Terdengar suara Nela dari dalam kamar yang memanggilnya.
"Kak...!"
Nathan segera masuk, dia kini sudah mengganti pakaian sekolahnya dengan pakaian rumah. Nampak Nela berusaha berdiri dengan susah payah.
"Udah kamu rebahan dulu, pekerjaan rumah biar aku saja yang kerjakan."
Nathan membantu membaringkan adiknya ke tempat tidur, dan menyelimutinya.
"Aku yakin kamu pasti belum makan, tinggal sebentar dulu ya ?" ucap Nathan.
Ketika hendak berdiri Nela menahan tangannya.
"Aku takut kak, nanti ibu marah," Nela nampak ketakutan, hal ini terpampang jelas di wajahnya.
Nathan menatap iba adiknya itu, dalam hatinya bertanya, mengapa Tuhan tidak adil pada adiknya ? Bukankah dia dan Nela bersaudara ? Apa rencanamu ya Rabb ? Batin Nathan dan segera menghapus bulir-bulir air mata yang menetes di kedua pipinya.
Dia hanya menepuk punggung adiknya perlahan untuk menenangkan, dan dia segera beranjak ke arah dapur untuk mengambil makanan. Nathan mengambil piring dengan sangat pelan, dia tak ingin ibunya mendengar dentingan piring dan sendok yang bisa saja membuat ibunya marah lagi.
Baru juga hendak menyendok nasi ke dalam piring terdengar bentakan sang ibu.
"Jangan beri dia makan, anak itu harus diberi pelajaran," Nigsih sudah berdiri di belakang Nathan dengan berkacak pinggang, sambil telujuk kanannya di arahkan pada Nathan.
Nathan bahkan tak perduli, dia menyendok nasi dengan banyak di piringnya dan mengambil lauk secukupnya. Lalu segera berbalik menuju kamar adiknya.
"Hei tunggu, apa kau tuli ? Aku bilang jangan beri dia makan, hari ini jatah makannya telah habis, kembalikan makanan itu !" Teriak Ningsih.
Ingin rasanya Nathan melempar piring yang berisi makanan itu pada ibu sambungnya ini, namun akhirnya dia hanya mampu menghela nafas berat. Dia lalu berbalik ke arah ibunya.
"Ibu, ini jatah makananku, jika jatah Nela habis, maka aku harus membagi jatahku ini dengannya. Paham ?" Kedua rahang Nathan mengeras menahan amarah.
Ningsih melihat kemarahan di wajah Nathan akhirnya hanya mendengus dengan kesal dan segera berlalu. Awas kau ! Tunggu saja, akan ku kuliti tubuhmu sampai kau akan merangkak dan memohon ampun padaku. Dasar anak haram ! Ningsih terus mengumpat di dalam hati.
Dengan pelan Nathan menyuapi Nela, dan kemudian memberinya air minum. Setelah memastikan Nela telah kenyang barulah dia menghabiskan nasi yang tersisa. Nathan meletakkan piring di lantai dan merebahkan adiknya kembali ke ranjang dan menyelimutinya. Diputarnya kipas angin agar adiknya tidak kepanasan.
"Minumlah antibiotik ini, lalu tidurlah," Nathan mengangkat kepala adiknya dan meminumkan antibiotik yang diambilnya di dalam tas sekolahnya saat dia mengambil makanan tadi.
Sejak ibunya ketahuan sering menghukum adiknya, Nathan diam-diam membeli obat antibiotik dan betadin di Apotik. Dia menggunakan uang pemberian ayahnya yang disimpanya diam-diam untuk keperluannya dan Nela.
Melihat adiknya yang sudah terlelap, Nathan segera kedapur membersihkan semua peralatan dapur yang kotor dan mengerjakan semua tugas Nela. Dia tidak khawatir meninggalkan Nela sendiri di kamar, karena jika dia berada di dalam rumah maka ibunya tak berani menyakiti adiknya. Nela akan diperlakukan dengan tidak adil ketika dia tidak berada di rumah. Sebisa mungkin Nathan berusaha tak keluar rumah, walaupun diajak temannya bermain atau belajar bersama, dia lebih memilih bermain dan belajar sendiri di rumah.
Namun ibu tirinya selalu punya akal untuk menyuruhnya keluar dari rumah, terkadang menyuruhnya pergi ke pasar dan sudah pasti ketika dia kembali, sekujur tubuh Nela penuh dengan cubitan. Pernah sekali ketika ibunya menyuruhnya kepasar, baru dipertengahan jalan dadanya tiba-tiba berdebar akhirnya dia memilih kembali lagi ke rumah, dan benar saja terdengar rintihan Nela yang menahan sakit akibat tangannya dicelupkan ibunya ke dalam wajan yang berisi air mendidih.
Nathan melempar uangnya di wajah ibunya dan membantu Nela mengolesi tangannya dengan pasta gigi agar tidak melepuh.
Sampai segitu parahnya penyiksaan ibu terhadap adiknya namun tak pernah terlihat air mata keluar dari mata adiknya yang cantik itu.
Sebagai seorang kakak, Nathan haruslah jadi pelindung bagi adiknya. Ditatapnya wajah imut yang tertidur pulas itu, dia tak tega membangunkannya. Walau sebentar lagi azan magrib berkumandang namun dia tak tega melihat betapa lelapnya adiknya itu tidur.
Mengingat perkataan orang anak gadis tak boleh tidur menjelang magrib, akhirnya dengan tak tega Nathan membangunkannya.
Nela menggeliat, sekujur tubuhnya terasa sakit, efek obat antibiotik tidak bisa meredakan nyeri akibat beberapa pukulan yang diterimanya. Nela teringat kesalahannya, dia terlambat satu menit dari jadwal yang ditetapkan ibu sambungnya untuk tiba di rumah. Padahal dia sudah berusaha berlari sekuat tenaga dari sekolah, berharap dia tiba tepat waktu. Namun ternyata terlambat juga.
Nela pulang sekolah jam 12.15 siang dan Nathan jam 1 siang. Ibu sambungnya menetapkan waktu tiba di rumah jam 12.30. Jarak tempuh dari sekolahnya ke rumah jika ditempuh dengan jalan kaki maka akan memakan waktu dua puluh menit, kecuali jika dia naik ojek maka dia akan tiba lebih cepat. Tapi saat itu tak ada ojek yang melintas, terpaksa Nela berlari dari sekolah sampai ke rumah dengan ngos-ngosan. Sudah berusaha sekuat tenaga untuk tiba tepat waktu tapi ternyata begitu menginjakkan kaki di dalam rumah, Nela terlambat satu menit. Hal ini yang membuat ibunya berang, Nela juga menyesalinya, andai di halaman depan dia tak berhenti sebentar melepas lelah mungkin saja dia tiba tepat waktu.
Nela merasa tubuhnya sangat perih, untung saja besok libur sehingga masih ada jedah waktu dua hari sebelum masuk sekolah untuk pemulihan. Nathan tak ingin beranjak dari kamar adiknya.
"Kak, sudah waktunya sholat, kakak imami aku ya ? Aku nanti duduk saja tak sanggup berdiri."
Nathan tersentak, padahal dia sudah mendengarkan suara azan berkumandang, namun karena terlalu terhanyut dengan rasa iba terhadap adiknya membuatnya enggan beranjak dari sana.
Akhirnya Nathan memapah Nela ambil air wudhu di kamar mandi, setelah mengantar adiknya kembali ke kamar, diapun lalu berwudhu.
Nela Sholat sambil duduk, karena dia tak sanggup berdiri. Nathan tau adiknya tak sekalipun melalaikan ibadahnya kecuali dalam keadaan uzur atau sakit yang tidak bisa membuatnya bangun, namun terkadang dalam keadaan seperti itupun Nela selalu melakukan tayamum dan sholat sambil berbaring.
Terkadang Nathan malu terhadap adiknya itu, dia yang tak punya uzur masih suka bolong dalam sholat. Sebagai seorang kakak, seharusnya menjadi contoh yang baik bagi adiknya, ini malah terbalik, adiknyalah yang selalu saja memberinya contoh.
Setelah melaksanakan ibadah magribnya, Nela membaca Al-qur'an, suaranya terdengar syahdu. Nathan menatap adiknya lama, untuk anak seusianya, tidak seharusnya mendapatkan perlakuan buruk seperti ini. Ekspresi iba terpatri diwajahnya, dengan cara apa dia menyelamatkan adiknya ini ?