Benci Ayas

1039 Kata
"Ayas lepasin," ucapku sambil terus bergerak dan melepaskan diri darinya. "Nggak." "Lepas." Kali ini aku meninju dadanya berulang. Namun sialnya ia tetap bertahan dan tak bergeming sedikit pun. "Apa yang akan kamu lakukan?" Aku menatapnya tajam. "Aku tidak mungkin menyakitimu lagu, Khayra. Percayalah. Aku sangat mencintaimu," lirih Ayas seraya membenamkan wajahnya di ceruk leherku. Terasa hangat dan menentramkan. Buka kah seharusnya begitu? Namun ternyata aku sekarang membencinya. "Kenapa dulu memperlakukanku dengan kasar? Kenapa pernah menamparku?" "Karena ketika itu aku benci Ayahmu dan tak bisa dipungkiri aku juga cinta kamu, jadi saat itu aku melampiaskannya. Maaf. Karena aku yang salah." Aku mengernyitkan dahi, Ayas benci Ayah? Tapi kenapa dulu Ayah memaksaku untuk menikah dengannya? Oh ya, Ayas bilang karena sebuah perjanjian. Mendadak kini aku merasakan denyut nyeri lagi di bagian belakang kepala. Semakin aku berusaha mengingat maka semakin sakit kepal yang kurasa. "Kamu kenapa?" Atas menatapku khawatir saat sebelah tanganku memegangi bagian belakang kepala. "Lepaskan, biarkan aku sendiri di sini." "Aku hanya minta maaf atas semua kesalahan yang pernah kubuat padamu, Nona." Ayas berbakat lagi. "Aku ingin kita mengakhiri semuanya, Bung. Aku capek dan muak melihatmu." Mendengar kalimatku, Ayas tertegun dengan ekspresi menyedihkan. Tekat di saat itu aku melepaskan diri darinya dengan mudah. Ayas terdiam. Aku memutuskan untuk keluar dari kamar menuju dapur, rasanya tenggorokan ini terasa kering dan haus. Kuputuskan untuk membuka kulkas dan meminum air dingin di sana. "Jangan minum es. Kesehatanmu belum pulih sepenuhnya. Aku takut kamu drop lagi." Ayas ternyata sudah berdiri di belakangku. Dia meraih botol berisi minuman dingin itu dari tanganku. "Aku drop bukan karena minuman dingin, tapi karena ingat masa lalu kita seperti apa. Meskipun belum bisa kuingat seluruhnya tapi ternyata kita cukup punya hubungan yang sangat buruk." "Ya, aku tahu itu. Namun aku yakin kamu bertahan di posisimu saat itu bukan tanpa alasan." "Mungkin alasanku cukup bodoh, yaitu bertahan mencintaimu." "Tepat, tapi aku tidak setuju kamu katakan hal itu bodoh' karena aku menyadari kamu selalu tulus melayaniku." "Apa, melayanimu? Jangan ngaco, bung. Bukan kah kamu bilang kita nyaris tak pernah kontak fisik?" "Apakah kalimat melayani di kepalamu selaku berhubungan dengan hubungan ranjang? Astaga, pikiranmu luar juga Nona," ucap Ayas seraya tersenyum mengejek. Aku benci di posisi ini. Terlihat bodoh dan jadi sasaran empuk untuk diejek. "Pertimbangkan apa yang kuucapkan tadi di kamar," ungkapku sengaja mengalihkan pembicaraan. "Jadi kau serius ingin mengakhiri semuanya denganku, Nona?" Ayas menatapku tak berkedip. "Ya, kenapa tidak?" "Tanyakan pada hatimu, tanyakan juga pada perasaanmu sejauh apa kamu mencintaiku selama ini," timpalnya kepedean. "Jika ada hak yang bisa kutukar di masa lalu, maka aku tidak akan pernah mau menikah denganmu," tandasku. "Sombong sekali," gumamnya saat aku mulai melangkah pergi dari hadapan Ayas. *** Malam ini aku berdiri di depan jendela kaca, menatap bulan sabit berwarna pucat. Aku tak bisa tidur bahkan makan pun enggan. Berdua saja di rumah ini dengan Ayas membuatku malas, iya malas sekali saat bertemu atau tak sengaja berpapasan. Dia juga sering kudapati diam-diam memperhatikanku lebih intens. Aku berharap Mamah cepat pulang dari luar kota. Terdengar pintu diketuk dari luar. Aku malas saat mendengar suara Ayas memanggil namaku berulangkali dan memintaku membukakan pintu. "Khayra, keluar lah. Kamu bahkan belum makan apa-apa dari sore." "Nggak usah sok peduli," sahutku dari sini. "Aku jelas harus peduli, kamu isteriku dan malam ini harus minum obat agar kesehatanmu lekas pulih lagi," ucap Ayas dari luar pintu. "Nggak usah sok peduli. Aku benci kamu." Setengah berteriak kukatakan itu. "Terserah kamu mau benci aku sebesar apa, aku hanya minta kamu untuk makan dan jangan lupa minum obat." "Nggak mau." "Jangan keras kepala, Nona. Atau aku dobrak pintunya." Apa Ayas kura aku takut dengan ancamannya? Astaga, aku muak dan benci sekali. Ternyata dia memang se-kasar itu. "Aku benci kamu, Ayas!" teriakku. "Pergi kamu dari sini." Entah aku yang lupa mengunci pintu atau bagaimana, karena ternyata Ayas dengan mudahnya memutar gagang pintu kamar dan kini dia sudah berada ruangan lima kali enam ini bersamaku. "Ayo turun ke bawah, kita makan. Bi Ijah udah nyiapin makan malam buat kita." Ayas berdiri tiga langkah dari tempatku. "Aku bilang gak mau. Kamu aja yang makan." "Jangan ngeyel, Non. Aku gak mau kamu sakit lagi." "Loh bukannya kamu dulu denah ya bikin aku tersakiti?" "Tapi dalam hatiku tidak seperti itu." "Jangan coba membela diri. Memangnya aku percaya?" "Terserah kamu percaya atau tidak tapi sekarang ayo waktunya makan dan kamu harus makan." "Jangan maksa aku buat ini dan itu. Aku tetep gak mau makan apalagi sama kamu, Bung." "Apa perlu aku melakukan sesuatu." Ayas berujar tenang. "Kau mengancamku, Bung?" Aku menunjuknya dengan jari telunjuk. "Keras kepala," ujarnya sambil melangkah lebar ke arahku. Belum sempat aku menghindarinya, Ayas sudah membopong tubuhku dan kini menuruni anak tangga menuju ke arah meja makan. "Ayas lepasin aku, turunin sekarang juga." Aku terus meronta tetapi lelaki bertubuh atletis ini sama sekali tak menggubris. "Silahkan makan dan jangan berisik," ucap Ayas seraya menurunkan dan mendudukkan aku di kursi. "Sialan," umatku kesal. "Ayo makan." "Nggak mau." "Harus mau dong. Aku peduli dengan lambung dan juga kesehatanmu." "Hei ... Kemana saja selama ini, Bung? Bukan kah dulu kamu tak pernah pedulikan aku di rumah besar itu?" "Jangan samakan hak yang dulu dengan sekarang, Nona. Semua bisa berubah. Orang jahat tak selamanya jahat karena dia juga punya masa depan bersamamu," tuturnya sambil menyendokan nasi ke piring. "Tapi bersamamu bagiku cukup di masa lalu, Bung. Tidak untuk di masa depan." "Jangan banyak bicara, ayo makan." Ayas menyodorkan sepiring nasi beserta lauk pauk dan sayuran yang sudah ditata di piring. "Aku gak ada selera makan," tegasku. "Apa perlu aku suapi?" "Tidak perlu." Aku mencebik kesal. "Makan lah Khayra," ucap Ayas dengan pelan. Kali ini tatapannya begitu dingin. Mungkin aku dulu takut mendapat tatapan seperti itu namun sekarang aku semakin marah karena merasa terancam. Apa dia pikir aku takut? "Tidak." "Makan!" Tanah besar Ayas menggebrak meja. "Kau, beraninya bersikap seperti itu di rumah Ayahku. Kau kira aku takut? Tidak sama sekali." "Mau kamu apa?" "Aku mau kamu pergi dari sini," ucapku lantang sambil menunjuk ke arah pintu keluar. "Aku tidak mungkin meninggalkanmu." "Kenapa tidak mungkin?" "Karena aku mencintaimu." "Basi!" "Entah kenapa semakin ke sini kamu begitu menguji kesabaranku, Nona." "Sama seorang yang kamu lakukan dulu, sikapmu begitu menguji kesabaranku juga." Aku berargumen tak mau kalah. "Oh jadi ini aksimu balas dendam?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN