Akhirnya Chen kembali setelah durasi terlama yaitu, 8 menit. Chen cengengesan di depan Liangyi. “Semoga beruntung, Kak!” katanya.
“Oke,” sahut Liangyi tersenyum kemudian menghembuskan napas dari mulut dengan cepat sebelum menuju arena.
Tikus terakhir, makanan terakhir dan waktu juga sudah mulai panas. Jika tidak cepat diselesaikan mereka akan melewatkan waktu makan siangnya.
Liangyi menahan pelayan untuk tidak menaruh tikus itu terlebih dahulu. Waktu 2 menit digunakannya sebaik mungkin untuk menentukan jalan.
Liangyi mengambil coklat dari tempatnya dan menabur sedikit serpihan di sepanjang jalan dengan jarak sekitar 20 cm. Ditambah lagi ujung jarinya yang ditempelnya ke coklat digariskan dibeberapa tempat seperti persimpangan. Setelah selesai, Liangyi memintanya melepas tikus itu.
Liangyi hanya berdiri saja di ujung tanpa harus mengikuti pergerakannya. Fokus membuat jerat diujung pintu.
Tikus itu berjalan dan memakan serpihan itu dalam waktu 5 detik saja kemudian pergi lagi mencari serpihan lain sampai melewati berbagai tikungan dan sempat berhenti di tengah, kemudian berjalan lagi setelah penciumannya berhasil menemukan aroma selanjutnya dari lantai dan keluar dari jalur serta masuk ke dalam kandangnya.
Liangyi tersenyum pada ketiga saudaranya kemudian menunduk ke arah ayah dan Kaisar Han kemudian menoleh ke arah Li Wei beberapa detik saja.
Mereka mencatat waktunya dan tersenyum meninggi.
Chen melotot pada Kakaknya yang tidak menunjukkan bukti untuk mengalah sama sekali.
Benar! Awalnya Liangyi ingin mengalah, tetapi begitu dirinya berada di tengah arena, jiwa pejuangnya muncul dan tidak mau membuat kecewa mereka yang menyaksikan.
Akhirnya Liangyi terpaksa melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang pangeran.
Putri Li Wei pun bahagia karena di pertandingan pertama, Liangyi terlihat unggul. Saat pembawa acara mengumumkan hasilnya, Wang Liangyi menjadi pemenang pertama dengan waktu tempuh 3 menit 10 detik.
Jiangyi terlihat tidak senang sekaligus tidak terima karena kalah pada permainan labirin ini. Dulu saat mereka masih kecil, Liangyi selalu kalah dan dia yang menang.
Namun, sebenarnya bukan karena Liangyi kalah, tetapi sang adik membuat permainan sendiri sampai membuat kakaknya menang. Liangyi tahu persis sifat kakaknya, tidak mau dikalahkan.
Sama seperti hari ini, Jiangyi terkesan kecewa dengan dirinya sendiri karena tidak teliti dan terlalu percaya diri.
Acara ditunda sampai waktu makan siang selesai. Semua tamu dipersilakan untuk menuju ke kamar yang telah disediakan. Masing-masing pelayan memandu keempat orang penting itu menuju kamar mereka.
Dalam perjalanan, Putri Han Li Wei berpapasan dengan pangeran kedua. Mereka saling tersenyum saja tanpa berbicara, meski seperti itu sudah membuat Li Wei bahagia.
Sementara Liangyi, merasakan sesuatu yang berbeda pada putri tersebut ketika melihat dirinya. Kanebo memperhatikan gerakan putri Li Wei dari belakang.
“Pangeran, sepertinya putri menyukai anda,” bisik Kanebo.
Liangyi tersenyum. “Tidak seharusnya aku memenangkan kompetisi tadi.”
“Lho, memangnya mengapa begitu, Pangeran?”
“Kau sudah tahu jawabannya.”
“Ah, karena Jia Li?”
“Hmm.”
“Menurutku Putri Li Wei lebih cantik.” Kanebo malah ingin membelokkan perasaan pangeran Liangyi.
“Haha, pelayan pribadinya juga. Apa kau menyukainya?” tanya Liangyi.
Kanebo pun ikut tertawa. Saat yang lain sibuk memperhatikan pertandingan tadi, Kanebo dan pelayan pribadinya Li Wei terus bermain mata dan saling senyum. "Pangeran bisa saja."
"Haha, kau menutupi hal itu?" tanya Liangyi.
"Mmh, menurut saya membalas senyuman orang lain adalah hal baik."
Liangyi cekikikan. "Ya, benar sekali! mungkin saja di balik senyum itu terselubung perasaan," sahutnya.
Kanebo pun malu dan meminta Liangyi berhenti mengganggunya. Liangyi tertawa senang, selama ini Kanebo tidak pernah melirik wanita bahkan terkesan dingin sekali. Namun, kali ini pengawalnya itu bersikap beda, tapi masih malu untuk mengakuinya.
*
Masih ada waktu sekitar satu jam lagi sebelum jadwal makan siang. Para pangeran berkumpul di taman biasa mereka bercengkrama.
Hanya Jiangyi yang tidak ada di sana. Liangyi dan kedua adiknya sedang bercanda ria.
“Humorku terasa sangat menggelitik sampai tadi lelah rasanya menahan tawa,” kata Chen.
“Iya, benar. Perasaan Kak Liangyi setuju untuk mengalah, tetapi malah menyelesaikan dengan waktu tersingkat. Hum.” Chang terus menyindir Liangyi.
“Karena terbiasa untuk melakukan sesuatu yang terbaik, jadinya begitu, saat berada di arena tetap berusaha menjadi yang terbaik.” Liangyi membela diri.
“Halah, bilang saja kalau kakak suka sama Putri Li Wei,” sahut Chang.
“Tidak, aku tidak suka. Biarkan Chang dan kak Jiangyi yang bertaruh untuk mendapatkan putri itu,” kata Liangyi.
Chang memanyunkan mulutnya kemudian membukanya dengan senyuman.
“Aku, aku tidak suka padanya,” sanggah Chang.
“Kau masih mau mengelak? Aku tahu kau suka dan berusaha menyaingi Kak Jiangyi,” tandas Liangyi.
Chen sontak tertawa cekikikan dan mengangguk setuju. “Ya, aku juga melihat itu, kau memang terpesona padanya.”
Chang berdecak dan malu. “Habisnya dia cantik.”
Liangyi tersenyum. “Usaha, jangan cuman suka saja.”
“Tapi kak Jiangyi itu kan jago, mana mungkin aku mengalahkannya.” Chang tidak percaya diri.
“Makanya kalau aku suruh kalian belajar, harus belajar!” Liangyi jadi menegur kedua adiknya.
“Iya, maaf,” sahut mereka tersenyum malu dan merasa bersalah.
“Apalagi ketika ada tikus yang lari di atas papan labirin, memalukan,” sindir Liangyi lagi.
“Hahaha! Itu tikus memang tidak mau diajak kerja sama, buat malu saja.” Chen cekikikan sendiri.
“Teknikmu yang salah, sudah tahu daging itu salah satu makanan yang sulit ditelan, kau malah memberinya potongan besar. Ya jelas dia santai di tengah arena.” Liangyi tertawa kecil.
“Ck, sudahlah, aku sudah kehilang wajah di hadapan mereka.” Chen malu sekali.
“Belum tentu, mereka terhibur, bisa saja yang dibutuhkan Kaisar Han dan Putri Han adalah pria yang humoris sepertimu,” sahut Liangyi.
Ketiga orang itu berhenti bercengkrama karena salah satu pelayan menghampiri dan meminta mereka untuk makan siang bersama dengan para tamu.
Bubar barisan dan segera menuju ke tempat yang sudah disepakati. Mereka bertemu dengan Jiangyi di tengah perjalanan. Pria itu menanti adik-adiknya kemudian bersama-sama ke arah ruang makan utama.
“Kau melakukan yang terbaik, Liangyi,” kata Jiangyi.
Liangyi tersenyum. “Semoga di pertandingan selanjutnya, aku bisa melihat kakak menang.”
Jiangyi tertawa. “Baiklah, tapi mungkin kita berikan kesempatan pada dua adik kita untuk menang?” tanyanya.
“Hmm? Kami?” tanya Chang.
“Ya, sepertinya begitu.”
“Haha, sudahlah, kita jalani saja pertandingan ini, kalah menang biar Tuhan saja yang mengatur,” nasihat Chen agar tidak membuat yang bertekad kuat tidak sakit hati.
“Ah, kau belajar jadi penengah sekarang?” tanya Jiangyi.
“Haha, hanya berusaha jadi orang yang bisa menerima kenyataan.” Chen sok dewasa.
Kakak-kakaknya pun tersenyum. Chen dan Chang si kembar yang manja dan gemar membuat Liangyi maupun Jiangyi khawatir.