Tuhan, Apa Aku Pernah Mencintainya?

1092 Kata
Aku tertegun sesaat ketika mendengar penuturan itu dari mulutnya. Entah harus speechless atau memang tak harus percaya. "Aku berharga?" tanyaku mengulang kalimatnya. "Ya, tentu saja, Nona." "Kalau aku berharga bagaimana bisa kamu memanggilku Nona dan hubungan kita se-kaku ini?" Aku menatap Ayas lekat tapi dia sama sekali tak menjawab pertanyaanku. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang. "Maafkan aku," bisiknya lirih. "Begitu banyak kesalahan yang telah aku perbuat," ucapnya lagi. Aku mendongak di tengah posisi kami yang sangat dekat.Rahang tegasnya dan juga mata tajamnya bisa kulihat dengan jelas. "Aku tidak mengerti kamu meminta maaf untuk hal apa?" "Suatu ketika nanti saat ingatanmu pulih dan kembali seperti sedia kala, boleh kah aku meminta satu hal?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Ayas malah membicarakan hal lain. "Apa itu, Bung?" "Tetaplah bersamaku meskipun kamu rasa bencimu terhadapku sangat besar. Tetaplah menjaga komitmen meskipun mungkin kamu sudah tak mencintaiku lagi." "Mencintaimu? Apa memang dulu aku pernah mencintaimu? Bukan kah seingatku Seno lah yang aku cintai?" Ayas menghela napas dan ia mengusap wajahnya dengan sedikit kasar. Menjauhiku dan melangkah pelan menuju pagar besi pembatas di rooftop ini. "Ya, memang seharusnya kamu itu menikah dengan Seno tapi entah kenapa kamu akhirnya memutuskan untuk memilihku menjadi suamimu." "Apa, aku yang memilihmu? Yang benar saja, Bung? Jangan mengada-ada deh. Lagian bagaimana bisa aku memutuskan seperti itu pada orang yang tidak aku kenali, bukan?" "Istirahatlah Nona, malam ini cuaca sangat dingin. Masuk lah." Lagi-lagi Ayas menghindari pertanyaanku dengan mengatakan hal lain. "Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, Bung?" Aku melotot tak suka. "Karena tanpa dijawab pun suatu hari nanti kamu akan mengetahuinya sendiri," ungkap Ayas. Tubuh jangkungnya berbalik menghadapku dan mulai melangkah pelan. Meraih kursi roda yang kududuki dan mulai mendorongnya masuk hingga ke kamar. Bahkan dia membantuku untuk berbaring di ranjang berukuran besar, saat membopong tubuh ini entah dia menginjak apa hingga terpeleset dan tubuhnya menindihku, kejadian berikutnya membuatku harus menahan napas dan juga debaran jantung. Entah dia reflek atau apa, satu ciuman lembut mendarat di bibirku lalu dia segera bangkit dan meminta maaf. "Maaf, tadi aku menginjak ujung kain yang licin dan terjatuh. Mana yang sakit?" Ayas memeriksa lenganku. "Bukan itu yang sakit," kilahku. "Lalu yang mana?" "Yang ini," ucapku sambil mengetuk bibir dengan jari telunjuk. "Hah?" Dia menggumam dengan dua alisnya yang terangkat. Aku yakin dia juga menyadari ciuman sekilas tadi. "Kamu telah mencuri bibirku, Bung." "Maaf yang tadi itu sungguh tidak sengaja," jelasnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin tidak gatal. "Katanya kita suami isteri tapi kenapa untuk satu ciuman yang tak sengaja terjadi saja kamu meminta maaf?" "Karena mungkin kamu tidak berkenan." "Bagaimana kalau aku berkenan?" tanyaku sengaja menggodanya. Sungguh ekspresinya saat ini sangat menggemaskan. Ayas yang tampan dan matanya yang tajam. Entah sejak kapan aku begitu kerasan menatapnya. Tipe wajah oriental yang tidak membosankan. "Maksudnya berkenan apa? Dicium?" tanyanya dengan tampang polos. Tapi kemudian ia melengos begitu saja dan melangkah turun dari ranjang. "Dia benar-benar membuatku senam jantung," gumamnya pelan sekali tapi aku bisa mendengarnya. "Mau ke mana, Bung?" "Keluar, lembut ke kamarku." "Katanya kita sudah menikah? Kenapa selama ini kamu tidur di kamar tamu?" "Ya karena ingatanmu belum pulih Nona, aku takut kau tidak akan berkenan denganku." "Bagaimana kalau aku berkenan?" Aku menggodanya lagi, bukan apa-apa hanya suka saja melihatnya salah tingkah seperti tadi. "Astaga," gumamnya. "Kenapa?" "Jantungku sering berdebar sangat cepat saat harus berdekatan denganmu." "Apa itu artinya kamu mencintaiku sangat dalam?" "Entah lah." "Jangan mengelak, Bung. Sini duduk dulu sebentar," ucapku sambil menepuk sisi ranjang. "Tapi ...." "Jangan takut, aku tidak akan membalas ciumanmu yang tadi." Ayas menarik napas dan ia menutup wajahnya dengan satu tangan. "Ayo duduk di sini." Aku menarik lengan besarnya. "Iya." Dia mulai duduk di sampingku dan aku mulai berbicara. "Bisa nggak kalau setiap aku nanya itu dijawab? Bukan malah mengalihkan pembicaraan lain?" "Pertanyaanmu tak perlu jawabanku, kamu akan mengetahuinya saat ingatanmu pulih." "Bagaimana ingatanku akan pulih kalau setiap aku tanya tentang apa yang telah terjadi di antara kita, kamu malah tak menjawabnya?" "Rasanya belum siap, Nona." Entah mengapa aku ingin berusaha lebih untuk membujuk Ayas, malam ini dia harus bercerita pokoknya. Apa yang harus kulakukan untuk membujuknya? Dengan cara menggodanya seperti tadi? Mungkin kah berhasil? Aku menarik napas pelan dan sejenak memfokuskan tatapan pada Ayas, mulai meraih lengannya dan menggenggam erat. Harusnya aku rileks saja bukan? Tetapi mengapa malah giliran debar di dadaku yang kian menggila? Kini aku tahu bukan hanya Ayas yang merasakan detak jantungnya semakin cepat tapi juga diriku. Ada apa ini? Mungkin kah sinyal yang sedang terhubung? Sialan sekali bukan? Ingatanku tak kunjung pulih. "Kenapa memegangi lenganku?" "Hmmm biar nggak lari." "Lari ke mana?" "Ke hati yang lain." Entah mengapa aku menjawab demikian, sejak kapan aku bisa menggombal seperti ini? Memalukan. "Apa?" Kali ini Ayas menatapku dengan sedikit sunggingan senyum tipisnya. "Entah lah, kepalaku sedikit pusing, Bung." Aku memijit pelipis dengan dua tangan. "Obatmu masih ada?" tanyanya. Aku menggeleng cepat. "Sudah habis?" terka-nya lagi. "Belum, tapi kan aku sudah minum. Yang membuat kepalaku sakit itu justeru tingkahmu Bung." "Lho memangnya kenapa dengan tingkahku?" "Berlagak dingin tapi sebenernya hangat. Jawab satu pertanyaanku yang ini. Pliis." Aku sengaja menangkupkan dua tangan di depan d**a agar Ayas iba dan mau menjawabnya. "Apaan?" "Hmmm ... Di mana pertama kali kita saling mengenal?" "Di rumah sakit." "Hah? Nggak banget deh tempatnya," gerutuku pelan. "Ayahmu sakit, Nona. Kamu menunggui dan menjaganya sedangkan aku datang untuk menagih janji. Di sana kita bertemu bukan untuk yang pertama kalinya, tapi bagiku itu adalah moment pertama saat kamu menyatakan perasaanmu yang sebenernya." Penuturan Ayas sontak membuatku menekan ludah bersamaan dengan mataku yang melotot seketika. "Tidak, tidak, ini pasti akal-akalanmu saja." Ayas tertawa kecil hingga dapat kulihat barisan gigi putihnya juga wajahnya yang kian menawan. Detik itu aku terpesona oleh ekspresinya yang semakin gagah itu. Kalau orang kaku dan jutek senyum ternyata ia punya aura yang lebih kuat untuk memikat. Astag, apa yang sekarang ada di otakku? Mengaguminya? Ah tidak. "Tidur lah Nona, ini sudah larut." "Nggak mau." "Maunya apa?" "Ceritakan lagi tentang kita." Ayas berdecak sambil memutar bola matanya. Terlihat jengah tapi aku tetap suka melihat setiap ekspres di wajahnya. Tak peduli ini sudah larut atau bahkan dini hari, di dekatnya aku merasa nyaman dan juga terselip bahagia diam-diam. Kadang aku berpikir ke mana perasaanku terhadap Seno? Hujan di luar sangat deras, Ayas beranjak dari sisi ranjang dan meraih remote AC, mematikan suhunya. "Kenapa dimatiin?" "Aku tidak mau kamu kedinginan, Nona. Pakailah selimutnya." Ayas mendekatkan kain tebal itu padaku. "Selamat malam dan selamat rehat." Untuk pertama kalinya dia mengusap lembut pipiku, meski hanya sebentar tapi lagi-lagi aku merasakan debar yang kian bergetar. Tuhan, apa aku pernah mencintainya sangat dalam?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN