Setelah selesai berbelanja di minimarket yang berada di depan gedung apartemen. Kanaya kembali ke apartemen Reynand. Kemudian mulai berkutat dengan peralatan masaknya.
Kurang lebih satu jam. Semua masakan Kanaya telah siap untuk di santap oleh Reynand. Ia menatanya di atas nampan dan mulai membawanya masuk ke dalam kamar bosnya.
Reynand perlahan mulai membuka matanya. Nyeri yang kembali menyerang kepalanya membuatnya meringis kecil seraya memijat pelipisnya yang masih terasa sakit.
Diliriknya seseorang yang berjalan mendekati ranjangnya. Sambil bersuara lembut, “Eh, bapak sudah bangun? Kebetulan makanannya sudah siap. Ayo, Pak makan dulu. Lalu minum obat dan istirahat lagi.” Tawar Kanaya yang membantu Reynand duduk bersandar di headbord ranjangnya.
Reynand hanya diam melihat Kanaya mulai mengambilkan sup ayam dengan nasi sedikit lembek. Hidungnya mampu mencium aroma lezat dari wangi yang di keluarkan oleh semangkuk sup ayam di tangan Kanaya.
Membuat perutnya berbunyi. Pertanda ia sangat lapar saat ini. Kanaya menahan tawanya, sementara Reynand hanya mendengus kesal.
“Ini Pak. Cepat dimakan biar cacingnya nggak demo lagi!” godanya seraya terkikik geli.
“Suapin saya. Tangan saya lemas banget.” Pinta Reynand dingin. Kanaya mendecih sebal. Namun tetap saja duduk di sebelah Reynand dan mulai menyuapi bosnya ini makan.
Meniupnya dengan pelan, lalu menyuapkannya ke mulut Reynand. Hati Reynand terasa hangat mendapatkan perlakuan lembut dari Kanaya. Rasanya sama seperti Neneknya dulu yang selalu meniupkan makanannya lebih dulu jika panas. Sebelum menyuapkannya ke dalam mulutnya.
Perlahan di sudut matanya, setetes buliran bening tersebut menetes. Reynand teringat akan Almarhum Neneknya. Wanita yang sangat menyayanginya. Bahkan yang selalu ada di rumah menemaninya setiap harinya. Mencurahkan segala kasih sayangnya yang tak bisa di dapat Reynand dari kedua orangtuanya yang sibuk dengan kesenangan mereka sendiri.
Karena memang benar adanya. Tubuhnya terasa sangat lemas dan tak memiliki tenaga sama sekali. Serta ia juga berubah sangat manja jika sedang sakit. Tak ayal membuat Mamanya selalu memaksanya pulang kerumah kala tengah sakit.
Karena Reynand telah terbiasa dimanja oleh Sang Nenek. Yang sayangnya telah tiada. Reynand memang sangat dekat dengan neneknya. Sebab kedua orangtuanya yang selalu saja sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Papanya yang sibuk dengan perusahaannya. Dan Mamanya yang sibuk dengan teman-teman sosialitanya. Sementara Reynand dirawat oleh neneknya yang tinggal di rumahnya. Karena sang kakek telah lama meninggal. Saat Reynand masih berumur dua tahun.
Tepat di usia Reynand yang menginjak dua puluh dua tahun. Neneknya pun ikut pergi meninggalkannya. Karena penyakit paru-paru yang lama dideritanya.
Semenjak itulah, Reynand memutuskan untuk tinggal di apartemen. Karena baginya, percuma juga ia tinggal di rumah yang tak sehangat rumah orang lain. Rumah hanya sebuah nama yang tak pernah ada kasih sayang di dalamnya.
“Nah, sudah habis. Sekarang bapak minum obatnya yah! Ini pak!” Kanaya meletakkan mangkuknya yang sudah kosong di atas nakas. Lalu mengambilkan obat beserta air minum untuk Reynand.
Sesudahnya Reynand meminum obatnya. Kanaya kembali membantu Reynand berbaring. Dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut.
“Sekarang bapak istirahat yah. Setelah saya mencuci bekas bapak makan. Saya pulang. Cepat sembuh ya pak. Nanti bonus saya gimana jadinya kalau bapak sakit begini!” Ucapnya dengan sedikit serius.
Reynand hanya mendengus kesal. “Sudah pulang sana. Makin pusing saya dengar suara berisik kamu yang hanya ingat bonus saja.” Gerutu Reynand.
Sementara Kanaya hanya tersenyum tipis. Sepertinya bosnya itu sudah lebih baik dari sebelumnya. Buktinya masih bisa mendebat dirinya.
Kanaya segera keluar dari kamar Reynand sambil membawa nampannya. Ditutupnya pintu kamar Reynand pelan. Lalu menuju ke dapur untuk membereskannya. Membersihkan bekas masaknya tadi.
“Nah, sudah bersih semuanya. Sekarang tinggal pulang. Tapi lihat keadaan Pak Reynand dulu deh!” monolognya sambil berjalan menuju kamar Reynand.
Kanaya telah berdiri di sisi ranjang Reynand. Terlihat Reynand mengigau memanggil neneknya. Kanaya menyentuh keningnya dan, “Loh? Kok makin panas sih? Tadi sore kan sudah mendingan? Aduh, bagaimana ini? Nggak mungkin juga aku pulang kalo dia malah semakin demam.”
Kanaya keluar dari kamar untuk mengambil wadah serta air untuk mengompres Reynand. Setelahnya ia kembali ke kamar. Dan mulai membasahi handuk kecil untuk mengompres Reynand.
Setelah beberapa saat, tidur Reynand mulai nyenyak. “Mungkin ia merasa kepanasan karena tubuhnya sangat panas. Tapi syukurlah kalo udah nyenyak lagi.” Ucap Kanaya menghela napas lega.
Di tatapnya wajah tampan Bosnya tersebut. “Mata ini yang selalu menatap tajam semua orang. Apalagi kalo pas marah, uhh, makin serem lihatnya.” Ucapnya saat menatap mata Reynand yang terpejam sempurna.
“Alisnya kenapa tebal banget sih? Aku yang cewek aja kalah. Garis rahangnya tegas dan kokoh. Mempertegas ketampanannya yang sempurna. Ditambah lagi bibirnya penuh dan tebal. Seperti apa yah, rasanya dicium sama bibir ini! Hehehe!” Kanaya terkikik sendiri mendengar ucapannya.
“Haish, kenapa pula aku malah mikirin dicium sama Bos galak, judes suka seenaknya kayak dia! Huh!!”
“Harusnya bapak kasih saya bonus yang banyak dong! Kan saya direpotkan sama bapak kalo sakit begini?”
“Bisa aja sih, saya pulang dan nggak peduli. Tapi saya masih punya hati kok pak. Apalagi bapak yang gaji saya.” Cerocos Kanaya sejak tadi. Meluapkan semua unek-unek yang ada di hatinya pada Reynand yang memejamkan matanya. Entah tidur atau tidak. Hanya Reynand yang tahu.
Tak lama kemudian. Reynand gelisah lagi dalam tidurnya. Sepertinya ia mimpi buruk. Pikir Kanaya.
Kanaya mengganti kompresannya yang ada di dahi Reynand. Lalu mengusap lembut rambut Reynand. “Tenanglah! Ada aku disini. Semuanya akan baik-baik saja.” Ujarnya lembut sambil terus mengusap lembut puncak kepala Reynand.
Bagaikan mantra sihir. Reynand kembali nyenyak dalam tidurnya. Bahkan ia menggenggam erat tangan Kanaya yang mengusap puncak kepalanya. Dan ia peluk tangan Kanaya dengan kedua tangannya yang diletakkan di atas dadanya. Seakan takut jika tangan itu akan pergi meninggalkannya.
Kanaya tentu saja terkejut melihat itu. Ia ingin menarik tangannya tapi sia-sia. Reynand memeluk tangannya sangat erat. Hingga mau tak mau, Kanaya duduk di atas karpet bulu di sisi ranjang Reynand.
Menyandarkan kepalanya di sebelah tubuh Reynand yang terlelap sambil memeluk tangan Kanaya. Kanaya yang tak bisa menahan kantuknya. Pun terlelap jua. Selain kelelahan seharian ini. Ia juga tak bisa pulang meninggalkan bosnya ini sendirian di apartemen dalam keadaan sakit.
Beberapa kali Kanaya terbangun karena Reynand yang mengigau. Bahkan panasnya juga tak kunjung turun.
Hingga saat tengah malam. Tubuh Reynand menggigil hebat, ia terus bergumam, “Dingin...dingin...dingin...” racaunya sambil memeluk tubuhnya sendiri. Layaknya bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Meringkuk sambil memiringkan tubuhnya. Memeluk kedua lututnya yang tertekuk.
Kanaya juga telah mematikan pendingin ruangan sejak tadi. Namun Reynand masih saja mengeluh kedinginan. Kanaya yang bingung harus melakukan apa. Akhirnya mau tak mau naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Reynand.
Meletakkan kepala Reynand ke dadanya. Memeluknya erat dengan selimut yang membungkus seluruh tubuh keduanya.
Reynand yang merasa mendapatkan kehangatan tubuh seseorang. Langsung saja mendekapnya erat dengan menelusupkan wajahnya di ceruk leher orang tersebut.
Menghirup aroma bunga sakura yang lembut. Aroma yang menguar dari tubuh orang tersebut.
'Nyaman.’ Satu kata yang Reynand rasakan. Ia merasa damai dan tenang dalam pelukan hangat orang ini.
Tangan Kanaya mengusap lembut puncak kepala Reynand yang tidur dalam pelukannya. Sementara tangannya yang lain mengusap lengan Reynand yang melingkari perutnya dengan sangat erat.
“Apa yang akan ia katakan saat bangun besok pagi yah?” gumam Kanaya lirih. Ketika ia memikirkan apa yang sudah ia perbuat.
Kanaya mengutuki kebodohannya sendiri yang malah langsung naik ke ranjang dan memeluk Reynand. Seharusnya ia mencari selimut lain lagi untuk menghangatkan Reynand.
Bukannya malah menyerahkan tubuhnya untuk menghangatkan Reynand. Walaupun masih dalam keadaan dengan pakaian kerjanya yang sejak tadi tidak diganti.
“Padahal aku belum ganti baju lho pak! Tapi kok bapak kelihatannya nyaman banget yah di pelukanku! Hehehe....Tapi udah mandi sih! Jadi nggak terlalu bau kan yah!” Lirihnya sambil terkikik geli.