Tanpa terasa waktu berlalu begitu saja. Sudah satu bulan lamanya. Kanaya menjadi sekertaris Reynand. Dari sekian banyaknya kesalahan yang pernah ia lakukan. Tak pernah sekalipun Reynand bersikap baik kepadanya.
Beruntung Kanaya mampu berusaha sekuat tenaganya agar tak mengulangi kembali kesalahan yang sama. Mempelajari bagaimana karakter dari bosnya ini. Apa yang ia sukai, serta apa saja yang mampu membuatnya marah.
Selain sifatnya yang suka seenaknya sendiri memerintah. Lalu tingkahnya yang terkadang menyebalkan. Rasa-rasanya tak ada hal baik yang bisa Kanaya banggakan dari Reynand.
Reynand tak segan-segan memarahinya jika ka ia membuat satu saja kesalahan kecil. Bagi Reynand, kesempurnaan adalah hal yang utama.
Maka tak heran jika banyak sekali para karyawannya yang sering kali meng-ghibah atasan mereka sendiri yang selalu berlaku seenaknya. Meskipun itu ia lakukan juga untuk kebaikan para karyawannya. Agar mereka menjadi lebih baik. Namun, niat baik tak selalu dapat diterima baik oleh orang lain.
“KANAYA!! Mana file Perjanjian dari perusahaan ADHITAMA?!” teriak Reynand dari dalam ruangannya.
Ya, satu lagi hobi Reynand yang dibenci Kanaya. Suka sekali berteriak.
“Haish, dikira ini dihutan apa? Kenapa sih, nggak sekalian pake TOA Masjid? Biar seluruh karyawan denger.” Gerutu Kanaya seraya berjalan menuju ruangan Reynand dan langsung membukanya.
Lantas berjalan ke arah lemari tempat biasanya Reynand menyimpan berkas-berkas pentingnya. Tak lama kemudian. Kanaya menyerahkan berkas tersebut ke meja Reynand.
Memandangnya sinis dan berujar, “Bapak sendiri yang menyimpannya disini? Tapi Bapak pula yang lupa? Belum pikun kan, Pak?” cibir Kanaya berani.
Bagaimana tidak. Ini sudah lewat dari jam kerjanya. Akan tetapi, Reynand rupanya masih ingin berkutat dengan tumpukan kertas-kertasnya yang bernilai milyaran rupiah tersebut
Ketimbang pulang dan beristirahat. Yang mana ia pastinya akan merasa kesepian di apartemen mewahnya seorang diri. Ya, tentu saja sendiri. Karena Reynand tak memiliki istri. Bahkan kekasih pun tidak. Hidupnya hanya ia habiskan dengan tumpukan kertas-kertasnya.
“Saya sudah mencarinya kemana-mana. Tapi tidak ketemu. Ya, mana ingat saya jika ternyata ditaruh di sana.” Jawabnya enteng. Tanpa mau mengakui keteledorannya yang memang lupa.
“Ck, pantas aja jomblo pak.” Sindir Kanaya lagi pelan.
“Sudah pulang sana kamu! Daripada disini yang ada hanya merecoki pekerjaan saya saja. Bukannya bantuin juga!” gerutu Reynand kesal.
“Nah, dari tadi dong, Pak suruh pulang. Ini udah lebih dari jam kantor lho pak. Pokoknya saya minta bonus lembur pak.” Jawab Kanaya antusias jika mengenai bonus.
“Ck, kamu kalo soal bonus aja girang! Udah sana pergi. Besok saya kasih.” Usir Reynand ketus.
“Oke, pak. Selamat bekerja lembur sendirian ya, pak. Tapi pak, hati-hati deh. Soalnya kok saya rasa agak merinding gitu! Jangan-jangan apa kata satpam itu benar. Bahwa kantor bapak ini banyak penunggunya. Hii, serem!!” ucap Kanaya sambil bergedik ngeri. Ia segera pergi keluar dari ruangan Reynand dan bergegas menuju lift.
Saat akan menutup pintu lift. Ia dikejutkan oleh Reynand yang tiba-tiba saja masuk kedalam lift. Dengan napasnya yang tersengal-sengal akibat berlari tadi.
“Lah? Bapak nggak jadi lembur? Kok ikut pulang?” tanya Kanaya seraya mengernyitkan keningnya sesaat.
Reynand memilih diam untuk mengacuhkan pertanyaan Kanaya.
“Tunggu? Jangan bilang kalo bapak takut sama cerita saya tadi? Pfft, bapak takut hantu ternyata?” tebak Kanaya dengan senyum gelinya.
Reynand hanya berdecak kesal dan memilih diam. Setelah bunyi pintu lift. Reynand bergegas menuju mobilnya yang terparkir di depan lobi.
Reynand segera masuk ke dalam mobilnya dan melihat Kanaya yang tengah duduk di halte bis. Ia hanya meliriknya sekilas dan langsung saja pergi dari sana. Tanpa memperdulikan Kanaya yang terlihat kelelahan karena seharian ini bekerja dengannya.
***
Esok paginya.
Reynand melihat Kanaya sedang bercanda dengan Dira di mejanya. Entah apa yang para gadis itu bicarakan. Begitu melihat kedatangan Reynand. Keduanya pun sama-sama terdiam dan bubar.
Kanaya mengikuti Reynand yang memasuki ruangannya. Dan segera menyebutkan jadwal bos besarnya tersebut.
“Ada hal lain yang perlu saya rubah pak dari jadwal anda hari ini?” tanya Kanaya.
“Tidak. Dan nanti kamu ikut saya makan siang bersama klien dari perusahaan ADHITAMA. Juga buatkan saya kopi sekarang. Saya butuh caffein supaya tidak mengantuk.” Jelas Reynand sambil memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri.
Pasalnya, semalam ia tak bisa tidur karena memikirkan banyaknya pekerjaan yang setiap harinya terasa semakin menumpuk saja.
“Baik pak. Sepertinya bapak kurang istirahat. Apa tidak sebaiknya minum teh hangat saja? Agar bapak bisa sedikit rileks dan tidak baik minum kopi di pagi hari saat perut kosong.” Sahut Kanaya sopan.
Reynand mendongak dan berdehem. “Tapi saya maunya kopi. Kenapa disuruh minum teh? Lagipula saya baik-baik saja kok. Sudah sana cepat pergi. Buatkan saya kopi.” Usirnya ketus.
Melihat Kanaya malah semakin membuatnya pusing. Reynand memilih untuk memejamkan matanya sambil terus memijat pelipisnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kebesarannya. Masih dengan mata tertutup.
Terdengar decakan sebal dari orang di depannya. “Kalo bapak tetap ngeyel minum kopi pagi ini. Yang ada nanti malah sakit. Terus nggak jadi meeting. Bapak mau seperti itu? Sudah, bapak cukup menurut saja. Ini juga demi kebaikan bersama.” Sanggah Kanaya kesal.
“Aduh, ribet banget sih kamu ini. Lagipula apanya yang demi kebaikan bersama? Ini jelas kamu aja yang malas buatin saya kopi dan merawat saya kalo sampai saya sakit?” terka Reynand kesal.
“Bukan begitu Bapak Reynand yang terhormat. Kalau bapak sakit, nanti siapa yang akan menggaji saya?” ungkap Kanaya polos yang semakin membuat Reynand marah.
“Canda pak. Sensitif banget sih, pak. Kayak cewek PMS aja. Pokoknya saya buatkan teh hangat dan sarapan untuk Bapak. Titik nggak pake koma!!” seru Kanaya yang secepatnya pergi dari hadapan Reynand sebelum ia kena omel lagi.
Sementara Reynand hanya bisa mendengus kasar. Sekertarisnya yang sekarang memang sangat berani melawan setiap kata-katanya. Bahkan tak segan juga memprotes apa saja yang ia inginkan. Tentu saja dengan alasan kesehatannya.
Benar saja. Tak lama Kanaya datang dengan secangkir teh chamomile hangat juga dua potong sandwich.
Reynand tak banyak bicara. Ia hanya segera memakan sarapannya dan menyesap teh hangatnya. Benar saja. Perutnya terasa sedikit hangat dan kepalanya tak lagi pusing. Mungkin juga karena semalam ia melewatkan makan malamnya dan bangun tidur tadi. Ia segera ke kantornya. Karena ingin memeriksa kembali proposal pengajuan kontrak kerja sama.
“Silahkan dinikmati Pak. Saya permisi.” Pamit Kanaya sopan. Dengan menahan tawanya yang melihat Reynand seperti orang kelaparan. Ia memilih untuk segera keluar. Sebelum akhirnya nanti meledakkan tawanya.
Tanpa terasa, makan siang sekaligus membicarakan kerja sama dengan perusahaan ADHITAMA berjalan lancar.
Kanaya masih sibuk membereskan berkas dan laptopnya. Sementara Reynand merasa tubuhnya terasa tak bertenaga dan kepalanya semakin pusing sejak tadi. Beruntung ia masih bisa menahannya di depan kliennya. Karena Reynand tak ingin terlihat lemah di depan kliennya.
Kanaya yang akan mengajak Reynand untuk kembali ke kantor pun terkejut melihat wajah pucat bosnya.
Dengan hati-hati, Kanaya menempelkan telapak tangannya ke dahi Reynand. “Astaga! Panas sekali pak. Ayo, pak. Sebaiknya saya antar bapak pulang. Bapak harus istirahat. Ini pasti karena kecapekan memikirkan kerja sama ini bukan? Seharusnya bapak tidak perlu khawatir akan hal itu. Harus percaya diri bahwa bapak pasti bisa mendapatkan kerja sama tersebut.” Cerocos Kanaya sembari memapah tubuh tegap Reynand yang jelas saja lebih besar dari tubuhnya sendiri.
Setelah menelpon supir pribadi Reynand. Dibantu Mang Asep. Kanaya mengantarkan Reynand ke apartemennya.
Sesampainya di sana. Kanaya dan Mang Asep membaringkan tubuh Reynand yang nampaknya sangat lemah ke ranjangnya.
“Non Kanaya mau kembali ke kantor? Ayo, Mang Asep anterin.” Tawar pria separuh baya yang telah lama bekerja pada keluarga Reynand. Bahkan sejak saat Reynand masih kecil. Beliaulah yang mengantarkannya kemanapun.
“Eh? Nggak usah Mang. Kanaya mau disini aja. Kasihan Pak Reynand kalo sendirian nggak ada yang merawat. “ tolak Kanaya halus.
Keduanya masih berbicara di depan kamar Reynand yang tak tertutup.
“Ya, sudah. Nanti kalau mau pulang telpon Mang Asep aja yah. Mang Asep mau pulang dulu. Jemput anak sekolah.”
“Iya, Mang. Terima kasih yah. Hati-hati Mang. Nanti Kanaya telpon kalau mau pulang.” Balasnya begitu Menutup pintu apartemen mewah Reynand.
Kanaya mengamati setiap detail ruangan yang ada di apartemen Reynand. Ia berdecak kagum. Apartemen ini di tata dengan sangat detail oleh Reynand. Seakan memperlihatkan pada tamu yang datang.
Seberapa mewahnya hunian yang ia tempati. “Apartemen bagus sih! Tapi sayang hidupnya kayaknya nggak bahagia.” Cibir Kanaya yang berjalan menuju kamar Reynand.
Melihat bosnya itu yang masih memejamkan matanya. Kanaya perlahan menutup pintunya. “Untung saja tadi dia sempat minum obatnya. Dan untungnya juga aku selalu sedia segala macam obat di dalam tas. Udah kayak kantong ajaib Doraemon aja!” gumamnya sambil menuju ke dapur.
Kanaya melihat dapur Reynand yang sangat bersih. Di bukanya lemari es yang sangat besar tersebut. Matanya terbeliak lebar.
“WHAT!! Apa-apaan ini!!” serunya sambil menunjuk ke dalam lemari es yang ternyata hanya berisi air mineral saja. Tak ada apa pun yang bisa dimakan.
“Hahh, Sepertinya dia tidak pernah memasak. Dan pastinya selalu delivery order. Dasar! Gimana nggak sakit coba kalau makanannya aja nggak pernah benar. Haish! Bikin kesel aja. Terpaksa deh, belanja dulu ke minimarket depan apartemen.” Monolognya sambil menuju ke ruang tengah. Ia mengambil dompet dan ponselnya. Lalu bergegas ke minimarket yang berada di depan apartemen Reynand.
Kanaya akan memasak makan malam untuk bosnya yang kini tengah terbaring sakit karena kelelahan. Bagaimana pun, Kanaya masih punya hati nurani yang mengasihani bosnya yang paling menyebalkan itu.