| ٩ |

1210 Kata
"Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai." (QS. Luqman 31: Ayat 19) "Seperti biasa, Umi selalu mengutip dari beberapa Ustaz. Kali ini dari Ustaz Taufiqurrahman. Ngomongin orang atau kerap disebut ghibah atau juga menggosip. Masalahnya, apalagi sedang puasa Quran Surat ke 49 ayat 12 Intan, bisa dibacakan artinya?" Intan menghirup udara panjang. "Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang." Zahra mengangguk lalu melanjutkan, "Dampaknya membuka aib sodara kita saat puasa itu apa? Niat pahala puasa kita hilang. Kalau kita ada di dalam lingkaran perkumpulan teman-teman yang sedang gibah, sekalipun kita hanya diam saja sama nilainya. Kecuali, Rahma bisa dilanjut?" Rahma menjentikkan telunjuknya. "Kecuali kata Nabi, jika kamu melihat kemungkaran maka pertama yang kamu rubah. Beranilah menyampaikan, tapi ketika kita diam saja masih dalam perkumpulan tersebut itu sama saja." "Sedangkan." Zahra kembali melanjutkan, "ketika kita menyampaikan omongan-omongan yang ada pada kebaikan teman kita, ini malah dianjurkan. Mengajak orang berbuat kebaikan walaupun bukan kita yang ngerjain, maka nilai pahalanya sama dengan yang mengerjakan. Besok di Yaumal Qiyamah orang yang suka ngomongin aib daripada saudaranya. Apa kata Rasulullah? Itu kelompok orang-orang yang bangkrut, muflis. Sahabat ditanya, apa itu muflis? Sahabat menjawab, orang yang gak punya rumah, Ya Rasulullah, gak punya kendaraan gak punya perhiasan. Nabi jawab, bukan. Muflis menurut aku, kata Rasulullah, Ya'ti Yaumal Qiyamah dia akan datang pada hari kiamat. Dizakatin dengan pahala zakatnya, disyaumin dengan pahala puasanya, ahli ibadah di dunianya. Zakatnya berani, salatnya rajin, puasa dan haji umrahnya rajin; tapi hilang semua pahalanya! Puasa jalan terus begitu pula acara membeberkan aib saudaranya, bukan batal puasanya, tapi nilai puasanya yang hilang." Zahra mengembuskan napasnya panjang. "Rahma, pantun—" "Pantunnya hafal!" potong Hilma diakhiri nyengir kuda, lalu mulai mengingat lagi pantun yang diucapkan Umi Fitri. "EKHM! Dari Cikarang lewat Kalimalang." "Cakep ...!" Ketiga temannya menahan senyum. "Gemar ngomongin orang pahala jadi hilang." Serentak keempatnya berucap, "Nauzubillah!" Perjanjian yang Hilma utarakan dalam hatinya, dalam sekejap mata benar-benar menghasilkan sikap nyata perubahannya. Ketiga temannya yang mendapati sikap berubah drastisnya itu. Dari yang biasa bangun pagi paling malas, diiringi gerutuan sebal mengingat pelajaran yang harus dipelajari semakin bertambah. Bukan hanya pelajaran, kegiatan luar pesantren pula sering dilakukan. Seperti tadabur alam, berbagi makanan gratis. Zahra yang aktif dalam kegiatan luar semakin dipercaya oleh Umi Fitri. Semenjak nama Hilma yang terkenal karena dihukum, ia juga semakin dikenal santriwati yang berubah drastis dalam pelajaran. Soal menghafal dan mengulang bahasan pembimbing jangan diragukan. "Mengucap salam yang selalu disingkat banyak orang, tanpa mereka sadari memiliki arti yang berbeda dari salam yang seharusnya diucapkan oleh umat muslim." Hilma melangkahkan kakinya, menatap santriwati yang kurang lebih berjumlah delapan ratus. "Apa saja yang sering terdengar dan bisa saja, kita pernah melakukannya! As! Hanya itu saja, memberikan salam seperti itu lalu masuk ke ruangan misalnya ke dalam masjid. Tahu tidak? Itu artinya orang bodoh atau keledai. Kedua, Ass ini double s, ya, kebanyakan mungkin yang menggunakan seperti ini saat bertukar pesan via telpon genggam. Benar tidak?" Para santriwati mengangguk mengiyakan, lalu Hilma melanjutkan, "Artinya apa? p****t! Selanjutnya, askum! Hayo ... sangat sering sekali, apa artinya, sih? Celakalah kamu. Nauzubillah, jadi biasakan mengucap salam yang benar. Assalamualaikum, dengan sepuluh kebaikan. Assalamualaikum Warahmatullahi, dengan dua puluh kebaikan. Terakhir yang sempurna dengan tiga puluh kebaikan, yaitu?" "Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh!" jawab para santriwati hingga bergema memenuhi penjuru masjid Al-Fikri. "Jadi, kalian memilih yang mana? Akhirul kalam subhanakallahu maa wabihamdika, asyhadu allaa ilaaha anta astaghfiruka wa atuubu ilaih. Wallahul muwaffiq ila aqwamithaaryq wallahu alam bis shawab. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh." Dari sana pula, Intan, Rahma, Zahra dan Hilma mulai dikenal empat bidadari Al-Fikri. Mengapa? Karena kehadiran keempatnya akan didapati selalu bersamaan. Jika terbagi dua, maka Intan bersama Rahma, sedangkan Zahra dan Hilma. Namun, soal kecerdasan dan mendapat nilai tertinggi tetap Zahra dan Intan. Hari dengan langit biru yang cerah, kembali Zahra mendapat perintah dari Umi Maryam. Senin ini ditugaskan membersihkan halaman belakang, tepatnya membuka pintu kebebasan yang dulu sempat Hilma lewati. Paling mendebarkan bagi Zahra, untuk tugas yang sangat langka mengingat tempatnya tepat di ujung pondok Umi memerintah santri lelaki membantu. "Maksudnya, biarkan mereka hanya membakar dedaunan kering, sisanya membawa ke kandang sapi," jelas Umi Fitri melihat wajah bingung Zahra. Umi Maryam menepuk bahu Zahra. "Ajak ketiga temanmu, kemungkinan Rizwan dan Isam saja, ya, Umi?" "Iya, asalkan jangan yang nakal saja." Umi Fitri kembali menekuri sebuah kitab yang sedang dipelajarinya sendiri, sebuah kacamata memudahkannya membaca tulisan arab kecil. Setelah mendapat perintah, Zahra segera mengajak ketiga temannya. Hilma sama sekali tidak mempedulikan keadaan nanti, saat Zahra memberitahukan akan ada ikhwan yang membantu; rasa bodoamat Hilma semakin tumbuh dan berkembang. Bahkan ia tidak peduli dengan penampilannya. Sudah biasa pula, diantara keempat bidadari Al-Fikri yang menarik perhatian adalah Hilma. Lihatlah, kerudung tak disetrika terlebih dahulu, sarung hitam yang mulai pudar warnanya. Jangan lupakan cara berjalan Hilma yang sulit dihilangkan. Bak berjalannya anak santri laki-laki. Sesampainya di depan pematang sawah yang memanjang. Dua manusia di ujung sana membuat Zahra terganggu sudah berjongkok sambil mencabuti rumput liar. Mereka berempat menuju tempat yang ditugaskan Umi Fitri tadi. Menghilangkan rumput liar dari pandangan, sudah mengotori benteng yang dicat berwarna hijau. Lebih tepatnya, Zahra takut Ustaz Hasbi datang juga. Benar saja, belum juga dimulai sosok dengan tubuh tegak tinggi menjulang siap melewati mereka berempat. "Assalamualaikum," salamnya diakhiri senyum. Zahra menahan napas, lalu menjawab salamnya dengan kikuk. Mereka berempat masih berdiri mematung. Untuk kedua kalinya, Ustaz Hasbi menatap wajah Hilma yang kelewat polos. Melewatnya lelaki yang berhasil mencuri hati para santriwati, semerbak pewangi tajam menusuk penciuman. "Masyaallah, ciptaan-Mu itu." Zahra hanya mampu membatin, mustahil bisa membagi cerita kisah cinta dalam diamnya kepada ketiga sahabatnya itu. Rasanya Zahra tidak percaya diri. Jadi, ia tetap dalam pendiriannya menjaga rahasia tentang cinta sendiri. Setengah jam kemudian, rumput liar terkumpul menumpuk mengharuskan Rizwan mendekat. "Hasbi! Mari ke sini, biarkan Isam membakar daun keringnya." Seketika keadaan semakin kacau, Zahra ingin pergi dari sana, tapi digagalkan oleh kedatangan Hasbi yang langsung menghampiri. Anehnya, paling ditakutkan Zahra adalah Ustaz Hasbi tak mampu mengalihkan pandangan darinya. Nyatanya, diam-diam Ustaz Hasbi menilai penampilan Hilma. Jauh dari santriwati lainnya. Sialnya lagi, Hilma ataupun ketiga temannya tidak sadar bahwa Hilma memakai kerudung terbalik. Waktu itu memang sengaja memakai kerudung instan dengan cepat. Menahan tawa pura-pura semua baik-baik saja, sedangkan Rizwan tanpa disadari ketiga santriwati yang tak jauh darinya mulai menilai Zahra yang semakin kikuk menahan malu. Ustaz Hasbi tahu bahwa sahabatnya itu sudah lama menyukai. Jadi, ia membiarkan saja, tapi sesekali mengingatkan. "Zinah mata, Riz." "Astagfirullah! Panah setan." Kumandang Azan Duhur menjadi akhir pekerjaan, sebelum Zahra benar-benar hilang dari pandangan. Suara Ustaz Hasbi memanggilnya menciptakan getaran lain berdatangan. Zahra berbalik, sedangkan ketiga temannya sudah masuk ke dalam pondok. "Kuncinya mana? Biar saya gembok dari luar pintunya," pinta Ustaz Hasbi. Zahra kira ada apa memanggilnya, ia pun menyerahkan kunci pintu. "Nanti, berikan kepada Umi Maryam," balasnya tetap menunduk menghindar dari saling bertatapan. "Iya, nanti akan saya berikan." "A—assalamualaikum," gagap Zahra lalu berjalan dengan d**a berdebar-debar, sedangkan mulut menahan jeritan. "Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," balas Ustaz Hasbi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN