"Kenapa Key sampai bisa mengalami amnesia?"
Pertanyaan pertama yang aku dengar dari Seno terhadap Ayas.
"Kecelakaan." Ayas menjawab singkat.
"Jangan bilang kecelakaan itu kamu penyebabnya," tanya Seno lagi. Aku masih diam di sini mendengarkan dengan d**a bergemuruh kencang.
Lima detik sepuluh detik bahkan sampai lima menit berlalu aku tak mendengar suara Ayas menimpali. Ada apa? Kenapa Ayas tak juga menjawab? Apa memang benar kalau penyebab aku kecelakaan hingga mengalami amnesia itu karena Ayas? Kalo memang benar, betapa jahat Ayas memperlakukanku. Ya Tuhan, apa aku sanggup memaafkannya?
"Ayas jawab aku, atau kamu memang takut karena aku akan mengambil Key darimu?" Kembali kudengar suara Seno.
"Dengar! Kau tak berhak atasnya sama sekali. Dia isteriku." Kali ini Ayas menjawab dengan suara yang ditekan. Dari sini aku bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah Ayas yang berubah sangar dengan tatapannya yang setajam pedang.
"Lalu kamu merasa berhak terus memiliki Key dengan cara terus menyakitinya? Benar-benar lelaki pengecut. Ingat, mau berapa kali lagi kamu menyakitinya?"
"Semua orang bisa berubah, Sen. Aku tidak akan lagi menyakiti Khayra, aku mencintainya." Terdengar tegas suara Ayas.
Hatiku mulai gamang, antara mempercayai Ayas atau Seno. Namun dari sekilas pembicaraan yang sedang berlangsung itu aku bisa menyimpulkan bahwa memang sebelumnya aku kerap disakiti oleh Ayas. Ya Tuhan kenapa bisa seperti itu? Suami macam apa yang tega membuatku istrinya celaka hingga mengalami amnesia? Detik ini timbul rasa benci di hatiku terhadap Ayas. Kenapa dia pernah begitu tega terhadapku? Secinta apa aku dulu terhadapnya? Hingga bertahan dua tahun lamanya dengan kondisi rumah tangga yang bisa dibilang tidak baik-baik saja. Tak terasa bulir bening kini menggenangi kornea dan luruh begitu saja dari sudut mata. Aku segera mengusapnya karena tak mau ketahuan menangis. Aku juga tak mau ketahuan kalau sekarang sedang menguping pembicaraan.
"Kamu ingat? Terakhir kali aku menemuimu saat itu kau juga bicara yang sama seperti saat ini. Jadi apakah kau kira aku akan percaya lagi? Tidak, Ayas. Sam sekali tidak."
"Terserah kau saja, tapi demi apa apa pun aku tak akan menyerahkan Key padamu. Dia isteriku dan sekarang aku akan menjaganya dengan lebih baik."
"Kalau kau menjaga Key dengan baik, dia tidak mungkin datang ke rumahku dengan menanyakan apa yang terjadi di masa lalunya," ucap Seno.
"Kenapa?" tanya Seno lagi. Dan Ayas masih terdiam.
"Aku bisa saja membeberkan ini semua pada Mamahnya."
"Seno, aku mengakui pernah melakukan kekerasan itu di masa lalu. Jadi bisa kah kau tak mengungkitnya lagi?"
"Aku mencintai Keyra, aku tidak rela siapa pun menyakitinya. Termasuk kamu yang statusnya menjadi suami. Ngerti?"
"Oke, aku ngerti. Tapi aku juga tidak akan mengizinkan siapa pun mengambil Keyra dariku. Aku berjanji akan menjaganya dengan baik."
Tekat di saat itu aku memberanikan diri melangkah menghampiri Seno dan juga Ayas. Saat melihatku mereka berdua tertegun.
"Bagaimana kalau aku sudah tak mau lagi melanjutkan semua ini? Aku tak menyangka kalau kamu pernah sejahat itu terhadapku," ucapku tegas sambil menatap Ayas tajam.
"Kenapa kau ada di sini, Key?" tanya Ayas.
"Karena aku ingin mengetahui semuanya. Dan saat aku sudah tahu, demi apa pun aku membencimu Ayas." Mengatakan itu air mataku jatuh tak terbendung, aku berbalik dan melangkah menaiki anak tangga memutuskan untuk ke kamar dan mengunci diri.
Kenyataan ini terasa begitu menyesakkan, padahal di mataku Ayas adalah lelaki baik tapi ternyata di masa lalu dia lah yang menyebabkanku hingga seperti ini.
Aku menumpahkan semua kesedihanku dengan menangis. Bagaimana bisa aku melanjutkan hubungan ini bersama Ayas sedangkan hatiku sudah benci. Aku muak melihatnya yang sok baik itu, melihatnya yang sok peduli padahal dialah dalang di balik penderitaan yang kualami. Kenapa Mamah tidak tahu apa yang terjadi padaku? Apa memang aku yang selama ini menutupinya?
Sekarang kumohon Tuhan, kembalikan ingatanku agar aku bisa mengambil keputusan yang tepat.
Karena lelah menangis akhirnya tak terasa aku terlelap begitu saja.
***
Malamnya aku merasakan suhu tubuhku naik beberapa derajat. Mamah mengompres bagian kepala dan segera menyuruhku untuk meminum obat. Setelah minum obat ternyata tubuh ini menggigil hebat. Mama sampai panik melihatku yang terus menggigil dengan keringat yang bercucuran di seluruh badan.
"Ayas ...." Mama memanggil Ayas dan penglihatanku mulai memburam.
Suara derap langkah muncul dari arah pintu masuk, terdengar suara Ayas dan Mamah sedang berbicara. Entah apa yang mereka bicarakan karena kepala ini terasa sakit hingga tak peduli dengan sekeliling. Aku merasakan ada palu-palu yang terus menghajar kepala. Terasa ngilu dan menyakitkan.
Setelahnya kesadaranku antara datang dan tumbang, tapi aku masih sempat mengingat seseorang membopong tubu dan suara mobil berjalan. Setelah itu gelap dan aku tak mengingat apa pun lagi.
.
Aku membuka mata dan merasakan pengar, entah ini efek apa. Begitu sadar reaksi tubuhku malah mual, detik berikutnya aku muntah-muntah dengan tubuh yang masih lunglai. Muntahanku tercecer di mana-mana hingga mengenai baju dan juga kasir bangsal.
"Dokter, pasien sudah sadar tapi dia muntah-muntah. Tolong dok," ucap seseorang dengan nada panik.
Aku mengenal suaranya, itu adalah suara Ayas. Ke mana Mamah? Aku mengerlingkan pandangan ke sekeling ruangan. Ruangan serba putih dan berbau etanol, tidak ada Mamah di sini.
Dua orang perawat dan dokter lelaki masuk ke ruangan menghampiri bangsal temapt di man aku berbaring sekarang.
Dokter itu mulai memeriksa dan menempelkan alat di bagian perut atasku, mengecek tensi darah dan setelah itu ia mencatat di note. Aku tidak tahu kenapa bisa dirawat lagi. Apakah kondisiku cukup parah? Oh tidak, aku hanya mengigil dan sakit kepala. Kenapa Ayas malah membawaku ke rumah sakit. Dokter itu berlalu dan dua perawat perempuan itu mulai membersihkan bekas muntahanku, salah satu dari mereka membuka kancing Pitana yang kukenakan dan mengganti baju dengan yang bersih.
Aku dipindahkan di bangsal yang baru, kali ini dia sister itu meminta bantuan Ayas untuk membopong tubuhku. Aku sempat menolak dan bilang bahwa aku bisa sendiri tapi ternyata Ayas tak membiarkanku bergerak, dia langsung membopong dan meletakkan tubuhku di bangsal sebelah kanan ruangan.
Dai tetap diam dan aku juga malas untuk memulai obrolan. Bukan kah aku sedang membencinya? Jadi untuk apa aku mengajaknya bicara? Tidak penting.
"Silahkan istirahat, Bu. Ini masih dininhari, kalau Ibu butuh sesuatu maka tinggal pencet tombol di bagian samping ini ya," ucap salah satu perawat dengan wajah ramah. Ia menunjukkan kabel dengan mikrofon kecil yang tergantung di atas bangsal.
"Iya suster," jawabku. Setelah itu dua perawat btadu berlaku. Tinggal aku dan Ayas, Ayas duduk di kursi dengan mata yang terlihat menahan kantuk. Apa dia tidak tidur? Aku menoleh ke arah jam dinding yang menempel di tembok ruangan, jarumnya menunjuk ke angka 03.00 dini hari.
"Aku ingin minum," ucapku. Ayas langsung beranjak dari duduknya dan ia tak lama kemudian ia membawakan sebotol air mineral.
Saat ia menyodorkannya aku menolak. Karena aku ingin minum teh hangat.
"Aku gak mau minum air putih, Ayas. Aku maunya teh hangat," ucapju sambil melengos.
"Oke," jawabnya.
Lalu Ayas pergi lagi, tak berselang lama dia datang dengan segelas teh hangat. Ayas duduk di kursi dekat bangsal dan dia mulai menyebdokakn teh yang masih mengepulkan uap itu. Aku menolaknya dan bilang bahwa aku bisa minum sendiri. Ayas menyerahkan gelas teh itu padaku, matanya terlihat berat tapi aku tak peduli. Kuminta padanya untuk dibelikan roti.
Lagi-lagi Ayas tak menolak dan dia segera berakhir dari ruangan. Entah kenapa aku puas melihatnya susah dan repot. Apa ini bentuk dari rasa dendamku?
Ayas datang dan ia menyerahkan biskuit padaku.
"Aku maunya roti sobek yang lembut, Ayas. Kau tahu kan roti tawar lembut yang pake selai itu?" Aku menatapnya sinis.
"Oke, aku akan cari."
Ayas melangkah keluar dengan langkah gontai. Aku tersenyum jahat dari sini. Segelas teh sudah habis dan aku mulai merasakan kantuk, tak peduli dengan Ayas yang mungkin masih mencari roti di luar sana. Aku memutuskan untuk tidur dan tak ingin diganggu oleh siapa pun. Antara mimpi dan tidak, tiba-tiba saja ingatanku berputar pada peristiwa yang entah kutahu itu kapan, di sana aku mulai ingat tinggal bersama Ayas yang dingin dan congkak. Aku yang terus belajar memasak dan membuat rumah itu bersih dan juga nyaman. Sedangkan Ayas yang pulang kerja dengan wajah dingin dan tak menyapaku sama sekali, lalu ingatan-ingatan lainnya datang silih berganti. Aku melihat dan ingat semua perlakuan Ayas dan perasaanku saat itu. Ya Tuhan … apa ini? Aku mulai membuka mata dan duduk dengan napas yang terengah-engah. Apakah yang tadi itu mimpi buruk?