Pagi yang hening, jam dinding di kamarku masih menunjuk angka 06.15. Aku masih malas keluar kamar dan hanya memilih duduk di kursi roda di dekat jendela. Menatap tanah basah sisa hujan deras semalam. Sejenak aku memperhatikan deretan bunga-bunga di halaman depan rumah. Wangi semerbak bunga anggrek putih menguar dan masuk memenuhi kamarku.
Jam segini biasanya Mama masih joging, Mama adalah tipe perempuan yang begitu menjaga kebugaran dan kesehatan tubuhnya. Dari dulu Mama dan Ayah bisanya sering kali joging bareng atau bersepeda. Ya, hal itu masih kuingat. Kini aku tengah berusaha mengingat potongan kisah yang lain, saat aku begitu bahagia dan saat aku merasa kecewa. Namun hanya selintas -selintas penggalan yang kuingat kisahnya, itu pun dengan begitu susah payah. Tidak ada ingatan tentang Ayas sedikit pun, dan itu kerap membuatku tersiksa oleh rasa penasaran.
"Nona jadwalmu therapist lagi hari ini. Jadi bersiaplah." Sebuah suara berat dan tegas mengagetkanku. Aku menyapu pandangan ke sekeliling tapi tak mendapati siapa pun.
"Ayas?" gumamku sambil menoleh ke sana ke mari.
"Saya di sini," ucapnya lalu kulihat ia berdiri di luar jendela.
"Ngapain di situ?" tanyaku.
"Gak ngapa-ngapain. Sengaja aja ke sini untuk mengingatkan jadwal."
"Ya tapi kan kamu bisa ketuk pintu kamar dan masuk."
"Aku kira Nona masih tidur jadi sungkan untuk mengganggu."
"Biasanya juga jam segini aku sudah bangun kok."
"Syukurlah. Jadi segera bersiap karena jam tujuh sebentar lagi kita akan berangkat."
"Aku malas terapi."
"Loh kok gitu?"
"Apa bedanya belajar jalan di rumah sama di rumah sakit? Kagak ada bedanya sama-sama belajar jalan kok."
"Ya beda lah. Di rumah tanpa bimbingan dokter sedangkan di sana kamu akan mendapat full bimbingan."
"Untuk apa coba?'
"Untuk kesembuhanmu."
"Aku akan sembuh pelan-pelan. Di rumah sakit juga rasanya percuma toh aku gak boleh kan dekat-dekat dengan dokternya sama kamu, Bung?" ucapku setengah sewot.
"Boleh kok."
"Lah kemaren-kemaren kamu pesen aku hangat dekat-dekat."
"Sudah ayo bersiaplah."
"Tidak, lagi pula ini kan masih pagi."
"Mau joging dulu gak?" tawarnya.
"Gimana jogingnya jalan aja gak bisa," tuturku sewot.
"Ya kan aku bisa dorongin kursi rodamu. Udara pagi sehat untuk paru-paru. Ayok mau ikut joging bareng aku?"
Aku berpikir sejenak, lagi pula sudah lama aku tak joging.
"Baiklah tapi ...."
"Tapi apa?" tanyanya dengan raut penasaran.
"Aku ingin kamu cerita banyak hal."
"Ya ampun kamu masih aja tak bosan untuk meminta untuk cerita."
"Mau apa tidak?"
"Ya okelah. Tapi jangan paksa aku cerita semuanya, kepalamu tak akan menampungnya Nona. Terlebih dari itu aku juga tak mau kamu sakit."
"Oke," jawabku antusias. Ayas tak tersenyum dia hanya mengangguk.
Sepanjang komplek ini Ayas mendorongku sambil sesekali ia bercerita tentang Ayah, Ayas bilang dulu ia jadi pekerjanya Ayah tapi kemudian ia mengundurkan diri karena suatu hal, hanya saja Ayas tak mau menceritakan padaku hal apa yang membuatnya mundur.
"Apakah saat itu aku sudah pacaran dengan Seno?" tanyaku.
"Entah lah, aku bahkan jarang melihatmu, Nona."
"Kok bisa? Katanya kamu pekerjanya Ayah?"
"Pekerja bukan berarti tinggal di rumah Ayahmu Nona. Aku hanya pekerja kasar dan sering tak dianggap apa-apa."
"Masa Ayahku seperti itu, Bung?"
"Sudah lah lagi pula sudah banyak aku cerita."
"Mana ada, itu hanya cerita satu dua kata."
"Lalu kamu mau cerita apa lagi, Nona?"
Aku menghirup udara segar lalu menyuruhnya berhenti di dekat pohon besar di pinggir jalan.
"Aku hanya mau tahu ada janji apa antara Ayahku dan kamu, Bung?"
"Jangan, pliis jangan menyuruhku untuk menceritakan hal itu."
"Kenapa memangnya?" Lagi-lagi aku dibuatnya semakin penasaran.
"Ini sudah siang, dan kita harus balik ke rumah. Setelah itu kita langsung berangkat ke rumah sakit. Maaf tapi hari ini aku tak bisa mengantarmu karena ada urusan penting Nyang harus segera terselesaikan."
"Tuh kan, kamu selalu bisa menghindariku saat aku bertanya lagi dan lagi."
"Maaf, tapi aku harus benar-benar pergi pagi ini," jelasnya dengan wajah serius.
"Ada urusan apa?"
"Kamu nggak usah tahu, Nona."
"Tuh kan, katanya aku isterimu tapi kenapa semua dirahasiakan dariku?"
"Kamu memang isteriku tapi ingatanmu belum pulih sepenuhnya. Tapi aku inginnya kamu gak usah ingat tentang kita, karena itu lebih baik," tuturnya.
"Maksud kamu?"
"Bahkan dengan kata maaf atau hal apa pun aku sama sekali tak bisa menebus kesalahnku padamu Nona." Kali ini suaranya terdengar melemah.
"Ada apa sebenarnya Ayas?" Aku menatapnya tajam. Menerka-nerka apa yang sebenarnya telah terjadi, apa hubunganku dengannya tak baik-baik saja? Tapi kalo pun iya kenapa Ayas mau menemaniku Setipa hari?
Tanpa kata bahkan tanpa penjelasan apa pun Ayas kembali mendorong kursi rodaku menuju pulang. Sepanjang jalan dia bungkam sedangkan dalam benakku dipenuhi tanda tanya besar. Aku harus bertanya pada Mamah, ya, harapanku untuk mendapat jawaban ini hanya pada Mamah. Semoga Mamah bisa menjelaskannya.
Sampai di rumah, Ayas segera mengantarku ke meja makan dan menyuruh untuk sarapan sedangkan dia sendiri tidak.
"Makan lah, Bung."
"Aku sudah hampir telat, harus terburu-buru sampai ke suatu tempat."
"Tapi setidaknya makan lah sedikit saja agar perutmu tidak kosong."
"Baiklah," ucapnya mengalah. Ia mencomot roti gandum dan selai coklat sedikit. Setelah itu ia meraih segelas s**u dan menandaskannya.
"Aku pergi dulu ya, bilang sama Mamah aku pulang selepas Dzuhur maaf tidak sempat pamit," ucapnya seraya mengelus lembut puncak kepalaku. Tanpa senyum apalagi sebuah ke upan di kening layaknya suami isteri, dia beranjak pergi begitu saja. apakah memang Ayas tak bisa romantis?
"Iya, hati-hati di jalan ya, Bung," pesanku. Ia melambaikan tangannya sambil jalan dan tubuhnya tak lagi terlihat di pandangan saat Ayas keluar melewati pintu depan.
Aku tercenung dengan kepala yang berat, bagaimana bisa aku menikah dengan lelaki itu? Pertanyaan yang kerap berkelindan dan sampai saat ini bum terjawab. Meskipun Ayas pernah menjelaskan bahwa pernikahan ini terjadi karena sebuah janji, jujur saja aku penasaran janji apa sebenarnya? Kenapa Ayah tega menikahkanku hanya karena sebuah janji? Terus bagaimana hubunganku dengan Seno ketika itu? Setahuku kami saling mencintai.
"Sayang, kok pagi-pagi udah ngelamun aja." Teguran Mama membuatku sadar dari lamunan.
"Eh Mamah," jawabku basa-basi.
"Ayok dimakan sarapanmu. Ayas mana?"
"Ayas bilang dia ada urusan dan sudah pergi sepuluh menit yang lalu."
"Hmmm gitu. Yaudah kamu makan gih. Bukannya hari ini kamu ada jadwal terapi ya?"
"Iya, Mah. Ayas bilang nanti aku diantar sopir."
"Di antar Mamah saja, lagi pula hari ini Mamah gak ada rencana ke mana-mana."
"Mah aku mau tanya satu hal."
"Apa itu?"
"Bagaimana hubunganku dengan Seno? Kenapa dia membiarkanku menikah dengan Ayas?"