Beberapa waktu kemudian.
Tuan Putri kerajaan Shan menemui ayahnya di kamar. Kaisar meminta orang yang tidak penting menyingkir sementara waktu, meski mereka telah bekerja lama, tetap hati seorang manusia bisa saja berubah untuk menjadi seorang mata-mata.
Kaisar Han Haocun meminta putrinya duduk di sampingnya. Tidak lama kemudian seorang dayang istana menuangkan teh untuk mereka berdua kemudian disuruh pergi.
Kini di dalam ruangan itu hanya ada ayah dan anaknya saja.
“Putriku Han Li Wei, aku melihat kau sudah siap untuk membina biduk rumah tangga, ayah ingin sekali melihatmu menikah sebelum masa hidup ayah habis.”
“Ayah, sedang bicara apa ayah? Kenapa mengatakan hal yang tidak aku suka?”
Kaisar Yang tersenyum. “Ayah ingin memperkenalkanmu pada putra dari kerajaan Kangxi.”
“Kerajaan Kangxi?” Li Wei pun mengingat sesuatu dari nama itu.
“Ya, benar. Mereka adalah kerajaan yang bisa mempertahankan integritas kekuasaan dan keamanan sampai saat ini. Prajurit mereka sangat tangguh dan juga dipimpin oleh Kaisar yang agung.”
Wanita itu mendengarkan penjelasan ayahnya. Rasanya memang dia pernah mendengar sebuah kisah dari kerajaan tersebut.
“Apa benar dia adalah kerajaan yang telah mencari penguasa yoyo milik keturunan abad ke-3 itu” tanya Li Wei.
“Haha! Kau ternyata sudah mengetahuinya.”
“Lalu, menurut kabar yang beredar, penerus yoyo antik yang kekuatannya melebihi banyak senjata itu adalah anak dari Kaisar Hongli.”
Kaisar Yang mengangguk senang. “Benar! Kau benar. Kaisar Hongli adalah calon mertuamu.”
Qi Luo pun tersenyum kaku, “Ayah ingin aku menikah dengan anaknya?”
“Hmm, mereka berjumlah 4 orang. Semua pangerannya terkenal sangat tampan. Saat kau nanti dibawa ke sana, kau bisa memilih yang sesuai dengan keinginanmu.”
“Aku yang memilih?”
“Sepertinya begitu, kita belum bicara langsung ke sana. Mereka meminta kita datang dan langsung menjalani syarat dari mereka.”
Li Wei mengerutkan dahinya. “Kenapa mereka yang meminta syarat? Siapa yang lebih dulu mengajukan?”
“Hahaha, ayah yang mengajukannya lebih awal. Mereka punya aturan, kita juga, maka untuk mempertemukan benang merahnya, kita harus berkunjung ke sana.”
Li Wei tersenyum. “Apa pun yang ayah mau, aku akan menerimanya.”
“Kau memang putriku yang sangat baik. Masalah kerajaan ini jangan takut, ada kakakmu yang akan mengurusnya.”
“Iya, Ayah.”
“Baiklah, jangan beritahukan ibumu dulu. Biar ayah saja yang menyampaikannya.”
“Iya, Ayah.” Li Wei dan ayahnya masih berada di kamar untuk berbincang-bincang.
Susah menemukan waktu luang ayahnya bila sedang bertugas. Kali ini wanita itu akan menghabiskan banyak waktu untuk bicara dan bercerita pada pria itu.
*
Di Kerajaan Kangxi.
Liangyi sedang mengasah kemampuannya dalam memanah. Ditemani oleh pengawal pribadinya, dia pun membidik buah persik yang sedang tergantung di pohonnya.
Mata elang milik Liangyi mampu melihat objek dari jarak sekitar satu kilometer dengan jelas. Anak panah yang kini sedang menyentuh pipinya itu akan dilesatkan dalam hitungan detik.
Liangyi mendengar suara langkah kaki dari belakang, semakin lama semakin mendekat. Jejaknya seolah sengaja dipelankan untuk mengelabuinya. Liangyi memutar target dan langsung berbalik dan melepas anak panah itu tepat di depan kaki adiknya.
