Setibanya rombongan Sehat Bugar di desa Barat Daya Kangxi yang berisi banyak orang tua, namun tak jarang pula ada orang yang lebih muda di sana. Prajurit memberikan mereka tempat untuk memasang tenda. Mereka mengawasi sampai selesai.
Kepala desa Barat Daya mendapat laporan bahwa prajurit kerajaan yang bertugas menjaga perbatasan sedang membawa banyak orang ke lapangan kosong dekat dengan gedung pertunjukan seni.
Pria yang memiliki wewenang di sekitar desa pun datang untuk menerima konfirmasi. Mendatangi salah satu prajurit untuk menjelaskan kedatangan mereka.
"Salam, Tuan Qiang!" sapanya pada prajurit penjaga yang sudah dikenalnya.
"Salam, Tuan kepala desa!" sahutnya kemudian turun dari kudanya untuk memberi penghormatan. "Apa kabar, Tuan?"
"Ahaha, aku sehat selalu!" jawabnya tertawa. "Ada apa kalian datang ke sini, tanpa lapor dan membawa banyak orang," lanjutnya.
"Maaf, Tuan kepala desa, sebenarnya Tuanku Bao Long sedang dalam perjalanan untuk menemui anda, tetapi sepertinya kabar beredar dengan cepat dan membuat anda menghampiri kami lebih dulu."
"Hmm, begitu. Lalu, mereka itu siapa?"
"Mereka adalah rombongan yang berasal dari Nim. Tujuannya membuka pengecekan kesehatan gratis untuk desa ini. Harap kerja sama Tuan Kepala Desa Barat Daya untuk mengawasi serta memantau rakyat desa. Pastikan mereka tidak meminta uang tinggi pada masyarakat yang ingin berobat."
"Baik, Tuan! Aku akan memantaunya."
Si prajurit pun kembali mengawasi bersama kepala desa sampai selesai. Bao Long tidak perlu lagi datang karena sudah diwakilkan oleh Qiang.
Kepala desa masih berada di sana, mengamati kemudian meminta salah satu anak buahnya untuk memanggil ketua rombongan. Dia ingin bicara dengannya. Kelangan 10 menit, Jiangwu menghadapnya, disuruh duduk dan diberi suguhan air.
"Kudengar kalian mau membuat acara pengobatan, kenapa kalian pilih tempat ini?" tanya pak kepala desa.
"Ya, Tuan kepala desa. Kami di sini atas perintah tuan Bao Long."
"Aah, begitu. Lalu, apa biaya pengobatannya tinggi?"
"Bagaimana pendapatan masyarakat di sini? Apakah mereka tergolong bawah, tengah atau atas?" tanya Jiangwu.
Kepala desa itu pun melirik padanya. "Tarif sesuai tingkatan? haha!"
"Kami punya banyak jenis obat, bila dia mampu membeli yang sangat mujarab, maka kami akan memberikan harga tinggi. Tetapi, bila dia ternyata masih dalam kesulitan, kami tidak berani menagih tinggi."
"Hmm, kau dermawan juga. Di sini ada masyarakat dengan tiga tingkatan itu. Kau bisa buat aturan seperti itu," ujarnya. "Dan, kalau kau mau, bisa pakai jadwal saja. Sehari untuk yang bawah, kemudian besoknya menengah dan di hari selanjutnya untuk yang kaya."
Jiangwu menurunkan bibirnya, menganggap ada sesuatu yang terselip dari ucapan pria paruh baya ini. "Apa anda punya ide lain?" pancingnya.
"Hmm, asal kau mau membagi persentasenya padaku. Ssstt, Diam-diam saja."
Jiangwu menyipitkan mata. "Baik, aku setuju."
"Haha, bagus! Kau ternyata bisa diajak kerja sama."
"Apa kami bisa aman dari penjaga?" tanya Jiangwu.
"Jelas! Anak buahku akan berjaga untukmu."
"Hoho, baiklah kalau begitu. Berapa persenan untuk Tuan?" tanya Jiangwu semangat.
"Katakan dulu berapa biaya obat rendah, tengah dan tinggi," pinta kepala desa.
Jiangwu menjabarkannya. "Biasa kami menagih 5 koin perak untuk bawah, 10 koin perak untuk tengah dan 1 koin emas untuk orang menengah ke atas."
Pak kepala desa membisikkan sesuatu padanya agar tidak didengar. Saat Jiangwu mendengarnya matanya terbelalak besar. Ide kepala desa itu sangatlah fantastis! Jiangwu langsung setuju dan merasa terlindungi karena mendapat dukungan darinya.
*
Keesokan harinya.
Liangyi berkeliling untuk melihat keamanan kota dan beberapa desa. Dalam perjalanan, Kanebo menceritakan bahwa ada rombongan baru yang tiba kemarin dengan tujuan kesehatan. Liangyi merasa tertarik untuk melihat langsung mereka mewujudkan tujuan baik itu.
"Apa yang membuatmu mengizinkan mereka tinggal?" tanya Liangyi.
"Kita punya rakyat yang sedikit-sedikit mengeluh sakit, mengadu ke kerajaan karena dianggap tidak diperhatikan. Akhirnya sesuai aturan dari perdana menteri, mereka dipindahkan ke Desa Barat Daya. Saya ingin melihat, apakah mereka mampu mengatasi permasalahan itu. Bila ternyata bisa, Bukankah itu kabar baik?" tanya Kanebo.
"Hmm, itu masalah lawas yang tak pernah berganti lirik. LagU mereka selalu itu-itu saja saat mengadu. Padahal banyak tabib di sini. Herannya, tabib tidak bisa mengatasinya. Apa sakit mereka datang dari alien?" tanya Liangyi.
Kanebo tersenyum. "Apa kita harus membuat pengujian ilmu untuk para tabib dan dokter di sini, Pangeran?" sarannya.
Liangyi menaikkan alis kirinya. "Benar juga! Ide bagus! Tak salah kau kuutus sebagai wakilku dalam menjaga keamanan."
"Terima kasih, Pangeran, atas pujiannya!"
Liangyi tersenyum. Kembali dia meminta Kanebo mampir di toko kue milik Jia Li. Wanita yang sudah membuatnya terpesona. Namun, saat tiba di sana - wanita itu sedang keluar. Hanya ada kakeknya saja. Liangyi kecewa, tetapi tak mau membuat kecewa sang kakek. Dia memborong banyak roti dan kue dari sana untuk dibagikan ke rakyat yang ada di beberapa tempat.
Kanebo membantu sang kakek memasukkan ke dalam MT-nya kemudian pamit pada pria tua itu.
"Saya akan sampaikan pada cucu saya, Jia Li, bahwa anda ke sini tadi," ujarnya.
Liangyi tersenyum. "Jaga cucumu, Kek! Jangan sampai dicelakai orang."
"Baik, Pangeran!"
Liangyi pun melanjutkan perjalanan. Saat melewati beberapa pusat belajar, Liangyi mampir, mengecek kondisi kemudian membagikan roti itu. Anak-anak sangat senang ketika diberikan roti. Beberapa dari mereka memang belum sarapan. Hal itu menggelitik rasa penasaran Liangyi.
Beberapa anak itu pun dipanggil untuk diajaknya berbincang, terlebih pada seorang anak perempuan yang tengah terbaring di ruang kesehatan.
"Kenapa kau bisa tidak sarapan di rumah?" tanya Liangyi.
"Maaf, Yang Mulia Pangeran Kedua, ibu saya tidak memasak apa pun, sementara ayah saya harus keluar pagi-pagi buta mencari kodok. Jika ayah sudah berhasil menjual kodok itu, maka ayah akan pulang dengan makanan," jawab si anak lelaki.
Liangyi belum dapat laporan seperti ini dari wilayah yang didatanginya itu. "Katakan siapa nama ayahmu?" tanyanya.
"Chou Hoi Lam."
Liangyi mengangguk, memegang kepalanya dan memintanya kembali ke kelas setelah makan roti agar punya energi untuk belajar. Liangyi melanjutkan pendataannya pada anak lain. Hampir rata-rata jawaban mereka sama, kecuali si anak perempuan yang tengah terbaring pucat.
"Hei, anak cantik. Siapa namamu?"
"Salam Pangeran Liangyi! Nama saya Xiao Guang."
"Ah, Xiao Guang, kenapa kau bisa sakit?"
Anak itu terdiam sejenak. "Saya-"
"Katakanlah, saya tidak akan marah."
"Saya sudah tiga hari tidak makan, ibu saya sudah meninggal dan ayah saya senang mabuk-mabukan. Di rumah tidak ada bahan makanan. Biasa kalau ibu masih hidup, akan ada telur ayam di lemari. Saya bisa merebusnya sendiri."
Liangyi marah pada kasus seperti ini. Kanebo mencatat masalah Xiaomi Guang dan meminta gurunya untuk mengurus anak ini sampai masalahnya dengan sang ayah selesai. Guru wanita yang ada di sana pun mengerti kemudian setuju untuk membawanya pulang atas suruhan pangeran Kangxi.
Liangyi segera meminta alamat orang tuanya dan segera menuju ke sana. Kanebo langsung melesat hingga tiba di lokasi. Pas di depan rumah orang tua Xiao Guang, Kanebo segera mengetuk pintu, berharap bisa bertemu dengan ayah dari anak perempuan itu.
Namun, pria itu tidak ada di rumahnya. Seseorang lewat dan mengatakan kalau pria itu suka menghabiskan waktu di kedai minuman ujung jalan. Kanebo mengucapkan terima kasih pada wanita itu kemudian masuk kembali ke MT.
"Pangeran, menurut informasi pria yang ada di rumah ini mungkin ada di kedai minuman ujung jalan. Apa kita perlu menemuinya?"
Liangyi pun ingin memberikan pelajaran pada pria itu. "Layangkan surat untuknya, katakan ini perintah dariku. Bila dia ingin mengambil anaknya, maka harus berurusan dengan hukum. Dia akan diberi hukuman karena menelantarkan anaknya."
"Baik, Pangeran!" Perjalanan pun berlanjut ke tempat-tempat lain.