Rintihan Nela
Suara seorang gadis yang sedang merintih kesakitan terdengar sampai ke pintu halaman, Nathan yang hari itu baru saja pulang dari sekolah segera berlari menuju arah suara.
"Ibu...!" Teriak Nathan. "Apa yang kau lakukan ?" Nathan segera merampas sebilah bambu yang sering digunakan ibu sambungnya untuk menghukum Nela.
"Apa kau tidak lihat Nathan, sekarang sudah jam berapa ? Bukankah ibu sudah bilang jangan pulang terlambat, anak gadis yang suka keluyuran seperti dirinya patut di hukum."
Ibu sambung yang bernama Ningsih dengan wajah penuh kemarahan berusaha merampas kembali bilah bambu yang dirampas Nathan.
Ini bukan pertama kalinya dia menghukum Nela, hampir setiap hari Nela harus menerima pukulan atau cubitan disekujur tubuhnya walau itu hanya kesalahan kecil. Menumpahkan nasi sebakul, masak nasi terlalu lembek salah, terlalu keras juga salah, lalu untuk anak sekecil itu, bukan diajari dengan baik tapi malah semakin diintimidasi.
Nathan menahan geram, sebelum dia menolong memapah adiknya berdiri, dia segera mematahkan bambu menjadi potongan-potongan kecil lalu dimasukannya ke dalam tungku perapian. Air mata menetes perlahan di kedua pipinya, jika bukan menghargainya sebagai ibu yang telah membesarkan mereka berdua, Nathan sudah ingin membalas semua perlakuan kasar ibunya itu.
Dipapahnya Nela dengan pelan, berjalan terseok-seok akibat kakinya terkena pukulan sebilah bambu, meringis kesakitan namun tak ada air mata disana. Gadis kecil ini sudah terbiasa menahan sakit akibat ulah sang ibu. Benar apa kata orang, Ibu tiri tak sebaik ibu kandung. Tapi diluar sana masih banyak ibu sambung yang sangat sayang kepada anak tirinya, ah..mungkin itu hanya satu diantara seribu ibu sambung. Pikir Nathan.
Diambilnya air hangat dan sebuah handuk kecil, dibasuhnya perlahan dan dikompresnya ke betis adiknya yang nampak membengkak. Adiknya yang putih mulus bagaikan batu pualam itu nampak meringis kesakitan.
"Ditahan sebentar ya ? Kakak akan mengobati lukamu," Nathan segera berdiri mengambil kapas dan betadin.
Kaki yang putih mulus itu kini menjadi belang-belang, penuh dengan luka.
"Apakah punggungmu terluka ? Berbaliklah angkat bajumu sedikit saja, kakak akan mengobatinya, jika tidak diobati takutnya infeksi."
Nathan ingin memeriksa sekujur tubuh adiknya, namun dia tau, adiknya kini sudah besar. Usia lima belas tahun bukan lagi anak ingusan yang harus dimandikan atau dipakaikan baju.
Masih terdengar suara Ningsih yang terus mengomel tiada henti, barang-barang terdengar dibanting dengan keras, karena terbuat dari aluminium jadi bunyinya terdengar keras. Untunglah Nigsih tak memecahkan piring-piring dan gelas, jika semua pecah lalu mereka makan dan minum pakai apa ?
"Bukankah sudah kubilang, jangan pernah terlambat, jejak buruk sang ibu ternyata tak lepas dari dirinya, huh..buah jatuh tak jauh dari pohonnya."
Masih banyak lagi omelan Ningsih yang membuat telinga Nathan semakin panas, dia ingin saja meneriaki ibunya itu tapi melihat gelengan kepala Nela membuat dirinya hanya bisa mengatupkan rahangnya menahan geram.
Ningsih selalu tidak bisa menahan dirinya jika itu berurusan dengan Nela, seakan ada sebuah dendam yang tak terbalaskan yang harus dia lampiaskan pada gadis kecil itu. Untuk Nathan dia tak sekalipun memukulinya, entah karena Nathan terlalu mirip dengan wajah tampan ayahnya, membuat Ningsih terlalu sayang jika sampai melukai tubuh sang anak.
Nathan diusianya yang ke tujuh belas tahun tumbuh dengan garis rahang yang kokoh mengikuti sang ayah. Tinggi atletis, dia dan ayahnya bagaikan pinang di belah dua. Hanya perbedaannya dia terlihat masih sangat muda, jika dia tumbuh dewasa maka akan terlihat sangat mirip dengan ayahnya yang bernama Aris. Kini ayahnya harus mengais rezeki di rantau orang sebagai TKI di Malaysia dan setahun sekali baru kembali ke Indonesia.
Sekujur tubuh Nela membiru, Nathan tak sanggup melihatnya, perlahan dioleskannya betadin di punggung adiknya.
"Jika terdapat luka di bagian depan, kau bisa mengoleskan ini sendiri di kamar mandi, atau oleslah sendiri di kamar ini, aku akan menunggumu di luar."
Nathan menghapus air matanya, dan segera berdiri diluar kamar dengan tak lupa menutup pintunya. Terbesit dalam pikirannya untuk melarikan diri dari rumah ini, namun karena sebentar lagi ujian penentu kelulusan, maka dia terpaksa memendamnya. Akan tiba waktunya dia harus membawa adiknya pergi dari rumah ini. Dia tak mungkin mengadu pada ayahnya, dengan cara apa dia mengadu, dia tak memiliki ponsel sebagaimana teman-teman sekolahnya yang setiap hari membawa ponsel. Andai meminjam ponsel teman sekalipun, dia tak tau menghubungi ayahnya dimana.
Beberapa bulan yang lalu ayahnya pulang dengan membawa uang yang banyak dan oleh-oleh untuk mereka, ingin rasanya Nathan bercerita pada ayahnya akan perlakuan sang ibu terhadap Nela, namun tatapan tajam Ningsih seakan menembus jantungnya. Tatapan yang penuh ancaman seakan melarangnya untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Dan selama ayahnya berada di rumah selama dua bulan, selama itu pula tubuh Nela terselamatkan, bahkan luka-lukanya telah mengering.
Pernah sekali ayahnya bertanya mengapa kaki Nela ada bekas lukanya, Nathan dan Nela hanya saling berpandangan satu sama lain dan Ningsilah yang memberikan alasan yang tak masuk akal.
"Nela sepulang sekolah masih suka bermain dengan teman-temannya di hutan, jadinya kakinya tergores ilalang yang ada disana."
Alasan yang sangat tidak masuk akal. Nathan menahan geram, namun ayahnya ketika mendengar isterinya menyebut hutan seketika wajahnya pias dan berkata.
"Ayah peringatkan kepada Nela terutama kau Nathan, jangan sekali-kali mendekati hutan itu, disana sangat berbahaya, banyak binatang buasnya. Lagian hutan itu termasuk hutan lindung, orang yang kesana pasti tak akan kembali."
Ayahnya terlihat sedang mengenang sesuatu, mungkin saja itu kenangan buruk, karena terlihat dari raut wajahnya yang sangat suram. Menurut cerita yang pernah di dengar Nathan jika dulunya ayahnya sering kehutan bersama teman-temannya mencari kayu jati untuk di jual, beberapa temannya dikabarkan tak kembali dan hanya ayahnyalah yang selamat. Rumor yang beredar menyebutkan jika teman-temannya itu dimakan serigala penunggu hutan. Semua orang percaya, karena ayahnya kembali dari hutan itu dengan tubuh penuh luka dan pucat nyaris kehabisan darah. Untunglah sempat tertolong, namun sejak itu ayahnya berdiam diri tak pernah bercerita apapun tentang hutan itu, dan bagaimana kronologinya dia bisa selamat dari amukan penjaga hutan, tak ada yang tau. Masing-masing berspekulasi sendiri, ada yang mengatakan faktor keberuntungan namun ada pula yang mengatakan ayahnya dibantu mahluk lain penunggu hutan itu.
Selama dua bulan, Ningsih sangat menyayangi Nathan dan Nela, bahkan ibunya itu membelikan beberapa gaun untuk Nela. Membelikan peralatan sekolah juga, mengganti baju seragam Nela yang sudah usang. Selama dua bulan itu, Nela hanya diijinkan menyapu di dalam rumah saja, selebihnya dikerjakan Ningsih.
Tepat sehari kepergian ayahnya yang kembali ke Malysia, mulailah Ningsih berulah, mencubit, memukul bahkan menjambak rambut Nela. Seluruh pekerjaan rumah dikerjakan Nela sendiri, saat Nathan pulang sekolah dia membantu meringankan beban kerja adiknya itu. Adiknya yang cantik, sangat putih mulus bahkan wajahnya tak mirip ibu. Nathan sempat mencelos, apakah Nela bukan adik kandungnya ? Lalu ?