“Aaah!” jeritnya kesal. “Bagaimana kakak bisa tahu kalau aku di sini?” lanjutnya.
Liangyi menghela nafas. “Kau masih tidak bisa menguasai tapak tanpa bayangan?” tanyanya.
“Mmh, itu, sepertinya aku-“
“Terus saja malas-malasan berlatih. Kau akan tertinggal dengan ilmunya Chang,” tegur Liangyi pada Chen.
“Sepertinya dia memang lebih menguasai ilmu itu, tapi ilmu yang aku kuasai, sampai sekarang belum juga dikuasai oleh Chen, Kak!” sahutnya bangga.
“Terus aku harus bilang ‘selamat’ begitu?” tanya Liangyi.
“Hehe, tidak, Kak!”
“Seorang pangeran harus menguasai banyak ilmu. Jika satu tidak bisa maka ilmu lain juga tidak bisa.”
“Tapi aku tidak secerdas kakak!”
“Itu karena kau tidak mau belajar! Semua bisa ala terbiasa.”
“Hmm, iya deh, aku akui aku salah. Aku janji akan belajar dengan giat lagi.”
“Ada apa kau ke sini?” tanya Liangyi.
Chang duduk di atas bongkahan kayu kemudian mengerutkan bibirnya. “Aku kepikiran sama perjodohan itu.”
“Kenapa? Kau ingin bersanding dengan Putri Kerajaan Shan?”
“Bukan begitu, aku malah berpikir, kita harus memberikan kesempatan pada kakak tertua mendapatkannya agar dia tidak merasa kecewa dilangkahi.”
Liangyi meletakkan busur dan anak panahnya ke meja kemudian duduk di dekat Chang.
“Menurutmu begitu?”
“Iya, kalau kita kan bisa cari yang lain.”
Liangyi setuju, lagi pula dia sudah menyukai seorang wanita penjaga kue. Baru saja ingin berdekatan, masa sudah harus lenyap tak berbekas.
“Memangnya kapan mereka tiba?” tanya Liangyi.
“Menurut yang aku dengar, ayah akan mengundang mereka untuk makan malam, mungkin besok atau lusa,” jawab Chang.
“Oh, oke. Jangan sampai kalian malah terpesona dan tidak jadi melancarkan misi,” oceh Liangyi.
“Tenang lah, Kak! Semuanya aman. Chen juga setuju.”
“Baguslah, aku rasa itu yang terbaik.”
“Iya, Kak!”
Liangyi berdiri lagi kemudian membidik ulang sasarannya di atas pohon. Kali ini Chang tidak mengganggunya. Melihat secara samar-samar yang mau dipanah kakaknya.
Apa yang mau dipanah? Aku tidak melihat apa-apa? tanyanya dalam hati.
Saat Liangyi melepas busur itu, pengawal pribadinya melihat dengan menggunakan kaca pembesar. Matanya membesar karena tertegun melihat hasil panahan pangeran ketiga itu. tepat mengenai bagian tengah hingga membuat buah itu pun pecah.
“Bagaimana, Kanebo? Apa masih kurang pas?” tanyanya.
“Haha, tidak Pangeran. Anda yang terbaik.”
Pria itu pun tersenyum, sementara Chang terpelongo. “Apa yang dipanah sama kakak?” tanyanya.
“Cicak,” jawab Liangyi setelah menghela nafas.
“Cicak? Serius? Boleh aku pinjam kaca pembesar milikmu, Kanebo?” pinta Chang.
Pria itu pun tersenyum. “Bukan cicak, Pangeran, tapi buah persik.”
“Huh?” Chang pun bingung. Dia tidak tahu kalau di sana ada pohon persik. “Jaraknya seberapa jauh?” tanyanya lagi pada Kanebo sambil berbisik.
“Sekitar satu kilometer, Pangeran Chang.”
“Eehh?” ekspresi wajah Chang pun berubah menjadi aneh kemudian melihat kakaknya tersenyum sambil membawa busur serta anak panah itu menuju kamarnya.