Bab 8 Liam Alexander

1126 Kata
Tanpa sepatah kata, Latte menyatukan kedua alis dan segera beranjak untuk menemui Duke Shancez. Sedangkan Felix masih pada keterkejutannya. Felix beralih menatap Sofia dengan wajah serius "Apa maksudmu dengan pesta pertunangan?" Sofia tersenyum tipis, "Apakah dia belum bercerita padamu, Felix?" Sofia berpura-pura terkejut seraya menatap lekat Ksatria tampan di hadapannya. "Ikutlah bersamaku untuk duduk santai terlebih dahulu. Aku akan menjelaskan semuanya padamu." Sofia menarik pergelangan tangan Felix dan membawanya duduk di sofa panjang beludru yang masih diduduki oleh Esmeralda. Esmeralda yang peka seketika beranjak berdiri, "Ehm ... sepertinya aku ingin melihat gaun-gaun itu dari dekat. Nikmatilah waktu kalian!" ujar wanita paruh baya berambut hitam panjang bergelombang yang kemudian berjalan menjauh untuk memilih kain sutra serta gaun-gaun indah bersama Alfonso. Sofia menghempaskan b****g di permukaan sofa dan disusul oleh Felix yang duduk di sebelahnya. Masih mengobral senyuman di wajah, Sofia mulai membuka suara, "Jadi, sebenarnya Latte telah dijodohkan. Pihak istana sedang mencari calon istri untuk salah satu Pangeran." "Dijodohkan? Pihak istana?" Felix menyela dengan air muka terkejut. "Ya, baru tadi pagi surat dari Kerajaan Deltora datang. Kaisar Melvin sendiri yang menulisnya." Sofia bercerita dengan wajah tenang yang setia dipersembahkan. Felix semakin mengetatkan wajah. Seketika terbesit ingatan kala sebelumnya ia menunggang kuda dan Latte tiba-tiba bertanya 'Bagaimana jika aku menikah?' Ternyata di dalam pertanyaan itu ada maksud tersirat yang sedang mengganggu pikiran Latte. "Jadi, siapa dia?" Felix bertanya dengan wajah datar dan rahang mengetat. "...." Sofia terlihat ragu untuk mengatakannya. Sedangkan Felix terlihat tidak sabar dan semakin menampilkan wajah dingin dan datar. "Pangeran Iblis. Dia akan menikah dengan Pangeran itu," jawab Sofia dengan menatap lekat wajah Felix. Bola mata Felix seketika membeliak. Pria itu seakan dihempas ke dasar bumi. Rasa sesak di rongga d**a tiba-tiba ia rasakan. Rasa marah dan kecewa juga singgah dan tidak dapat diabaikan. Pernikahan. Hal itu sama sekali tidak pernah terbesit di pikiran. Felix mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih, "Bukankah masih ada satu tahun untuk pendidikan Latte berakhir? Bagaimana bisa ia tiba-tiba harus dijodohkan dan menikah?" Sofia yang mampu menangkap rasa cemburu di riak-riak netra Felix menerbitkan senyuman tipis meskipun hatinya meradang. Dengan lihai, gadis itu mengubah kecemburuannya dengan ekspresi penuh ketenangan, "Sebab itulah akan dilangsungkan pertunangan terlebih dulu. Setelah lulus dari akademi, mungkin pernikahan mereka akan segera dilangsungkan." ~~~ Setelah sebelumnya keluar ruangan dengan penuh kekecewaan. Kini, langkah kaki Latte kembali memasuki ruangan Duke Shancez. Di dalam ruangan itu, Duke sedang terduduk santai sembari menikmati teh chamomile untuk meredakan stres. Pekerjaannya sebagai Perdana Menteri cukup menyita banyak waktu hingga ia baru menyelesaikan gulungan kertas yang menggunung di hari yang hampir petang. Pria paruh baya yang masih terlihat tampan itu sangat jarang menghirup udara London secara bebas. Ia juga merasa pikirannya terlalu penat akhir-akhir ini. "Apakah kau baru saja pulang?" Duke menatap Latte yang baru saja tiba. Latte mengangguk tidak acuh dengan wajah merajuk, "Apakah Papa memanggilku?" tanya gadis itu tanpa berbasa-basi. "Ya, aku tadi sempat mencarimu." "Dan sekarang aku sudah berada di sini. Apa yang ingin Papa katakan? Apakah Papa ingin menjelaskan tentang mereka yang sedang berada di luar sana? Aku tidak pernah ingin membuat gaun baru seperti yang mereka rencanakan. Ataukah Papa ingin membahas masalah pertunangan?" Duke Shancez yang bisa melihat kemarahan di wajah Latte menghela napas dalam, "Tenanglah! Redakan amarahmu dan minumlah bersamaku! Aku mendapatkan teh chamomile yang didapat dari Italia dari salah seorang saudagar yang kukenal." Latte menukikkan sebelah alis, "Apakah situasi saat ini sesantai itu untuk meminum secangkir teh dari saudagar itu, Papa? Kau telah membuangku pada Pangeran Iblis. Bagaimana aku bisa meminum teh itu dengan santai? Apakah Papa tidak tahu jika dia adalah orang paling gila dan kejam di benua? Wujudnya juga sungguh mengerikan. Aku tidak ingin memperburuk keturunan." Latte berujar serius meskipun yang keluar dari mulutnya terdengar sedikit menggelikan. "Dan, aku juga tidak akan mau menikah dengannya!" Duke Shancez kembali menghela napas dalam kemudian meletakkan cangkir teh di atas meja, "Harus berapa kali Papa memberitahumu untuk tidak menyebutnya dengan sebutan itu? Dia memiliki nama dan namanya adalah Pangeran Liam Alexander. Dia adalah calon suamimu. Dan yang lebih penting, ini adalah titah Kaisar," tuturnya dengan nada bergetar. Tatapan Latte menjadi frustrasi dan nanar. Perintah Kaisar berarti mutlak dan harus dilakukan. Jika tidak, sebuah hukuman sudah menanti di depan mata. Latte sungguh tidak ingin menikah dengan Pangeran Iblis, tetapi di sisi lain ia juga tidak ingin keluarganya mendapat hukuman. Terlebih Duke Shancez. Biar bagaimanapun, Duke adalah satu-satunya keluarga yang ia punya. Seorang Ayah yang dulu sangat menyayangi dan sempat membuat hidupnya terasa sempurna. Namun, Latte menyayangkan karena sosok itu kini seakan pergi entah ke mana. ~~~ Terdapat sebuah ruangan mewah yang didominasi dengan warna hitam dan merah. Nuansa kelam bercampur elegan melebur di ruangan tersebut. Di dalamnya, terdapat seorang pria berjubah hitam yang sedang duduk di peraduannya dengan segelas kaca berisi anggur merah di sebelah tangan. Di balik penutup kepala jubah, terdapat sepasang netra biru dan bibir yang sedang tersenyum menyeringai. Sesekali ia menggoyangkan pelan gelas kaca di sebelah tangannya. Sementara di hadapan pria itu, terdapat selusin bandit yang tengah bersimpuh di bawah kakinya. Mereka memohon ampun dengan tubuh bergetar ketakutan. "Harus kita apakan mereka, Pangeran?" tanya seorang pria berjambang dengan tatapan fokus menatap pria berjubah hitam. Ya, kalian tidak salah dengar. Pria berjambang itu memanggilnya dengan sebutan Pangeran. Sebab, yang mungkin selama ini kalian pikirkan memang benar. Pria bernetra biru yang selalu bersembunyi di balik jubah hitam dan sebelumnya menjatuhkan permen gulali Latte memanglah Pangeran Liam, seorang Pangeran yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Iblis. Sedangkan pria berjambang itu adalah Enzo, salah seorang prajurit sekaligus kaki tangan Pangeran tersebut. Tentu saja, kabar yang menyebutkan jika wujud Pangeran Iblis itu buruk rupa jelas hanyalah mitos belaka. Namun, mungkin tidak dengan sifatnya. Pangeran itu memang seorang pria dingin dan bengis yang selalu menghabisi musuh dengan kejam, tanpa belas kasih. Bahkan, salah satu di antara kumpulan bandit yang sedang bersimpuh di hadapannya saat ini adalah seorang anak laki-laki. "Penggal kepala mereka semua dan kirimkan potongan kepala itu pada seseorang yang ada di balik mereka!" titah Pangeran Liam dengan senyuman jahat yang menghiasi bibir. Enzo mengangguk mantap, "Baik, Pangeran." Pria berjambang itu kemudian menarik sebilah pedang dari selongsong yang ada di sabuk yang selalu ia kenakan. Dengan cepat, pria itu mengayunkan pedang ke udara dan memenggal satu persatu kepala bandit yang tengah bersimpuh. Suara pekikan dan jeritan ketakutan sontak beradu dan memenuhi ruangan yang kental dengan suasana kelam, membuat suasana semaki kelam dan menyeramkan. Selusin kepala pun akhirnya terpenggal dan menggelinding di atas lantai marmer ruangan. Enzo memenggal semua tepat di depan netra biru Pangeran Liam. Namun, semua itu sama sekali tidak mengubah ekspresi wajah datar Pangeran tersebut. Pria itu justru meneggak anggur merah di tangannya bersamaan dengan darah segar yang mengalir di bawah kakinya seolah sedang tidak terjadi apapun. Ya, dia adalah Pangeran Iblis yang begitu ditakuti sekaligus dibenci. ~~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN