Ayas yang Tampan

1069 Kata
“Tadi kepeleset,” jelasku membela diri karena tak terima Ayas menuduhku. “Pura-pura.” “Gak sengaja,” tukasku. “Maaf,” ucapnya kemudian. Mobil terus membelah jalanan kota dan Ayas tak lagi bersuara, Ayas bahkan tetap bungkam saat aku tanya dia mau minum atau tidak? “Aku ingin berhenti di sini.” Segera kulepaskan seat belt yang melilit tubuhku tidak peduli dengan mobil yang masih melaju. “Stop,” ucapku lagi. Mobil mulai pelan lajunya dan berhenti di bahu jalan. “Mau ke mana?” Ayas bahkan bertanya tanpa melirikku, entah engapa aku benci terhadapnya saat seperti itu. “Mau beli makan?” tanyanya lagi. “Nggak.” “Terus kamu menyuruhku berhenti untuk apa?” “Untuk kamu menjelaskan semuanya.” “Apa yang mesti aku jelaskan?” “Apa yang membaut kita menikah? Kenapa selama menikah kau tak menyentuhku, Bung? Apa kita musuhan atau tidak saling cinta?” “Bukan dua-duanya.” Ayas menjawab acuh dan terlihat enggan. “Lalu apa?” tanyaku penasaran, banyak hal yang tidak kuingat, apalagi tentangnya dan tentang yang terjadi antara aku dan Ayas. “Panjang jika harus diceritakan.” “Sepanjang apa pun itu aku siap untuk mendengarkan.” “Akan tetapi aku belum siap untuk bercerita.” “Kenapa?” Ayas terdiam, dia terlihat sangat berat saat harus menjawab pertanyaanku. “Kamu pasti akan sangat membenciku, Nona,” ungkapnya kemudian. Aku semakin merasa penasaran, kenapa pula dia bilang aku akan membencinya? Apa dulunya dia bermasalah denganku? “Apa kau musuhku?” Ahirnya pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Ayas menoleh lalu ia menggeleng. “Kau bahkan tidak pernah menganggapku musuh,” ucapnya. “Lalu kenapa kamu bilang aku akan membencimu, Bung?” “Maaf saya belum siap untuk menceritakannya.” “Lalu kapan siapnya?” cecarku tak mau kalah. “Entahlah.” Ayas mulai melajukan kembali mobilnya. “Stop,” ucapku sambil meraih stir yang Ayas pegang, efeknya mobil oleng dan Ayas langsung menginjak rem dadakan. Sialnya aku terpental ke pelukan Ayas dan wajah kami nyaris saling beradu. Beberapa detik yang hening hingga aku sendiri mampu mendengarkan detak jantungku yang kian menggila. Dalam jarak sedekat ini bisa kurasakan hembus napsnya yang hangat dan lembut mengenai pipiku. Aroma woody yang fresh lebih dominan tercium dari tubuh Ayas, mata tajamnya, bentuk bibirnya yang sempurna dan sedikit cambang yang baru tumbuh serta hidung mancungnya membuatku sadar betapa tampannya lelaki ini. Aku seperti tersihir oleh pesonanya, bahkan dia masih tetap tampan meski tanpa senyuman. Ya Tuhan kenapa d**a ini berdetak semakin kencang? Apa ini sebuah isyarat bahwa aku pernah mencintaianya? “Maaf,” ucap Ayas dengan ekspresi canggung saat dia menjauhkan wajahnya dari wajahku. Aku tersadar seketika bahwa kejadian yang tadi benar-benar membuatku keki. Aku berusaha untuk kembali ke jok dan menyandarkan tubuh ke posisi semula. Apa yang kulauakn tadi? Benar-benar memalukan. Tanpa sadar aku menutup wajahku dengan dua telapak tangan. “Ayo jalan sekarang, aku lapar dan ingin makan di rumah,” perintahku. “Baiklah,”jawabnya pelan lalu mobil bergerak dan kembali membelah jalanan. Sepanjang jalan itu aku dan Ayas saling diam, tetapi nyatanya hati dan ikiranku sangat berisik oleh perasaan aneh yang kini mulai kurasakan perlahan-lahan. *** Malam ini hujan turun deras, udara terasa sangat dingin hingga aku pun menggigil. Jaket tebal telah melekat di tubuh saat aku keluar dari kamar menuju dispenser air yang terletak di luar kamarku. Saat mengambil air hangat tak sengaja kudengar suara bersin berkali-kali dari arah rooftop. Siapakah yang berdiri dirooftop saat hujan lebat seperti sekarang? Dengan kursi roda yang aku jalankan menggunakan tombol akhirnya aku bisa melihat seseorang yang tengah berdiri di sana membelakangi, meski tak melihat wajahnya tapi aku tahu bahwa dia adalah Ayas. Dua tangannya diulurkan hingga air hujan membasahinya. Aku tak mengerti di tengah cuaca sedingin ini Ayas justeru hanya mengenakan kaos dan menantang cuaca dingin dengan membuka pintu yang terhubung ke dalam rooftop. "Bung, kau sedang apa di sini?" sapaku. Lelaki gondrong itu menoleh sekilas lalu ia menutup hidung dan mulutnya segera, bersin lagi dan lagi. Aku tahu dia kedinginan dan bodohnya di cuaca sedingin ini ia masih tetap bersikeras di luar. "Aku ... Sedang menikmati hujan dan cuaca malam." "Oh ya? Ayolah kamu bukan anak kecil yang pandai mengelak." "Serius, ngapain juga aku bohong." "Masuk lah, berdiri di sini malah akan membuat flu-mu semakin parah, Bung." "Tidak, aku baik-baik saja. Karena cerita dan kisah yang dulu pedih dan kelam itu sudah berganti pelan-pelan." "Kisah apa?" "Kisah Cinderella dan pangeran yang kejam." "Hah? Bukannya Ibu tiri yang kejam ya?" "Sudah lupakan saja," timpalnya kemudian. Aku memperhatikannya Ayas diam-diam. Beberapa kali dia menggosok dua telapak tangannya itu. "Nona masuk lah, di sini dingin sekali," tuturnya. "Seharusnya yang bilang gitu itu aku, Bung." Ayas menatapku lekat, dia mulai melangkah mendekat ke arah pintu di mana aku berada dan duduk di kursi roda. "Sejak kapan kamu perhatian padaku, Nona?" "Perhatian? Hmmm memangnya yang tadi itu bentuk perhatian ya?" Aku balik bertanya seperti kebiasaannya juga. "Perhatian itu banyak jenisnya, termasuk apa yang tadi kamu sarankan untukku. Nona, kalau saya boleh tanya, apakah Nona merasakan debar saat ada di dekatku?" "Kenapa nanyanya seperti itu, Bung?" "Jawab lah. Kita juga toh udah jadi suami isteri." Aku mengangguk membenarkan sekaligus hendak protes. "Ya, kita suami istri. Suami isteri yang saling tidak mengenal satu sama lainnya, bukankah begitu?" "Tapi kamu sangat mengenaliku, Nona." Aku mengernyitkan dahi tak mengerti, bagaimana bisa kalimat itu dilontarkan sedangkan memang aku tak merasa mengenalinya sedikit pun. "Oh ya?" "Kita suami isteri dan takdir lah yang mengikat demikian." "Bagaimana denganmu, Bung? Yang tadi bilang katanya kita suami isteri dan telah diikat takdir tapi mengapa sampai kini kamu tidak menyentuhku? Atau ini hanya nikah settingan?" tanyaku tanpa sadar. "Untuk menepis kalimatmu yang bilang setingan itu, bagaimana kalau sekarang kita membuktikannya? Aku akan menunaikan tugasku dan kamu pun akan melakukan hal yang sama." "Tugas apa, Bung?" "Tugas negara," jawabnya tanpa senyum. Dia semakin mendekat dan wajahnya pun semakin dekat denganku. Aku terpejam mana kala hidung kami nyaris beradu. "Apa yang akan kamu lakukan?" "Menciummu dan melakukan lebih dari itu. Bukan kah tadi kau bilang pernikahan kita setingan? Jadi aku akan membuktikan bahwa kita memang benar-benar sudah menikah." "Dengan menciumku? Astaga norak sekali," gumamku sambil mendorong wajah Ayas dari hadapanku menggunakan telapak tangan. "Kamu juga bertanya tadi siang di mobil kenapa kita udah nikah nyaris dua tahun tapi mahkotamu masih utuh?" "Ya, jawab saja sekarang," tentangku. "Karena kamu begitu istimewa dan sangat berharga untukku, Khayra."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN