Menenangkan Pikiran

1045 Kata
Keesokan paginya. Liangyi sudah tidak berada di kamarnya saat waktu sarapan bersama keluarganya, karena dia ingin menemui Jia Li. Saat Kanebo sudah berhenti di depan toko, Liangyi kembali kecewa karena belum buka. “Pangeran, mereka masih tutup.” “Ya, aku bisa melihatnya.” “Apa pangeran tidak tahu rumahnya?” tanya Kanebo. “Tidak.” “Pangeran jatuh hati pada wanita penjaga toko itu?” “Ya, benar sekali.” “Lalu, bagaimana dengan kompetisi nanti?” Liangyi tersenyum. “Kita tidak tahu dengan siapa kita berjodoh, terkadang orang yang dikejar pun bisa tidak teraih walau hanya sedetik.” Kanebo paham dia sedang menceritakan dirinya yang saat ini sulit mendekati wanita si penjaga toko itu. “Bawa aku berkeliling sebentar sebelum kembali ke istana.” “Iya, Pangeran.” Kanebo melanjutkan perjalanan tanpa arah, hanya menuruti keinginan hati dan tidak berani terlalu jauh karena bisa membuat waktu kembali ke istana lebih lama. Dalam perjalanan, mereka melewati sebuah pasar dan Liangyi melihat Jia Li ada di sana. “Kanebo, berhenti.” Liangyi ingin menghampirinya, tetapi dia tidak mau identitasnya diketahui kali ini. Liangyi membalut tubuhnya dengan jubah polos dan atribut di kepala juga dilepasnya. Liangyi menggunakan topi sederhana yang biasa di simpan di kendaraan itu guna melakukan penyamaran. Masker penutup mulut juga dipakai agar bisa mengelabui masyarakat sekitar. “Pangeran, aku akan melindungimu.” Liangyi tersenyum. “Tidak perlu. Kau di sini saja.” “Baik, Pangeran. Waktu kita tinggal 30 menit lagi.” “Ya, aku tahu itu.” Liangyi turun dari mobil kemudian berjalan ke arah toko buah. Jia Li sedang memilih semangka dan merasa kebingungan dengan ukuran serta ciri khas semangka yang siap makan dengan rasa manis. Liangyi berdiri di sampingnya, memperhatikan gerakan wanita yang sudah lama dicarinya itu. Saat Jia Li memilih salah satunya, Liangyi menegurnya. “Jangan Nona, itu tidak manis,” sahutnya. “Huh, Masa? Hehe, maaf, aku kurang tahu untuk masalah itu.” “Ah, tapi - kalau masalah resep kue enak kau jagonya,” sahut Liangyi. Jia Li langsung menoleh. “Ahaha, Tidak juga, di toko kami-“ seketika wanita itu terdiam, baru sadar kalau pria yang berada di sampingnya mengetahui jati dirinya. Liangyi menyipitkan mata. Menatap pandangannya yang terpaku beberapa detik. “Anda-“ Liangyi menutup bibirnya sendiri memberi isyarat untuk tidak mengatakannya. Jia Li paham kemudian tersipu malu. “Bagaimana anda bisa di sini?” tanya wanita itu. Liangyi memilih satu buah semangka berukuran besar kemudian membayarnya. “Ikut aku,” pintanya. Jia Li pun membuntutinya dari samping sambil melihat Liangyi menggendong semangka. “Maaf Pangeran, aku tidak mengenal anda.” “Oh, ayolah. Kau jangan terlalu sungkan. Aku mencarimu selama beberapa hari ini.” “Mencariku?” “Iya,” jawab Liangyi. “Ada apa? apa aku membuat kesalahan?” tanya Jia Li. Pria itu sontak tersenyum. “Bisa jadi.” “Huh?” “Jia Li, kau ke mana saja selama aku tidak melihatmu?” “Ahaha, ada sedikit waktu luang dan aku habiskan bersama teman-temanku dan aku tidak menyangka kalau seorang pangeran mencariku.” “Bukankah kau temanku?” “Teman?” “Haha, jadi kau tidak mengakuiku?” Jia Li pun malu. “Pangeran, aku hanya rakyat biasa, bagaimana bisa sepadan berteman dengan anda.” “Terkadang, dia yang terlihat biasa, punya sesuatu luar biasa yang tidak dilihat orang lain.” “Haha, anda berlebihan.” “Jaga dirimu, jangan sampai kau terlibat dengan orang jahat seperti kemarin.” “Iya, Pangeran.” Liangyi mampir ke sebuah toko kue di pinggir jalan. Membeli beberapa dan membaginya ke dua tempat. Satu diberikannya pada Jia Li dan satu untuknya. “Terima kasih, Pangeran.” “Sama-sama.” “Lusa aku ingin bertemu denganmu lagi, apa aku boleh menemuimu di suatu tempat berbeda?” tanya Liangyi. “Boleh … aku akan menunggu anda di taman bunga flamboyan pukul 4 sore,” jawabnya langsung memberi waktu tanpa menanyakan apakah seorang pangeran sibuk seperti Liangyi bisa atau tidak. Pria itu tersenyum mengangguk. “Baiklah, aku akan mendatangimu jam 4 sore di taman Flamboyan.” Liangyi memintanya merentangkan kedua tangan ke depan, lalu menaruh semangka dalam pelukan itu ke atasnya. Jia Li kebingungan membawanya, berat sekali dan membuatnya hampir jatuh. Liangyi menahannya dan membantu Jia Li berdiri dengan seimbang. “Untukmu,” kata pria itu. “Semangka ini untukku?” tanya Jia Li bingung. “Iya, lain kali pastikan memilih semangka yang bagian pangkalnya berwarna kuning, tangkainya layu dan juga punya bercak garis coklat,” jelasnya sambil menunjuk ke arah buah itu. “Ah, begitu. Terima kasih atas buah dan ilmunya, Pangeran.” “Aku harus pergi, masih ada urusan lain. Sampai ketemu dua hari lagi!” ujarnya. Jia Li pun tersenyum lebar. “Baiklah! Aku menunggumu!” “Hati-hati pulang ke rumah!” “Iya, aku akan hati-hati!” jeritnya balik kemudian tertawa kecil melihat pria yang sudah menghampirinya ke pasar dengan penyamaran cukup bagus. Liangyi kembali masuk ke dalam kendaraan sambil membawa sekantung kue yang dibelinya tadi. Kanebo melihat pangeran ketiga senyum sendiri. “Aku beli kue, kau mau?” tawar Liangyi. “Tidak, Pangeran. Makanlah, sepertinya pangeran belum sarapan.” “Benar, aku memang belum sarapan.” Liangyi membersihkan kedua tangannya terlebih dahulu kemudian mencicipi kue itu. Rasanya tidak seenak buatan Jia Li, tetapi momen yang ada bersama kue ini membuatnya menjadi nikmat penuh senyuman. * Sesampainya Liangyi di istana. Rombongan dari Kerajaan Shan pun baru saja tiba. Kendaraan milik Liangyi berhenti di sisi lain, pangeran ketiga itu segera menyusul kakak serta adiknya yang saat ini berada di dalam ruangan sesuai isi pesan dari Chen. "Kau ke mana saja? ayah marah besar tadi," kata Jiangyi. "Maaf, aku mengurus sesuatu." "Kak, menurut ayah, kita tidak boleh menganggap remeh acara perjodohan ini. Demi kerajaan kita." "Iya, aku tahu." Liangyi tersenyum saja untuk menutupi peristiwa sebenarnya. Mereka berempat melihat dan menyambut kedatangan beberapa orang yang ingin melihat proses kompetisi itu, tidak lama kemudian mereka beranjak menuju lokasi pertandingan. Kaisar Hongli dan Kaisar Han menyepakati beberapa pertandingan guna melihat kemampuan pangeran. Kaisar Han ingin pria yang mendampingi putrinya adalah pria yang punya pertahanan diri tinggi agar keselamatan putrinya bisa terjamin. Sepanjang perundingan, mata Jiangyi terus mengarah pada putri Li Wei yang menunduk malu serta gugup. Jantungnya berdegup kencang, tidak yakin kalau alasan dibaliknya adalah karena melihat wajah Liangyi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN