| ١٠ |

1071 Kata
"Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai." (QS. Luqman 31: Ayat 19) Tahu kenapa kamu masih jomlo? Karena Allah tidak mau kamu salah jalan akibat pacaran. Tahu kamu diajak ciuman? Karena mulut kamu kurang baca Al-Quran. Tahu kenapa kamu masih digodain sama lelaki? Karena d**a kamu masih menampakkan aurat. Tahu kenapa pacaran berakhir menyedihkan? Karena pacaran datang dari bisikan setan. Tahu kenapa dia tidak peduli sih sama kamu? Karena Allah sedang mencarikan pasangan yang seiman denganmu. Tahu kenapa kebahagiaanmu tidak seperti mereka? Karena Allah tidak mau kamu lupa beribadah, sebab terlalu sibuk asik berbahagia. Tahu kenapa kamu mendengar apa yang saya ucapkan sampai habis? Karena Allah berencara menyadarkan kamu kembali ke jalan yang benar. Semua santriwati mengangguk paham. Mengikuti jadwal dan tingkatan setiap santri. Hilma sekarang berada di dalam sebuah kelas, tepatnya berada di belakang rumah Kiai yang nampak sederhana, tapi bersih terjaga. Mengingat sosok Umi Fitri sangat tidak suka, menangkap hal kotor atau berantakan. Jadi, sudah biasa beberapa santri yang terlihat membuang sampah sembarangan kena sanksi. Jadwal yang mengharuskan para santri mengumpulkan rasa percaya diri, sesuai daftar hadir beberapa santriwati berjalan menuju podium di depan. Menggunakan pengeras suara yang hanya bergema di ruangan saja. Di samping Umi Dinda, sosok Zahra tepat duduk di sampingnya. Tentu saja, ia takkan mendapat giliran berpidato di depan teman seangkatannya. Dari usia tiga belas tahun pun, Zahra dibiasakan oleh Umi Fitri berpidato di depan banyak orang. Jadi, sekarang ia hanya bertugas mencatat nilai yang disebutkan pembimbing. "Biasakan, bahasa arab umum yang dipelajari. Mengharuskan kita sebagai pelajar dibiasakan. Jangan hanya mengucap ana atau ukhti saja. Meskipun belum diterangkan guru, kalian coba menghafal dahulu, mengerti?" "Na'am, Umi ...!" Selesai deretan santriwati lain yang maju ke depan, nama Hilma terpanggil untuk segera meluncurkan hafalannya untuk didengar oleh tiga puluh santriwati dan juga Umi Dinda. Hilma berdiri dari duduknya yang hanya beralaskan karpet, berjalan lurus menuju titik podium dan mengulurkan tangan. Menyambar pengeras suara untuk digenggam. Pasang mata yang menunggu jelas di hadapan tidak membuat Hilma gugup total. Baginya ini adalah sebuah tantangan. Membuktikan bahwa Hilma yang dulu menjadi pelanggar nakal, sekarang harus menjadi panutan. "Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin, wassholaatu wassalaamu ‘alaa asyrofil anbiyaa-i wal mursaliin, wa’alaa aalihi wa sohbihi ajma’iin. Qoolallahu ta’ala fil qur’aanil kariim, a’uudzubillahi minasy-syaithoonir rajiim, bismillahir rahmaanir rahiim." Jeda. Hilma menyapu bersih tatapan mata menunggunya. Berucap lantang apa yang harus disampaikan. Tidak lupa seperti pesan dari Zahra kedua tangannya harus bermain, sesuai apa yang dikatakan oleh mulut pada saat itu. "Setelah kita mendengar, membenarkan bahwa pacaran dalam agama adalah haram. Di sini saya akan menerangkan sedikit kisah Sang Rasulullah dan istrinya. Jadi, buat kalian yang galau tidak pacaran, lalu menyimpulkan sulit mendapat pasangan. Itu salah total! Jadi, sebagai pengganti kegalauan, mari kita puji keromantisan sikap Rasulullah ini." Senyum lebar diberikan beberapa santriwati. Semakin percaya saja Hilma akan pidato yang dibawakannya. "Empat belas keromantisan. Nabi Muhammad terhadap istrinya. Satu, menempelkan mulut pada bekas makan dan minum istri. Hayo? Baper gak, nih?" Cekikikan tertahan terdengar, Hilma melanjutkan, "Kedua, mengusap air mata istri. Beuh, kek di senetron aja, ya!" "Afwan! Ana tak pernah nonton sinetron." Hilma mendapati teriakan dari salah satu santriwati. "Ya sudah. Seperti cerita fiksi yang kerap menjadi khayalan banyak orang." Selanjutnya, Hilma kembali menerangkan keromatisan Rasulullah terhadap istrinya. Seperti memberikan kecupan mesra, mandi bersama, tiduran di pangkuan istri, disisirin istri sampai membelai istri. "Mempunyai panggilan khusus, contohnya ke Aisyah dipanggil Khumaira artinya pipi merah yang merona. Mengajak istri keluar kota, berbincang bersama istri di luar. Kalo bosen di rumah mengajak makan istri keluar. Tau gak? Rasulullah kerap menghilangkan amarah istri dengan cara unik seperti mancubit hidungnya. Duh, jadinya gak marah yang ada malah malu-malu kucing, bener gak?" "BENER!" Zahra yang mendengar respon para santriwati tersenyum senang juga. Namun. masalahnya tidak dengan Umi Dinda jadwal pidato yang kebanyakan para santriwati menjelaskan, manfaat dan madarat dari perbuatan, sedangkan pokok yang Hilma bawakan adalah penjelasan, kisah lain yang sedikit memberikan manfaat untuk diamalkan. Intinya hanya pengetahuan soal keromantisan. Di mana Umi Dinda tidak mengharap mendengar penjelasan selanjutnya. "Rasulullah juga pernah menghabiskan s**u yang rasanya asin. Biasanya minum segelas bersama dengan istri tapi ini enggak. Karena Rasul gak mau istrinya ngerasain rasa asinnya. Sweet banget gak tuh?" Wajah ditekuk malas sudah terlihat jelas. Umi Dinda tetap bersabar menatap malas. Sampai Hilma menjelaskan akhir dari poin ke empat belas. "Pernah, Rasul pulang larut malam dan tidur di luar pintu. Karena tidak mau bangunin Aisyah yang sedang tidur. Eh ... tanpa disangka Aisyah juga tidur di balik pintu nunggu Nabi pulang. Cerita mana lagi yang romantis dari ini? Untuk kalian semua termasuk aku juga, masih sendirian dan enggan berpacaran semoga mendapat lelaki setampan, seromantis dan sepengertian Nabi Muhammad." "AAMIIN!" Serentak jawaban para santriwati bergema. Mengakhiri waktu Hilma berpidato. Saat ia siap melangkah kembali duduk di tempatnya, suara Umi Dinda terdengar. "Apa pelajaran yang kamu dapat dari pidatomu itu, Hilma?" Seketika Hilma berbalik kaku. "A--Anu, Umi," gagapnya. Baru tersadar. Sebenarnya Hilma memberikan manfaat apa dari yang barusan disampaikan? Hanya informasi bahwa Rasulullah sangat romantis? Ah, ya, Hilma mengajak para santriwati memuji sikap Sang Rasul. Namun, adanya jadwal pidato tersebut adalah untuk menilai. Apakah santri bisa membedakan mana yang bisa dibagi untuk diamalkan atau hanya informasi semata sebagai pengetahuan? "Waktu di masjid, kamu bagus menerangkan ilmu yang patut dibagi dan diamalkan. Sekarang, gerak tangan sudah sempurna, tapi apa yang kamu angkat dan jelaskan barusan? Hanya membuang waktu, kita memang wajib memuji sikap Rasul, tapi ini beda jadwal, Hilma. Lebih tepatnya lagi, topik itu dikhususkan untuk para lelaki. Jadi, apa yang harus diamalkan?" Diam. Bingung harus menjawab apa. Sampai waktu pun habis. Sekembalinya Hilma dan ketiga temannya ke dalam pondok. Zahra terus menyemangati, masih ada jadwal ceramah minggu yang akan datang juga. "Kenapa kamu gak tanya sama kita dulu? Pastinya 'kan bisa dikoreksi," komentar Intan. Hilma menoleh malas. "Gak mungkin banget aku selalu tergantung sama kalian. Dari kesalahan yang barusan didapatkan, aku dapet ilmu. Harus ada manfaat yang dapat diamalkan oleh si pendengar." "Bagus kalo niat kamu ingin mandiri. Berakhir belajar dari kesalahan sendiri itu memang menyenangkan, memaksa kita yang salah, kita juga yang memperbaiki," balas Zahra. Sampai di dalam kamar. Jam dinding menunjuk tepat pukul sebelas. Jadi, ada waktu bagi mereka untuk tidur sejenak sebelum melaksanakan salat duhur. “Tidurlah qailulah (tidur siang) karena setan tidaklah mengambil tidur siang.” (HR Abu Nu’aim dalam Ath-Thibb 1: 12; Akhbar Ashbahan, 1: 195, 353; 2: 69)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN