Beberapa pelayan perempuan berdiri di depan pintu ruangan dengan macam-macam alat tempur yang berada di tangan mereka. Alat tempur? Ya, mereka membawa sapu, kain pel, sarung tangan, kantung, serta ember berisi air dan sabun. Para pelayan itu hendak melakukan ritual pembersihan kamar dari darah segar dan mayat yang masih berserakan. Terlalu sering melakukan hal horor semacam itu membuat mereka terbiasa dan tidak bergidik ngeri seperti saat pertama kali melakukannya.
Sedangkan Pangeran Liam masih duduk di peraduannya dengan Enzo yang berdiri di hadapannya. "Apakah kau sudah mengirimkan suratku?" Liam bertanya sembari mencecap anggur di gelas kaca.
"Sudah, Pangeran. Saya sudah mengirimkan surat itu dan mungkin dia akan segera datang," jawab Enzo dengan menunduk sopan.
Para pelayan akhirnya selesai membersihkan ruangan dan mulai beranjak pergi. Di detik itu juga, terdapat seseorang yang berdiri di ambang pintu. Enzo segera pamit undur diri sementara seseorang yang berada di ambang pintu berjalan masuk hingga mereka berdua saling berpapasan.
Dengan jubah putih yang membalut tubuhnya yang jangkung serta rambut panjang berwarna putih penuh uban yang dikuncir di belakang, pria yang baru saja datang seketika memberi salam dan menghadap sang pangeran dengan sopan. "Saya sudah datang, My Lord."
Dia adalah saintess Michael, seorang penyihir agung dari menara sihir yang diam-diam berpihak pada Pangeran Liam. Dengan kemampuan sihir terbaik yang dimilikinya, ia juga didapuk sebagai salah satu guru di akademi penyihir yang ada di Kekaisaran Deltora.
"Apakah kau mau meminum anggur terlebih dulu bersamaku?" tawar Pangeran Liam dengan senyuman menyeringai.
Michael menggeleng pelan, "Maaf, saya tidak meminum anggur, My Lord."
Pangeran Liam tergelak, "Ya, aku tahu. Aku hanya ingin memastikan apakah kekuatanmu sungguh akan berkurang hanya karena minuman ini," ujarnya sembari menatap lekat minuman berwarna merah keunguan di tangannya.
"Saya tidak memiliki kekuatan abadi seperti Anda, My Lord."
Sebagai penyihir, sesuatu yang memabukkan akan membuat kekuatan mereka melemah. Namun, tidak dengan Pangeran Liam yang diberkati dengan kekuatan sihir abadi. Pangeran berjubah hitam itu memperlihatkan seraut wajah pias kala Michael membicarakan tentang kekuatan abadi yang dimilikinya. Baginya, sebuah kekuatan yang berlebihan merupakan sebuah anugerah sekaligus musibah. Pangeran Liam tiba-tiba beranjak berdiri dan duduk di kursi kayu mahoni yang ada di sudut ruang. "Duduklah!"
Michael mengangguk dan beranjak untuk duduk di kursi kayu mahoni yang ada di hadapan sang pangeran. "Jadi, apakah ada yang bisa saya bantu, My Lord? Apakah Anda kembali mengalami gejala itu?"
Pangeran Liam bergeming sejenak dengan pikiran yang terbang mengelana. Ingatannya berkilas balik pada kejadian sebelumnya tatkala seorang wanita aneh jatuh tepat di atas tubuhnya. "Tidak. Aku justru ingin bertanya mengapa aku tidak merasakan gejala itu sama sekali saat ada seorang wanita yang menyentuh tubuhku."
Michael membeliak. Ekspresi terkejut seketika tersebar wajah, "Bagaimana mungkin, My Lord? Bahkan, potion yang saya buat hanya mampu meredakan gejala Anda meskipun berkurang sedikit. Bagaimana mungkin Anda tiba-tiba tidak merasakan gejala itu sama sekali?" cecar Michael dengan keterkejutannya.
Pangeran Liam hanya bergeming. Ia ingin mendapat jawaban dari Michael, tetapi pria itu justru kebingungan sendiri. Ya, Pangeran Liam memang memiliki sebuah rahasia yang tidak banyak orang tahu. Sebuah rahasia yang merupakan kelemahan yang selama ini ia sembunyikan. Sentuhan wanita. Setiap kali ada seorang wanita yang menyentuhnya, maka kekuatan sihir api yang dimilikinya justru melalap diri bagai senjata makan tuan. Hal itu yang selama ini ia rasakan dan hal itu juga yang membuatnya bersembunyi di balik jubah berwarna hitam.
"Apakah Anda mengenal wanita itu?"
Pangeran Liam menggeleng pelan berhiaskan dengan wajah datar. Senyuman culas tiba-tiba tergelincir di sudut bibirnya kala ingatan kembali menuntunnya pada pengakuan gadis itu yang berkata jika dia adalah calon istri Pangeran Iblis sekaligus putri pertama dari Duke Shancez. Itu berarti, dia adalah calon istrinya.
Sebelumnya, Latte memang telah berujar pongah dan mengatakan hal menggelikan tentang Pangeran Iblis dari mulutnya. Gadis itu berkata jika Pangeran Iblis tergila-gila padanya dan akan menghabisi nyawa pria berjubah hitam itu dan membuatnya bak permen gulali yang sempat dijatuhkan. Padahal, pria yang ia maksud adalah Pangeran Iblis itu sendiri.
Pesta pertunangan di antara Liam dan Latte yang sebentar lagi diadakan membuat Pangeran Liam tidak sabar untuk memastikan ucapan gadis aneh tersebut. Apakah dia sungguh sosok Latte Marie Swan, anak pertama dari Duke Shancez sekaligus calon istrinya?
"Aku tidak mengenalnya. Tapi, aku akan segera memastikannya."
~~~
Latte mengerucutkan bibir dengan ekspresi jengah di dalam kamarnya. Gadis itu kini tengah duduk di sofa panjang kamarnya dengan seorang wanita yang juga sedang duduk di sebelahnya. Dia adalah Cecilia, guru tata krama yang akan mempersiapkan Latte untuk pesta pertunangan yang tiga hari lagi diadakan di kediaman Duke Shancez. Ya, kalian tidak salah dengar. Pesta pertunangan itu akan diadakan tiga hari lagi.
Tugas Cecilia saat ini menjelaskan semua tata krama seorang gadis bangsawan yang akan menjadi istri dari Pangeran dan tinggal di dalam istana. Berbagai macam cara menatap, berdiri, berjalan, makan, duduk, hingga bernapas pun ia ajarkan.
Dengan wajah ditekuk, Latte berkali-kali merutuk dakam hati, 'Astaga! Betapa konyolnya nasib buruk yang menimpaku. Jika aku menikah dengan Pangeran Iblis nanti, apakah aku akan bisa bernapas? Kepalaku bisa dipenggal kapan saja olehnya. Jadi, apa gunanya mempelajari itu semua?'
"Apakah Anda sudah memahaminya, Lady?" Cecilia bertanya dengan senyuman.
"Apakah waktu bisa berhenti di sini saja, Cecilia?" Latte justru menjawab dengan sebuah pertanyaan yang tidak ada hubungannya. Gadis itu menghela napas pendek dan kasar kemudian mengembuskannya dengan wajah frustrasi.
Sedangkan Cecilia justru menatap iba dan memaklumi sikap Latte. Mengetahui kenyataan jika gadis itu akan dinikahkan dengan Pangeran Iblis membuatnya merasa kasihan. Terlebih, Cecilia yang telah mengajari Latte beberapa tahun terakhir ini sudah mengenal baik sikap gadis berambut cokelat hazel tersebut. Latte yang penyayang sungguh berbeda dengan rumor buruk yang selama ini beredar.
"Tenanglah, Lady. Anda akan selalu ada di hati saya." Cecilia berceletuk masih dengan seraut wajah iba. "Lagi pula, masih ada waktu satu tahun untuk menyelesaikan akademi Anda hingga saatnya pernikahan dengan Pangeran Iblis itu dilangsungkan. Jadi, untuk waktu satu tahun ini Anda akan aman, Lady," imbuhnya dengan suara tersekat, menahan tangis.
Latte membeliak dengan wajah tercengang, "A-apa maksudmu, Cecilia? Apakah kau menganggapku akan segera mati?"
Cecilia semakin menampilkan wajah sedih, "Saya benar-benar tidak akan pernah melupakan Anda, Lady. Meskipun Anda terkadang tidak penurut, tetapi Anda adalah gadis yang baik." Cecilia tiba-tiba merangkul tubuh Latte yang sedang melototkan mata. Tangisannya seketika pecah dan termehek-mehek di pelukan gadis bernetra perak tersebut.
Latte semakin tercengang kala mendengar salam perpisahan untuk dirinya sendiri. Cecilia begitu yakin jika ia akan segera mati di tangan Pangeran Iblis. Bahkan, jika seandainya nasib buruk menimpa Cecilia yang akan dinikahkan dengan Pangeran Iblis itu, maka kemungkinan besar Cecilia akan frustrasi hingga gantung diri sebelum nyawanya dihabisi dengan keji.
"Jangan berbicara sembarangan, Cecilia! Aku masih belum mau mati asal kau tahu. Apa kau begitu ingin melihatku mati di tangannya?"
~~~