Kanebo masih tidak bisa menerima informasi lengkap bila mereka masih adu mulut.
“Ada apa, Nek?” tanya Kanebo pada wanita tua itu.
“Kami akui kami salah. Cucu kami meminjam uang pada rentenir ini hingga menghasilkan bunga 500% dari jumlah yang dipinjamnya.”
Kanebo menatap empat pria itu. “Berapa jumlah yang dipinjam cucunya?” tanya Kanebo.
“40 koin perak.”
“Oh. Sudah berapa lama?” tanya Kanebo lagi.
“Sudah dua bulan!” jawabnya meninggi.
“Turunkan suaramu, atau pedangku yang akan naik!” balas Kanebo emosi.
“Maaf, Tuan.”
“Dua bulan 500% ? pakai aturan mana kalian? Rentenir dari mana kalian?” tanya Kanebo tegas.
“Kami dari sini juga, Tuanku.”
“Dari sini? berarti dari Kangxi kan?” tanya Kanebo.
“Iya, Tuan.”
Kanebo ingin sekali mengeluarkan belatinya dari sarung yang terikat di pinggang, tetapi belum pun sempat pria itu mengeluarkannya, tiba-tiba, sebuah tali berwarna emas pun melilit di leher salah satu pria itu sampai tercekik!
“Kiikk, kkiiik!” suara jepitan pita suara dari pria itu sudah terdengar memilukan.
Siapa lagi kalau bukan Liangyi yang sudah mengayunkan yoyonya dari kejauhan kemudian berjalan mendekati mereka sekitar 10 meter lagi.
Pria yang terlilit pun semakin kesulitan napas. “Eek, eeek, nghhh.”
“Kalian memeras rakyat kecil dengan bunga yang sangat besar, mereka merasakan hal yang sama seperti pria yang sedang kudaratkan tali yoyo ini. Tercekik oleh benda kecil, tetapi ternyata mampu membunuhnya,” sahut Liangyi.
“Salam, Pangeran!” sapa mereka ketakutan. Melirik temannya yang belum dilepas oleh mereka.
“Saat ini, aku sedang melilit dengan bunga 100%, apa kalian mau melihat bagaimana tingkat sakit dan tersiksanya jika lilitan ini mengetat sampai 500%?” tanya Liangyi.
“Pangeran, lepaskan teman kami! Kami hanya bekerja saja untuk menagih pada mereka-mereka yang telah berhutang pada bos kami.”
“Aah, begitu. Apa ada yang tidak bayar karena tidak sanggup?” tanya Liangyi.
“Ada, Pangeran Liangyi.”
“Apa yang terjadi pada mereka?” tanya Liangyi balik.
“Mereka memutuskan bunuh diri.”
“Oh, begitu ya.” Liangyi semakin menguatkan ikatan tali itu dan benar-benar tanpa ampun! Pria itu kehabisan napas dan akhirnya lemas, wajahnya membiru.
Ketiga temannya terkejut, menatap Liangyi tajam. “Kau pembunuh, Pangeran!” tuduhnya.
“Kau merasa aku begitu? lalu apa yang dilakukan oleh bos kalian? Membunuh orang tanpa harus memegangnya.” Liangyi menggulung yoyo itu lagi.
Mereka sibuk membangunkan temannya yang sekarat. Masih bernapas, tetapi sudah sangat lemah.
“Katakan pada bosmu, itu adalah hukuman dari Pangeran Ketiga Kerajaan Kangxi! Dia harus menemui pengawalku untuk menyelesaikan masalahnya. Kegiatan kalian juga dibekukan! Prajurit akan datang ke kantor untuk menyegel semuanya.”
“Huh?” mereka sangat terkejut.
“Kalau tidak, lari ke lubang semut pun, akan tetap dapat.” Liangyi menoleh pada nenek dan kakek yang ada di depan rumahnya, terduduk ketakutan.
“Nenek, cucumu di mana sekarang?” tanya Liangyi.
“Ada di dalam, Pangeran. Kami menyembunyikannya dari mereka karena takut dipukuli.”
“Panggilkan dia untukku.”
Segera si nenek bergerak masuk dan membawa cucunya keluar. Seorang wanita yang tubuhnya penuh luka.
“Untuk apa kau meminjam uang 40 koin perak pada mereka?” tanya Liangyi.
“Salam, Pangeran Liangyi!” sapanya terlebih dahulu. “Saya meminjam itu untuk membebaskan anak saya dari ayahnya yang sudah menyandera dia selama 3 hari di rumah kami.”
Liangyi pun melipat tangan, menghembuskan napas berat kemudian menggerakkan kepalanya yang terasa pegal.
“Hei, kau!” panggilnya pada pria yang berada dekat dengan anggota rentenir yang saat ini terbujur lemah. “Bawa dia ke dokter! Dia masih ada waktu sekitar 10 menit sebelum mati.”
Segera mereka membawanya tanpa salam secara lisan, hanya menunduk saja kemudian pergi. Keselamatan temannya harus diperjuangkan.
Liangyi kemudian meminta Kanebo mendata wanita itu, meminta identitas pria yang sudah menculik anaknya sendiri dan memeras istrinya yang tidak bekerja.
Kanebo selesai mengumpulkan informasi yang akan diteruskan pada bagian yang berwajib melakukan prosesnya.
Tidak semua masalah mereka yang menyelesaikannya. Sesuatu yang benar-benar terlihat dan terdengar serta diterima nyata yang akan mereka tangani. Ada petugas penegak keadilan yang wajib memberikan hasil kerjanya setiap seminggu sekali pada Kanebo.
Jika ada masalah berat yang tidak ditemukan solusinya, Kanebo akan mengatakannya pada Liangyi.
Mereka pun meminta kakek, nenek dan wanita itu berjaga-jaga diri. Bila menemukan kekerasan sepihak seperti tadi, mereka diminta melaporkannya ke bagian petugas setempat.
Ketiga orang itu mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan Liangyi. Si nenek menahannya untuk tidak pulang dulu. Wanita tua itu masuk ke dalam rumahnya sekejap, lalu balik lagi dengan sekeranjang kecil ubi goreng.
“Terima lah ucapan terima kasih dari kami, Pangeran! Meski tidak mewah dan terlihat tidak bisa dimakan, tetapi rasanya sangat enak. Bawa lah pulang, mungkin bisa menjadi teman cemilan di dalam kendaraan anda,” ujar si nenek tersenyum malu.
Liangyi membalas senyumnya. “Terima kasih kembali, Nek! Saya akan menerimanya dengan senang hati.”
Liangyi dan Kanebo pamit, mereka melambaikan tangan dengan senyuman bahagia. Liangyi melihat keranjang berisi ubi goreng yang bentuknya tak beraturan. Entah dipotong pakai apa sehingga tidak memiliki bentuk aneh seperti itu.
Liangyi coba mencicipinya, alisnya menanjak dengan suara dari dalam mulut yang terdengar menyenangkan. “Mmh, rasanya enak!” kata Liangyi.
“Pangeran, Tuanku! Kenapa engkau makan? bisa jadi di-“
“Dalam hatimu perlu dibersihkan dari buruk sangka seperti itu,” sambarnya, menegur Kanebo yang ingin mengatakan kalau makanan itu beracun.
Dia percaya bahwa warga asli negaranya tidak akan berniat buruk, kecuali mereka adalah orang luar yang berpura-pura baik. Serta beberapa orang yang memiliki raut wajah mencurigakan meski sudah ditutupi serapat mungkin. Liangyi tetap mengetahuinya.
“Kanebo,” panggilnya.
“Iya, Tuanku?”
“Kau utus prajurit yang berasal dari sana untuk berobat di perkemahan pengobatan tadi. Aku tidak percaya pada mereka.”
“Baik, Tuanku, Pangeran Liangyi!”
“Jadikan mereka di kelas rendah, tengah dan atas, aku ingin tahu kualitas obat dan biaya yang mereka minta.”
“Iya, Pangeran.”
Liangyi menaruh keranjang tadi ke tempat duduk samping. Meneguk air dalam botol kemudian memikirkan masalah anak-anak yang ditemuinya di pusat belajar gratis dari pemerintah.