Karena tarikan rambutnya sangat keras, tubuh Nela ikut tertarik, Nathan segera melepaskan tangan ibunya dari rambut Nela.
"Jangan keterlaluan bu !" Nathan menghempaskan tangan ibunya dengan kasar, beberapa helai rambut Nela ikut tertarik. Dia meringis kesakitan.
Nathan melindungi Nela, Nela terus berada di sampingnya sampai dia selesai memperbaiki penyebab korslet listrik. Lampu kembali dinyalakan.
Ningsih dengan wajah geram menarik tangan Nela menuju ruang makan. Terjadi tarik menarik antara Nathan dan Ningsih. Karena melihat Nela meringis kesakitan akhirnya Nathan melepaskan tangan Nela. Dia mengikuti arah dimana Ningsih membawa Nela.
"Duduk" ! Ningsih menyuruh Nela duduk di bangku dengan kemarahan yang tak juga hilang dari wajahnya.
Nela terus menunduk karena merasa bersalah, Nathan duduk tak jauh dari keduanya, dia akan bersiap-siap melawan ibunya jika terjadi kekerasan lagi.
"Sekali lagi aku peringatkan padamu, jangan berlagak seperti orang kaya, lihat ini !"Ningsih menunjuk es lilin yang menumpuk di atas meja. "Aku melakukan ini semua untuk keperluan kita sehari hari dan kau, bukannya membantuku tapi malah berkipas ria di kamar."
Nela ingin membantah namun dia tak berani.
"Tatap ibu Nela, kau itu seperti ibumu yang kerjanya hanya hidup berfoya-foya dan merebut suami orang."
Melihat ibunya yang sudah berdiri menghampiri Nela, Nathan segera mendahuluinya.
"Siapa merebut siapa ibu ? Kau mengada-ada, ibu kami tidak seperti yang kau tuduhkan."
Melihat Nathan yang segeŕa melindungi Nela membuat darah Ningsih naik sampai ke ubun-ubun.
"Minggir Nathan, ibumu bukan ibunya Nathan. Jangan menghalangi ibu jika tidak..! Ningsih tak melanjutkan kata-katanya. Wajah Nathan selalu mengingatkannya pada Aris yang dicintainya sejak masih gadis belia.
"Jika tidak apa bu, dengar ! Mulai detik ini aku tidak ingin melihatmu mengintimidasi adikku, dan jangan mengancamku, karena akupun bisa melakukan lebih dari apa yang akan kau lakukan."
Tatapan mengintimidasi Nathan membuat nyali Ningsih menciut, tatapan kemarahan seperti ini mirip kemarahan suaminya yang dulu hampir menceraikannya gara-gara menyebut nama Ibu Nela.
Tapi dia tidak ingin memperlihatkan wajah takutnya pada anak remaja ini.
"Kau mau melakukan apa pada ibumu hah ?" Ningsih dengan cepat menarik Nela dari samping sehingga Nela jatuh terjengkang.
Nathan emosi ditariknya ibunya dan tangannya mengepal, sesaat sebelum tinjunya melayang ke wajah Ningsih, Nela bangun dan menarik tangannya.
Wajah Ningsih sempat pias, nyaris saja Nathan memukulinya. Dia mendelik gusar ke arah Nela, dendamnya semakin membara. Tunggu saja, aku akan melampiaskan semua yang tertunda hari ini. Batinnya.
Nathan melihat kilatan dendam dimata ibunya.
"Dengar bu, Nela besok mulai ujian kelulusan, aku tidak mau melihat seujung rambutpun kau menyentuhnya. Paham ?"
Nathan bukan sekedar mengancam, dia sudah benar-benar bertekad membuat perhitungan dengan ibunya.
Setelah itu Nathan segera menarik tangan Nela menuju kamarnya.
"Lanjutkan belajarmu, jangan takut, aku akan melindungimu."
Saat Nathan hendak beranjak keluar Nela menarik tangannya.
"Kak, tolong jangan berkelahi lagi dengan ibu, walau bagaimanapun dia telah membesarkan kita."
"Tapi dek, ibu sudah keterlaluan sudahlah, jangan pikirkan itu, serahkan semuanya padaku. Yang kau harus lakukan sekarang hanya belajar biar bisa lulus dan bisa melanjutkan sekolah."
Nela menggeleng, dia tahu kakaknya ini begitu melindunginya. Namun dia tak ingin sesuatu terjadi pada ibunya. Dia tak ingin Nathan melakukan kekerasan yang akan berujung dirinya di penjara seperti yang menimpa ayah dari teman sekelasnya. Hanya karena memukuli ibunya lalu ayahnya dilaporkan ke pihak yang berwajib.
"Kak, bukankah ada cara yang lebih baik agar kita terhindar dari tindak kekerasan ini ?"
Nathan mengamati adiknya sesaat, lalu dia mengerti. Ya..jalan satu-satunya yang harus mereka lakukan adalah keluar dari rumah ini.
Selama ujian berlangsung, Ningsih tak pernah sekalipun menyakiti Nela, entah takut pada ancaman Nathan atau dia memang sedang merencanakan sesuatu.
Ujian telah selesai, namun Nela belum juga kembali. Karena dia dan Nathan sudah berencana melarikan diri dari rumah, makanya hari ini Nela menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Nathanpun melakukan hal yang sama, berkumpul bersama teman-teman sekolahnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 barulah Nela tiba dirumah, Ningsih sudah menunggunya di dalam rumah dengan sebilah bambu ditangannya.
Nela berdiri mematung, sebelum bambu itu mengenai tubuhnya, dia sudah duduk bersimpuh memohon ampun. Namun Ningsih bagai kesetanan menarik Nela agar berdiri dan memukuli betis Nela tiada ampun sampai Nela jatuh bersimpuh.
Nathan yang baru saja tiba segera berlari melindungi tubuh adiknya, alhasil punggungnya yang kena pukulan bilah bambu itu. Nathan merasakan perih yang tak terkira, ternyata seperih ini yang dirasakan adiknya.
Nathan menahan nafas dan mengumpulkan tenaganya, Ningsih kembali melayangkan pukulan ke tubuh Nela, dua kali Nathan menghalangi pukulan itu.
Melihat Nathan yang meringis kesakitan, Ningsih menghentikan aksinya dan membuang bilah bambu itu ke lantai dengan kasar. Dia segera berlalu menuju ke kamarnya dengan emosi yang meluap.
Nathan memapah Nela, dilihatnya adiknya tak sanggup lagi berdiri, kaki dan punggungnya terasa sakit. Nathan bisa merasakan penderitaan adiknya itu. Jiwa dan hatinya benar-benar sakit, air matanya jatuh tiada henti, bukan karena pukulan yang mengenai tubuhnya namun karena tak ada air mata yang keluar dari mata adiknya.
Sore itu Nathan diam-diam membungkus Nasi dan lauk secukupnya untuk bekal mereka di hutan nanti.
Kesempatan itu akhirnya datang, ibunya sedang mandi, Nathan dan Nela mengendap-endap keluar lewat pintu belakang dan berlari masuk hutan.
Hutan itu terlalu gelap namun mereka tak berhenti berlari, sampai Nela berseru.
"Kakak, aku tak kuat lagi."
Nathan berpaling, luka di betis adiknya membiru dengan beberapa tetes darah yang telah mengering, bisa dibayangkan bagaimana perihnya terkena sabetan bambu yang sudah dipersiapkan ibu setiap kali Nela berbuat kesalahan sekecil apapun itu.
Hati Nathan tersayat, ini tak bisa dibiarkan, jika terus berlanjut maka dia akan menyaksikan adiknya itu mati didepannya, itu yang ibu sambungnya inginkan. Ayahnya yang harus mengais rezeki di rantau orang sebagai TKI, pulang setahun sekali, tak tahu sama sekali apa yang menimpa mereka berdua.
Rintihan Nela membuat Nathan tersentak.
"Tahan sebentar dek, sedikit lagi kita akan tiba dihutan dimana ibu tak akan menemukan kita.
Namun Nathan salah, ibunya dan beberapa masyarakat mengejar mereka...
Dengan meminta bantuan beberapa warga, dengan alasan kedua anaknya menghilang, Ningsih mampu meyakinkan warga, tadinya tak ada yang berani masuk hutan, namun karena uang yang ditawarkan juga keyakinan yang diberikan, jika dulu Aries dan Nathan berhasil keluar hidup-hidup dari hutan itu jadi tidak perlu ada yang ditakutkan.
Beberapa warga membawa obor dan senter memasuki kawasan terlarang.
Seorang warga berteriak tatkala senternya tepat mengarah kepada kedua kakak beradik yang duduk di bawah pohon besar.
"Itu mereka!"
Ningsih segera berlari disusul warga yang lain, menuju ke arah Nathan yang sedang duduk memeluk Nela setengah berbaring dan menyandarkan tubuhnya di batang pohon.
Mata Nathan terpejam, mulutnya komat kamit seakan sedang berdoa. Dia tau jika saat ini Ningsih dan warga hanya beberapa langkah lagi sampai di tempat mereka melepas lelah.