja makan. Mamah masih belum pulang dari luar kota. Beliau sibuk dengan usahanya yang mulai berkembang lagi setelah kepergian Ayah. Aku yakin hanya dengan cara menyibukkan diri itu Mamah bisa membunuh rasa kesepian dan kehilangannya terhadap sisik Ayah. Yang aku tahu Mamah sangat mencintai Ayah begitu pun sebaliknya. Cahaya matahari yang belum begitu terang terasa hangat di tubuhku. Sengaja kupikir duduk di bibir kolam dengan menceburkan dua kaki ke air bening itu kemudian memberikan pakan ikan. Gerombolan ikan hias itu kini berebut makanan. Hal kecil seperti ini mampu membuatku tersenyum dan sejenak lupa atas rasa kecewaku terhadap Ayas. Entah sampai kapan aku akan memilih diam dan menghindar darinya. Nyatanya setiap kali ia mendekat aku sengaja membuat sekat. Aku hanya ingin memulihkan perasaan, menyembuhkan luka batinku di masa lalu dan berusaha tegar setelahnya. Jika akhirnya nanti aku masih belum bisa merasakan dan menemukan cinta di hati untuk Ayas, maka pilihan terakhirku adalah memilih untuk mengakhiri. Karena bagiku percuma saja bertahan dengan rasa yang hambar dan perasan yang terasa asing. "Khayra, ayo sarapan." Aku tahu itu suara Ayas namun aku enggan menanggapinya. Setiap pagi kerjaannya selalu begitu, mengingatkanku untuk sarapan dan sok perhatian pada hal lainnya. Dan seperti hari-hari kemarin aku hanya memilih diam lalu meninggalkannya saat ia terus membujuk. "Khayra," panggilnya. Aku masih tetap enggan menanggapi. "Kamu boleh marah, boleh pukul aku, tapi kamu harus makan. Aku nggak mau kamu sakit." Ayas berkata lagi dengan nada lebih tegas. Apa, dia tidak mau aku sakit? Padahal selama ini dialah yang menyebabkanku kesakitan, yang menyebabkanku hilang ingatan. Jika mengingat hal itu maka kebencian terhadap Ayas semakin besar saja. Entah dengan cara apa aku bisa memaafkannya, karena setiap kali ia mendekat dan berusaha baik, aku merasa muak. Di pikiranku yang terbayang tentang Ayas hanyalah kebencian dan kecewa. Aku ingin sekali membalasnya, agar dia tahu seperti apa ada di posisiku saat itu, saat ia mencampakanku di depan wanita itu dan menyakitiku bertubi-tubi sebelumnya dengan sikap dan ucapannya. "Khayra, kamu mendengarku, kan?" Lagi, Ayas berbicara sedangkan aku seolah menganggap tak ada dengan menyibukkan diri terus melemparkan makanan untuk ikan. "Khayra, pliis bicaralah. Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku di masa lalu? Jangan diam seperti ini, itu sabat menyakitkan," lirihnya. Apa dia bilang? Menyakitkan? Tentu saja aku senang karena dengan diamnya aku baginya menyakitkan mungkin melakukan hal lain bersama Seno akan lebih menyakitkan untuknya. Ya, mendadak aku punya sebuah ide gila, aku ingin membuat Ayas merasakan cemburu luar biasa lalu dia marah dan memutuskan untuk tidak lagi bersamaku. Ya, aku tahu caranya. Bukan hanya cara tapi memang entah mengapa aku ingin membalas semua perlakuan nya di masa lalu, agar dia merasakan apa yang dulu pernah aku rasakan. "Khayra, aku akan berangkat kerja. Pliis makan lah. Aku gak mau kamu sakit," ucap Ayas lagi. Sebelum beranjak dari sampingku dia mendekat mungkin untuk menyentuh tapi aku sigap menghindar dan berdiri lebih dulu kemudian masuk ke dalam rumah meninggalkannya yang mematung di tepi kolam hias. Setelah sampai pintu, aku meliriknya sekilas. Ayas sudah berjalan ke arah halaman dan membuka pintu mobilnya. Setelah itu terdengar deru suara mobil yang menjauh. "Neng, sarapannya udah Bibi siapin." Bi Ijah berkata saat aku melewati ruangan. "Iya, Bi makasih." "Sarapan dulu atuh Neng." "Ya, aku sarapan." Akhirnya kuputuskan untuk duduk di meja bulat berukuran sedang itu. Sendirian mengunyah roti selai dan minum s**u. Hening, lengang, sepi, hanya suara gemericik air yang terdengar dari aquarium besar di ruang tengah. Pikiranku sedang menyusun sebuah rencana untuk menyakiti Ayas. Kemudian terpikir olehku sebuah rencana yang melibatkan Seno untuk misi balas dendam ini. Ah ... Ya ampun apa aku sejahat itu? Ya, kurasa Ayas perlu mendapatkan balasan setimpal. Meski tidak kutahu setelah membalasnya hatiku akan puas atau tidak. Usai sarapan aku sengaja berkutat di dapur membuat setup roti makanan kesukaan Seno. Hari ini aku akan menemuinya, atau mungkin lebih baik Seno yang kusuruh kemari menemuiku. Sambil mengaduk adonan Fla, terlintas dalam benakku apakah nanti Seno akan marah karena kujadikan ia sebagai alat membalas dendam? "Neng, lagi bikin apa? Gak usah repot-repot atuh, kalau mau makanan teh bilang ke Bibi biar nanti Bibi yang bikinin." Bi Ijah tergopoh-gopoh menghampiri. "Nggak papa, Bi. Aku hanya bikin setup roti kesukaannya Seno. Mudah kok bikinnya." Bi Ijah melongo saat aku mengatakan bikin setup buat Seno. "Bibi kira Neng bikin itu buat Pak Ayas," ucap Bi Ijah kemudian. Ya, aku paham mungkin di pikiran Bi Ijah kini heran kenapa kau malah buatin makanan untuk Seno bukan untuk suaminya sendiri. Biarlah Bi Ijah bertanya-tanya karena aku malas untuk menjelaskannya. "Bi, tolong ambilkan wadah yang ada tutupnya ya." "Baik, Neng, tunggu sebentar." Bi Ijah memberiku wadah plastik tebal yang kedap udara. Aku menetap roti dan juga parutan keju di wadah itu lalu menuangkan Fla yang masih hangat ke dalam wadah tersebut. Selesai, dan aku membawa serupa roti itu ke meja. Membiarkannya hingga dingin lalu kumasukkan ke dalam freezer. Setelah itu aku segera mandi dan bersiap-siap. *** Tepat jam sepuluh pagi aku sudah sampai di rumah Seno. Saat mengetuk pintu yang membukakan pintu ternyata Aji. Lelaki itu menatap heran tapi kemudian mempersilahkan aku untuk masuk. "Key, kamu ke sini bukan untuk menemui Kak Seno, kan?" tanya Aji. "Memangnya kenapa kalau aku mau ketemu Seno?" Aku sengaja balik bertanya. "Ya enggak, heran aja gitu kan kamu udah punya suami. Masa iya masih nyambangin mantan. Gak baik, Key. Nanti suamimu marah." "Itu urusanku, Ji." Aji menggelengkan kepala, menatapku tak percaya. Mungkin di hadapannya kini aku bukan seperti Keyra yang ia kenal dulu. "Key pliis jangan libatkan Kak Seno dalam rumah tanggamu. Jangan kasih harapan apa pun lagi terhadap Kak Seno, dia sudah susah payah untuk merelakan mu dan memilih tetap sendiri setelahnya. Aku yang tahu bagaimana beratnya Kak Seno mengikhlaskanmu. Jadi tolong jangan membuatnya patah hati untuk yang kedua kali," tutur Aji dengan raut wajah memohon. Apakah memang aku setega ini? Ya, benar apa yang dikatakan Aji bahwa aku tak boleh membuat Seno merasakan patah hati yang kedua. Dulu aku yang meninggalkan dia di saat sedang sayang-sayangnya. Aku memilih memutuskan menikah dengan Ayas. Itu memang menyakitkan untuk Seno, namun ketika itu aku juga tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah permintaan dari orangtua. "Key, pulang ya. Maaf aku tidak berniat mengusirmu sama sekali. Aku hanya sedang berusaha menjaga perasaan Kak Seno agar ia tak terluka lagi." Aji kembali menuturkan. "Kalau aku ingin kembali pada Seno, bagaimana?" "Jangan gila, Key." "Aku serius, Ji." "Sudah lah, Key, kamu sudah memiliki kehidupan baru harus nya fokus dengan rumah tang ...." "Hei ... Keyra?" Sebuah sapaan membuatku menoleh ke arah sumber suara. Seno baru turun dari tangga dan ia mengenakan seragam untuk bersepeda, bahkan di tangannya ada helm sepeda. "Mau ke mana Sen?" "Biasalah goes sepeda bareng temen-temen. Tumben ke sini? Mana gak bilang-bilang dulu." Aku baru akan menjawab tapi Aji mendahului. "Kak, buruan berangkat gih." Aji seolah tak rela aku dan Seno bertemu. "Ya, nanti lima belas menit lagi." "Sekarang aja lah," ucap Seno bersikeras. "Lah kenapa kamu sibuk nyuruh Kakak buat ceker pergi? Lagi pula di sini ada Keyra. Sana kamu aja yang pergi," ucap Seno. "Nggak, aku mau di sini aja." "Tapi Keyra ke sini bukan untuk ketemu kamu, tapi ketemu kakak. Iya kan Key?" Seno melirikku. "Ya, tentu saja." Aku menimpali dengan cepat. Membuat Aji menatap tak suka padaku kemudian ia berlalu pergi. Seno duduk di seberang meja, berhadapan denganku. Ia tersenyum menatapku seperti biasanya. "Aku bawain ini untukmu, Sen." Wadah berisi setup roti itu kusodorkan padanya. "Apa ini?" tanyanya sambil meraih wadah itu lalu membukanya. "Setup ini pasti enak banget. Kamu sengaja bikin ini buat aku, Key?" tanya Seno lagi. "Ya, tentu saja. Makan lah." "Aku ambil sendok dulu ya ke belakang," ucapnya lalu ia beranjak pergi. Hanya sebentar kemudian ia sudah duduk lagi dengan menyantap roti buatanku itu. "Enak banget Key, aku suka," ucap Seno sambil makan dengan lahap. Sedangkan di sana, di atas tangga aku melihat Aji menatap tak suka ke arahku. Paham sekali, bahwa memang dia tak ingin aku menyakiti kakaknya untuk uang kedua kali. Maaf Ji, aku tidak berniat menyakiti Seno aku hanya butuh bantuannya untuk membalas sakit hatiku terhadap Ayas. "Hmmm sebenernya aku ke sini butuh bantuanmu Sen." "Apa yang bisa kubantu Key?" Seno menyudahi makannya, dia meraih botol minum dan meneguknya. Setelah itu ia fokus padaku. "Apakah kamu butuh bantuan agar aku menghajar Ayas? Kalau gitu dengan senang hati," ucap Seno seraya terkekeh pelan. Aku tahu dia tidak serius. "Bukan untuk menghajarnya. Aku hanya ingin kamu ke rumah dan membantu membuatkan rumah kucing, aku ingin miara kucing lagi. Setelah Mougli kucingku yang dulu mati. "Oh itu, oke gampang lah itu. Kucingnya udah ada belum?" "Belum. Rencana aku mau bikin rumah kucingnya dulu baru setelah itu beli kucingnya." "Ngapain beli, noh Si Puput udah beranak banyak. Minta aja sama Mamah pasti dikasih." Puput adalah kucing peliharaan Tante Lisa dari dulu, aku tahu Tante Lisa penyuka kucing jenis Persia. "Tapi Mamahmu belum tentu mengizinkannya untukku, Sen." "Kalau kamu yang minta pasti dikasih, Mamah kan sayang banget sama kamu, Key. Oh iya, aku harus buru-buru gabung bareng temen lain. Maaf ya aku tinggal dulu. Tapi nanti setelah goes aku pasti ke rumah kamu bantuin bikin rumah kucingnya." "Iya Sen, lagi pula aku juga udah mau pulang kok. Aku tungguin kamu di rumah ya." "Kamu pulang sendiri, Key?" tanya Seno lagi saat kami jalan bersama keluar rumah. "Iya." "Mau kuantar?" "Gak usah Seno, aku bisa sendiri. Lagian kamu juga buru-buru kan mau goes bareng rombongan?" "Hehe iya, Key." Seno menggaruk kepalanya. "Kamu gak papa pulang sendiri?" Aku melihat Seno bertampang khawatir. "Gak apa-apa, Seno. Gak usah khawatir aku baik-baik saja kok." "Yaudah hati-hati ya," ucap Seno yang kemudian mengantarku hingga masuk ke dalam taksi. Se-perhatian itu Seno terhadapku. Dari dulu dia memang begitu dan tidak berubah dari sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN