Boleh kah Berjuang Lagi?

1093 Kata
Aku terbangun saat merasakan ada tepukan lembut di bagian pundak. "Key bangun, Sayang. Jadwal minum obat dan kamu harus sarapan dulu ya, Sayang." Mama dengan cekatan membuka segel botol Aqua dan membantuku minum. Setelah itu ia mengaduk bubur hangat yang masih mengepulkan uap dalam mangkuk berukuran sedang. Aku mengubah posisi dan akhirnya duduk bersandar. Pandanganku menatap sekeliling ruangan dan todak kudapati ada Apa ad di sini. Apakah Ayas pulang? "Mah, Ayas ke mana?" tanyaku kemudian. "Barusan pulang, dia kan harus kerja hari ini, Sayang." Aku mengernyitkan dahi. Dia sempat-sempatnya kerja padahal semalam mungkin capek karena menemaniku di sini. Wajar kan dia capek karena sampai dini hari aku mengerjainya dengan meminta banyak hal. Jujur saja aku masih bete dan juga kesal pada Ayas, merasa marah karena tahu dulu dia sering memperlakukan aku tidak baik. Mungkin kalau kemarin aku tak menguping pembicaraan antara Ayas dan Seno, sampai sekarang pun aku gak bakalan tahu hal yang sebenernya terjadi. Aku benci Ayas karena ternyata dia yang menyebabkanku celaka hingga kehilangan ingatan, namun ternyata dia juga yang ingin menutupi semua hal yang telah terjadi antara aku dengannya. Sungguh keterlaluan. Mama mulai menyuapiku bubur, sesuap demi sesuap hingga tandas. Setelahnya Mama mengambilkan minum juga obat, usai minum obat ternyata Mama langsung pamit pergi karena ia harus datang ke kantor agar tidak telat. "Maaf ya, Sayang, Mama harus kembali kerja karena ada banyak barang hari ini yang akan datang dari supplier." Mana beranjak dari duduknya dan ia mencium keningku lembut. "Iya, Mah gak papa kok. Lagian Key sudah merasa jauh lebih baik." "Lekas sembuh ya Sayang, jangan banyak pikiran." "Iya, Mah," timpalku pelan. Mama berbalik dan akhirnya meninggalkan ruangan tempatku dirawat. Aku menghela napas dan baru saja hendak meraih ponsel di atas nakas, seseorang memanggil namaku dari arah pintu masuk ruangan. "Key," panggilnya. Aku segera menoleh dan mendapati Seno tengah melangkah menghampiri bangsal tempatku. Dia tersenyum dan di tangannya ada sekeranjang kecil parcel berisi buah-buahan. "Selamat pagi, Keyra," ucap Seno seraya meletakkan buah-buahan itu di meja kecil dekat bangsal lalu ia menarik kursi dan duduk di samping tempatku berbaring. "Pagi juga Sen," jawabku tersenyum membalasnya. "Sakit apa? Perasaan kamu kemaren baik-baik aja. Kita ngobrol dan makan eh semalam malah dapat kabar kalau kamu dirawat di sini," tutur Seno. "Kamu tahu dari mana?" tanyaku penasaran. "Aji yang bilang katanya kamu masuk rumah sakit semalam. Ayo bilang kenapa, hmmm?" "Semalam aku merasakan nyeri kepala hebat dan setelah itu aku tidak ingat apa-apa," jawabku jujur. "Bisa jadi itu pertanda ingatanmu akan pulih." Mendengar itu ada harapan besar yang ini memenuhi pikiran. Ya, aku harus pulih dan kembali mengingat semuanya. Lalu mimpi yang semalam? Ah apa mungkin semalam itu aku bermimpi? Kenapa rasanya sangat nyata? Di rumah besar itu aku tinggal dengan Ayas dan kelebatan bayangan tercetak jelas. Bahwa aku pernah merasa tersakiti, Ayas yang jarang bicara kecuali wajah galajmha yang sering kulihat juga pernah ada seorang wanita bersama Ayas di sebuah kamar itu dan aku pernah menangis sejadi-jadinya. Apakah itu mimpi buruk atau memang ingatanku yang telah pulih? Tapi kenapa rasanya seperti mimpi? "Benarkah demikian Sen?" "Hmmm ya bisa saja kan." Aku menarik napas dalam. "Makan ya buahnya, aku juoasin apel merah buat kamu." "Thanks, Sen, tali aku masih kenyang dan baru saja minum obat." "Oh ya oke," jawab Seno meletakkan kembali pisau pengiris buah-buahan itu di tempatnya. "Kamu sendirian aja!" tanya Seno lagi. "Tadi Mamah ke sini, tali beliau pergi lagi karena katanya ada banyak barang datang hari ini." "Kalau Ayas?" Seno menatapku lekat. "Dia juga kerja." "Ya ampun isteri sakit gini dia masih mikirin kerja? Sialan sekali," uacp Seno. "Gak apa-apa kok, lagian aku lebih nyaman tanpa dia. Kalau ada Ayas hatiku bawaannya kesal terus." Seno terdiam dan ia menatap wajahku lekat. "Hei ... Kenapa menatapku seperti itu?" Aku mengibaskan tangan di depan wajahnya. Seno tersenyum dan meraih tanganku. "Lelaki sembuh ya, Gin. Aku khawatir banget." "Yaelah gak usah segitunya, lagian aku aja gak kenapa-kenapa kok. Aku sudah merasa baikan dan mungkin sore hari juga sudah bisa pulang," timpalku. "Kamu bikin aku khawatir," ungkap Seno. "Gak usah lebay, Sen. Aku baik-baik aja," tukasku tersenyum padanya. "Key, boleh gak aku berjuang lagi untuk kamu?" Seno berkata dengan sungguh-sungguh, sedangkan aku tak paham ke mana arah bicaranya dia. "Maksud kamu berjuang gimana?" "Aku ingin dapetin kamu lagi." "Hah?" Aku melongo sebentar sebelum akhirnya kembali bersikap seperti biasa. "Aku cinta kamu Key, bahkan rasa itu tak pernah berkurang sedikit pun sampai detik ini." Aku menarik napas dalam, rasanya seperti ada beban saat aku mendengar Seno mengungkapkan demikian. Buka, bukan aku tak suka dia jujur dan berterus terang hanya saja posisiku saat ini masih isterinya Ayas. "Kamu mau perjuangin istrinya orang, Sen?" Aku tersenyum menatapnya. "Aku bisa merjuangin kamu dalam keadaan apa pun bahkan saat kamu masih istrinya Ayas, aku siap asal kamu bersedia." Aku menggelengkan kepala. Membahas hal ini sekarang bukan lah hal yang tepat bagiku. "Kenapa?" tanyanya kemudian. "Kamu bisa dapetin perempuan yang lebih baik dari aku, Seno. Kamu ganteng, mapan dan punya segalanya. Banyak di luaran sana perempuan yang mengidolakanmu." "Gak ada perempuan yang bisa kucintai sedalam ini di hatiku selain kamu, Key." "Jangan gitu Srn, kamu hanya belum mencoba membuka hati." "Ya karena aku tidak ingin," timpalnya cepat. "Kenapa?" "Karena aku cintanya cuma sama kamu." "Aku istrinya Ayas Sen. Dan hak itu tidak bisa dipungkiri," jelasku akhirnya. "Sekarang apa kamu masih mencintainya?" Detik ini aku tak bisa menjawab karena memang aku tidak tahu perasaanku ke Ayas seperti apa? Setelah mengetahui fakta bahwa Ayas yang membuatku celaka tang ada di hati dan pikiran ini adalah rasa benci. Ya, benci sekali terhadap lelaki itu. Dia berusaha menutupi semuanya dariku dan terang-terangan bilang ingin melupakan kisah di masa lalu. Dan aku baru tahu kalau alasannya adalah karena dia pernah memperlakukanku tidak baik di masa lalu. "Jawab aku, Key," ucap Seno. Dia masih menggenggam tanganku erat. "Entah lah Sen, jangan paksa aku untuk menjawabnya sekarang. Bahkan kepalaku rasanya masih terasa berat." "Oke baiklah, maaf ya." "Kamu sengaja ke sini jengukin aku?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Siapa bilang?" "Maksudnya?" "Aku ke sini karena mau pedekate sama perawat," ucap Seno terdengar tak serius. "Oh ya yang mana perawatnya?" "Nih yang lagi ngobrol sama aku." Seno menunjukku. "Astaga," ucapku sambil menoyor pekan kening Seno. 'Ekhmmm.' Terdengar suara deheman cukup keras. Aku dan Seno melirik ke arah pintu secara bersamaan. Ternyata ada Ayas di sana menatap kami berdua. Aku segera melepaskan tanganku dari genggaman tangan Seno. Namun ternyata Senoi tak mau melepaskan genggaman tangannya itu. Ayas memperhatikan dan dia melangkah menghirup kami. Dadaku berdetak lebih kencang, khawatir sekaligus was-was kalau seandainya nanti Seno dan Ayas bikin keributan di ruangan ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN