"Ya Allah, yaaaaah. Orang cuma nanyain gedung. Kan Rain gak tahu apa-apa tuh soal pergedungan. Kak Asha nikah aja gak pernah dirayain segede gitu kok."
"Ya udah. Gak usah dipusingjn. Gak usah gedung. Apa adanya."
"Ayaaaaaaah!"
"Ayah mau ngantor!"
Ayahnya memilih untuk berangkat ke kantor. Ya dari pada mengurusi anak keduanya yang sungguh manja. Anak kedua yang gagal menjadi anak bungsu. Hahaha. Ya kan Tata tiba-tiba muncul dikala Rain sudah besar waktu itu. Waktu kelas 1 SMA. Kalau Fasha sih tak mempermasalahkan hal itu.
Caca geleng-geleng kepala. Ini yang katanya mau menikah? Lihat saja. Abis subuh bukannya berangkat eeh tidur lagi. Begitu bangun langsung merengek ayahnya. Ia juga jadi sanksi sih. Perubahan itu tak bisa dibangun dengan cepat. Semua butuh waktu. Tak mungkin dalam sekejab langsung bisa berubah kan?
Pagi begini sudah merengek karena urusan pergedungan.
"Kamu tanyain dulu, si Verrald ada dana berapa. Lalu cocokin harganya."
Ia mengerucutkan bibir. "Tiga ratus juta memangnya cukup ya, buuk?"
"Verrald punya uang segiu?"
"Adanya segitu. Soalnya kan buat bangun rumah." Ia mengerucutkan bibirnya. "Padahal Rain pengen loh, buk, bisa nikah kayak orang-orang begitu. Yang gede. Lihat deh waktu Ras sama kak Dina nikah. Itu kan acaranya gede banget. Om aja mau bantu buat dana nikah. Masa ayah enggak sih? Mentang-mentang gak srek sama calonnya Rain.:
Ibunya tersenyum kecil mendengarnya.
"Nikah itu panjang, Rain."
Ia sedang bercermin pada diri sendiri sebetulnya. Dulu ia juga menikah tanpa berpikir bagaimana dampak ke depannya. Hanya berpikir sesaat. Begitu dijalani ternyata tak mudah ya? Walau ia salut juga karena bisa sampai ke detik ini.
"Bukan sekedar resepsi. Itu bahkan baru awalnya. Perlu tempat tinggal nantinya. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dan dipikirkan. Hidup berdua juga gak mudah. Jangan dikira karena sekarang tampak baik-baik saja lalu nanti seterusnya begitu."
Ibunya menatapnya dengan tatapan yang sangat serius kali ini.
"Coba kamu tanya deh sama sepupu-sepupu kamu yang udah menikah. Mereka abis resepsi pada tinggal di mana? Keuangan keluarga gimana? Dan segala macam persiapan mereka untuk kehidupan di masa datang gimana?"
"Ya ampun, buk. Kalo Ras kan tinggal tuh di rumah bunda. Kalo kak Dina? Ya sama. Kecuali kak Aya tuh langsung diboyong ke Tangerang. Ya kalo Rain kan paling tinggal di apartemen. Kan Verrald masih ada apartemen almarhum om."
"Lalu apalagi yang kamu siapin?"
"Ya gitu."
"Apanya yang gitu? Kalo si Verrald lapar gimana?"
"Yaaa.....Rain beli makan lah."
Tuh jawaban anaknya tuh. Hahaha. Bukannya belajar memasak atau apa. Melihat ekspresi ibunya yang kayak pengen marah tapi merasa lucu, ia tahu kalau ada yang aneh dari jawabannya sih.
"Yaa kan Verrald gak minta Rain buat apa-apa. Urusan rumah tangga kaganya selow aja."
"Ya terus kamu mau beli makanan seumur hidup kamu?"
Ia nyengir. Tuh kan. Anaknya ini biar kata usianya sudah 28 tahun tapi belum ada dewasanya sama sekali. Berbeda dengan Farras yang meski waktu menikah, usiamya masih sanhat muda tapi kan pembawaannya sudah dewasa. Kalau Dina? Ya memasuki usia 28 tahun, keponakannya juga sudah dewasa. Bahkan sebelum itu sebetulnya. Tiara juga sama. Anak sulungnya?
Yaaa Fasha setidaknya tidak sekekanakan perempuan yang ada di hadapannya ini. Hahaha. Hal yang terjadi berikutnya adalah ia tentu saja bercerita panjang-lebar. Pernikahan tak mudah.
"Nikah itu gak gampang. Gak sekedsr resepsi terus masalah hidup kamu sekarang kelar. Nanti kalau kamu nikah, ayah kamu gak ada tanggungan lagi. Kalau butuh apapun ya larinya ke suami kamu lah. Gak bisa lagi merengek begini. Gimana nanti kalau kamunya merengek terus punya anak, anak kamu ngerengeknya ke siapa kalo kamu aja masih ngerengek?"
Caca biasanya ibu yang lembut loh. Hahaha. Tapi pasti selalu bablas kalau urusannya dengan Rain. Ia juga heran. Entah kenapa anaknya yang satu ini selalu berhasil menaikan emosinya.
Di dalam pikiran Rain ya nikah ya sudah. Bisa hidup bersama. Ia sih mikirnya selalu yang indah. Jangan dipikiran yang susah dan mengerikannya prrnikahan. Wong kita harus bawa diri agar bahagia menghadapi sesuatu kok harus meribetkan apalagi menyusahkan pikiran sendiri?
Konsep pikirannya sih memang sesederhana itu sedari dulu. Hahahaa.
@@@
Husein tiba di bandara dan langsung naik taksi menuju apartemen Husein dan istrinya. Sejak adik iparnya melahirkan, adik iparnya sudah tak bekerja karena tak ada yang mengurus anak nantinya kalau ikut bekerja. Ya hitung-hitung temu kangen dengan keponakan juga sih. Meski ini terhitung dadakan.
Shakeera begitu mendapatkan telepon dari Hasan kalau Husein mungkin sudah sampai di Korsel ya kaget lah. Suaminya lupa bjlang. Tadi malah masuk ruang operasi berjam-jam. Baru bilang sekarang dan suaminya juga baru meninggalkan rumah sakit sih. Hendak segera pulang juga. Begitu ia tiba di apartemen, istrinya sedang membereskan barang-barang. Ya maklum ya mana sedang hamil dan mengurus anak bayi itu tidak mudah. Apalagi anaknya sudah bisa merangkak ke mana-mana. Ia harus siaga.
Hasan membantunya membereskan rumah. Kurang dari setengah jam kemudian, Husein benar-benar tiba di depan apartemen mereka. Hal yang membuat Shakeera bertanya-tanya karena wajah depresi yang ia bawa dari Indonesia itu. Hahaha. Ada apa sih?
Lama-lama ia jadi penasaran loh. Karena selama ini kan ia tak pernah tahu. Maksudnya, tak pernah usil bertanya juga karena sudah sibuk dengan urusannya di sini. Jadi boro-boro juga sih mengurus urusan orang lain ya.
"Keera pesenin makan aja ya, bang."
Ia hanya mengangguk. Hasan menyuruhnya istirahat saja. Setidaknya mereka menyediakan satu kamar untuknya tiap datang ke sini. Ya biar bisa istirahat. Usai mandi, Hasan mengetuk pintu kamarnya. Abangnya masih dengan kostum yang sama. Ya kostum yang sangat formal untuk bekerja. Rapi sekali. Ya abangnya memang begitu sih. Kadang ia juga heran. Mereka sedari dulu sering mengenakan baju kembaran. Namun anehnya nih, vibe-nya berbeda. Husein selalu tampak lebih bersinar dibandingkan dengannya. Padahal fisik sama dan pakaian sama. Tapi efeknya pasti berbeda. Ia juga heran.
"Soal cewek nih?"
Karena abangnya tak pernah pusing atau stres soal pekerjaan. Jadi ia pikir, ini aneh dan berbeda lah.
"Kelihatan?"
Hasan terbahak. Jelas lah. Walau ia hanya menebak dan tak begitu yakin awalnya.
"Masih cewek yang sama?"
Ia tentu saja tahu. Tapi hal ini masih disembunyikan dari keluarga yang lain. Husein memang ingin merahasiakannya biar tak menjadi bahan olokan. Cukup Hasan dan teman-temannya yang tahu soal ini. Itu juga kan bukan karena ia menceritakan tapi tak sengaja ketahuan.
"Kali ini udah makin serius. Udah dilamar."
Hasan mengangguk-angguk. Belajar dari pengalamannya, tampaknya mereka memang tak ditakdirkan untuk berjodoh dengan satu pun dari keluarga itu. Ya gak sih?
Hasan sih tak bisa memberikan saran apapun karena ia dulu juga pernah patah hati parah karena seseorang setelah lamarannya ditolak bukan? Hahaha. Jadi ia harus bilang apa coba? Ia tak bisa berpikir apapun.
"Mungkin emang bukan jodohnya kali, bang. Barangkali juga Allah siapin yang terbaik yang emang kita butuhkan bukan kita inginkan."
Itu adalah kesimpulan yang bisa ia ambil dari pengalamannya sendiri. Ia mungkin pernah menginginkan seseorang tapi ternyata bukan orang itu yang ia butuhkan. Ternyata yang ia butuhkan adalah Shakeera. Begitu juga dengan Shakeera. Sesimpel itu bukan? Tapi tentu akan berbeda dampaknya bagi yang mengalami.
"Mungkin bener," ucapnya sembari menghela nafas.
Hasan menepuk-nepuk bahunya. "Kalo emang belum bisa lupain ya gak apa-apa sih, bang. Dijalani aja apa yang ada dulu."
Ya karena mencoba melupakan itu sulit. Jadi biarkan ia tetap di sana hingga waktu yang tak ditentukan. Nanti mungkin akan menghilang secara perlahan. Kita tak pernah tahu bukan?
"Abang naksir siapa sih?"
Ia tentu saja menguping tadi. Hahaha. Makanya jadi penasaran. Siapa? Ia ingin tahu.
"Ada deeeh."
"Iish. Gitu ya, oppa?"
Hasan terkekeh. Ia berbisik ke telinganya. Maksudnya kalau ia beritahu, jangan mengokok Husein. Hahaha. Husein sedang sensitif sekarang. Tapi setidaknya ia tidak menangis karena patah hati ya? Hahaha.
"Hah?"
Ia jelas kaget usai Hasan menjelaskan siapa sosok itu. Ya kan siapa tahu istrinya tak mengenal. Ya dalam satu kata dari namanya lalu silsilah keluarganya jelas saja Shakeera tahu. Wong dari kecil, ia sangat menempel pada keluarga besar itu. Hanya hubungan itu telah renggang sekarang.
"Seriusan?"
Rasanya ia tak percaya kalau tipe perempuan yang disukai abang iparnya adalah makhluk semacam Rain. Hahaha. Maksudnya, abang iparnya yang sekece itu harusnya menyukai yang anggun dan kalem bukan yang bar-bar begitu. Hahaha.
"Iya lah."
"Ih. Kok mau?"
Hasan mengerutkan kening. Ia kan tak tahu ya bagaimana kepribadiannya. "Kamu kenal?"
"Kenal lah. Aku kenal dia dsri kecil. Orangnya kekanakan. Bawel pakek banget. Emangnya abang tahan hidup sama cewek kayak gitu?"
"Kenapa bisa gak tahan? Aku aja tahan kok."
Ia melotot mendengar jawaban Hasan yang kini sudah berlari sambil terkikik-kikik. Ia takut dipukul. Hahaha.
@@@
Hari pertama bekerja. Baginya sih spesial karena ia bekerja di perusahaan yang sama dengan almarhum papanya dulu. Mamanya sangat bangga melihatnya berpakaian rapi seperti ini. Benar-benar mengingatkannya pada almarhum meski Verrald memang tak begitu mirip dengan papanya karena ya lebih mirip mamanya. Berbeda dengan Ray.
"Hati-hati kamu."
Ia memberi hormat pada mamanya. Tentu saja ia akan berhati-hati. Mereka sudah di bandara. Mamanya tentu hendak pulang ke Padang. Urusan pernikahan akan ia urus sendiri sih. Mamanya kan perlu bekerja. Tak bisa izin begitu lama. Ia mengantar mamanya sampai ke pintu keberangaktan dulu lalu?
Ia belum masuk karena masih menunggu seseorang yang sudah berjanji akan datang. Di mana kah orang itu,?
Ya sudah hampir sampai sih. Ia hampir lupa. Hahaha. Tadi kan diomeli ibunya tuh. Kini baru saja berlari dari parkiran mobil sambil membawa bunga. Dari kejauhan, Verrald sudah melihatnya. Ia terkekeh. Ya seperti yang sudah ia duga ya pasti akan datang terlambat. Rain yang ia kenal masih sama.
"Jangan berlari. Capek kan?"
Tidak seperti dulu, reaksinya sudah sangat berubah. Kalau dulu kan suka ngambek kalau Rain terlambat. Kalau sekarang? Ia santai. Rain bisa merasakannya. Meski ini bukan yang pertama. Ia lama-lama terbiasa dengan Verrald yang seperti ini. Akan lebih mudah baginya juga untuk beradaptasi.
"Aku takut kamu udah berangkat."
Ia terengah-engah. Lelah sekali. Tapi ia juga teledor sih. Bisa-bisanya lupa sengan janji yang ia buat sendiri. Kan ia yang ingin bertemu dulu sebelum Verrald terbang. Ia memberikan bunganya. Verrald tentu senang sekali. Ini adalah kali pertamanya terbang. Ternyata lebih membahagiakan lagi dengan kehadiran Rain di sini.
"Nanti kalau kita sudah menikah, aku akan bawa kamu terbang ke mana pun aku pergi."
Ia terkekeh. Tentu saja senang dengan janji itu yang semoga bisa terwujud dengan segera. Ia penasaran bagaimana rasanya kalau yang mengemudi adalah Verrald?
"Kamu hati-hati. Jangan lupa solat," ingatnya.
Ya meski terbang tinggi, harus tetap ingat untuk solat. Dunia penerbangan mungkin tampaknya minim resiko. Tapi kalau sudah terjadi kecelakaan di udara kemungkinan selamanya juga sangat kecil bukan? Bagian itu adalah hak yang paling menyeramkan.
Keduanya masih saling bersitatap setidaknya untuk beberapa menit. Lalu Verrald tersadar kalau ia harus segera masuk. Dengan berat hati, ia meninggalkan Rain yang terharu melihat kedewasaannya hari ini.
Verrald yang ia kenal sekarang benar-benar berbeda dibandingkan dengan duli. Rain masih melambaikan tangan hingga akhirnya Verrald menghilang dari pandangan. Ia sungguh senang karena Verrald berhasil mewujudkan keinginan papanya.
"Wohoo kopilot Verrald?"
Salah satu pilot yang wajahnya tak asing menyapanya. Butuh waktu baginya untuk mengingat-ingat. Si lelaki terkekeh. Tenru saja ia tahu Verrald karena....
"Saya dulu rekan almarhum papamu."
Aaah. Verrald menjabat tangannya dan dibalas dengan begitu kuat. Ya saking sensngnya melihat Verrald di sini dan berhasil mengabulksn keinginan papanya untuk menjadi pilot. Ya meneruskan jejaknya. Bukan kah itu hal yang sangat sulit baginya? Karena selama bertahun-tahun, ia harus berjuang sendiri. Sudah tak ada dukungan dari papanya.
Si pilot senior itu menepuk-nepuk bahunya. Senang karena keberadaannya di sinj. Tapi ada kesedihan juga karena sahabatnya sesama pilot itu tak pernah bisa melihat anaknya lagi di sini dsn bisa membanggakannya.
"Papamu dulu, pilot terganteng di sini."
Ia terkekeh mendengar itu. Lantas mengalirkan berbagai cerita tentang papanya yang tak pernah ia tahu sebelumnya. Senang? Ya lah. Ia kan tak pernah tahu.
"Dia sangat senang dulu begitu kamu keterima di sekolah pilot."
Ya karena memang itu mimpi papanya juga. Ia juga merasa kalau pilot itu keren. Meski ya hanya sekedar ikut-ikutan pada awalnya. Akhirnya? Ia terjun ke dunia ini dengan kemauannya sendiri kok. Tanpa paksaan siapapun. Rasanya senang sekali.
Tapi kalau mengungkit kembali kejadian malam itu, setidaknya ia masih sempat bersama papanya meski sangat sebentar. Tentu masih banyak penyesalan. Namun tak akan ada gunanya juga. Ia tahu itu.
Ia dikenalkan dengan banyak orang. Nama papanya banyak disebut sejak tadi. Ya siapa yang tak mengenal papanya? Salah satu pilot senior di sini dan seperti yang disebutkan, paling ganteng. Semua orang tahu kisah asmara papanya dengan mamanya dulu begitu mereka telah menikah. Jauh sebelum itu? Ya tentu tahu perempuan yang selalu disukai papanya. Yang hingga sekarang pun, Ray dan dirinya sendiri tak pernah tahu. Begitu lah cara papanya menjaga hati anak-anaknya. Begitu juga dengan istrinya sih. Setidaknya menjadikan Icha sebagai sahabatnya membuat Erinna jauh lebih tenang. Tapi ya alasan kenapa Erinna tak pernah cemburu juga dengan Icha ya karena perempuan itu sudah bahagia dengan pernikahannya terlebjh dahulu. Jadi untuk apa pusing memikirkan orang yang sudsh menikah?
Ia diajak mengelilingi pesawat pertama yang akan segera ia bawa terbang. Tentu saja bersama seorang pilot senior. Ia masih dianggap tak punya pengalaman menerbangkan pesawat di sini karena tentu saja berbeda.
"Kalau di Jerman, sering, om. Tapi pesawat yang kecil. Kadang juga bawa helikopter kalau ada tamu tertentu."
Ya. Tapi pengalaman tinggal di Jerman sangat menenangkan baginya. Terlebih papanya juga pernah kok di sana selama satu tahun untuk pelatihan dan itu sengaja dilakukan tak begitu lama usai Icha menikah. Ya usai kejadian penuh tragedi ketika ia memutuskan untuk mati namun tak jadi . Bagaimana mungkin ia mengorbankan orang-orang tak bersalah yang bersamanya hanya demi asmaranya yang gagal?
@@@
Menggebrak supermarket bareng bumil adalah kejadian yang sangat biasa. Hahaha. Mau mereka hamil atau tidak ya, Rain selalu kebagian mendorong troli. Usai mengantar bunga dan bertemu Verrald sebentar tadi, ia segera bergegas ke sini. Yeah karena duo sableng ini sudah menunggunanya. Tadi mereka minum jus dulu. Mabok jus untuk bayi-bayi di dalam perut. Alhasil? Ya pipis lah tadi. Rain yang menunggu sambil geleng-geleng kepala.
Kini ya sudah mengitari bagian kebutuhan sehari-hari untuk asupan makanan sih. Biasanya mereka berbelanja lebih banyak di pasar sih. Kadang ya pasar tradisional. Kadang pasar modern. Tapi jalannya kadang becek. Berbeda dengan mall. Dengan alasan keselamatan para bumil ya mereka ke sini.
"Eeeh! Bentar-bentar! Mending jalannya dari situ dulu deh!"
Mereka memutar jalan. Ke ujung dulu dan memulai dari sana biar yang makanan segar seperti sayuran, buah, dan makanan laut serta perdagingan menjadi bagian terakhir. Akhirnya ya berbelok ke ujung sana dan menjumpai handuk-handuk, ada perabotan juga. Meski sudah ada perabotan di rumah, kalau ada yang lucu biasanya suka kalap deh. Apalagi yang mungil-mungil begitu. Dua-duanya heboh. Rain sih gak tahu bagaimana perasaan jadi bumil. Hahahaha.
"Ini nih botol s**u yang kayak gini nih!"
Ia heboh sendiri.
"Masih lama deh, kak, kalo yang kayak gitu bukannya harus nunggu bayinya di atas 6 bulan begitu ya?"
Setidaknya masih ada yang tahu dan waras untuk mengingatkan. Tentu saja bukan Rain karena ia tak tahu dunia perbayian. Hahahha. Meski sering kalap, setidaknya Farras tahu prioritas sih. Karena ia sering dimarahi Ando kalau membeli sesuatu yang tak penting. Suaminya itu kan tahu isi dapur. Berbeda dengan abang dan adiknya. Kalau Adit? Ya tahu juga sih. Tapi jarang menganggu karena sibuk. Kalau sudah turun ke dapur baru deh sadar. Dina juga bakal diomeli.
"Emangnya gak bakal ada yang ngasih itu entar abis lahiran?"
Dina memincingkan mata ke arahnya. "Gue tahu lu pasti mau ngasih itu biar murah kan?"
Rain terbahak. "Namanya juga orang mau nikah. Kan kudu ngemat. Lagian lu lahirannya berdua bisa aja barengan."
"Gue duluaaan!" sewot Diia.
"Tapi kan gak nyampe dua bulan lagi."
"Diem gak? Entar gue lahiran di sini nih!"
Rain terbahak. Sensi amat dah. Ia bingung dan kadang capek juga. Hahaha. Walau tetap menghibur sih. Kapan lagi coba? Mereka sudah jarang bareng soalnya. Kalau diajak keluar entar yang satu ada aja alasannya. Apa alasannya?
"Duh, Rain, gue sama Ando ada acara seminar di Bandung."
Yang satu lagi?
"Udah sana keluar sama pacar lo gak usah ganggu suami-istri mau jalan deh!"
Ia diusir. Hahahaha. k*****t memang ini para sepupunya. Lihat saja nanti kalau ia menikah, ia yakin kedua orang ini pasti akan menangis. Hahahaha. Karena ia dulu juga menangis sih. Paling parah di pernikahan Farras karena Farras yang pertama kali menikah di antara mereka. Farras juga melangkahi Tiara kala itu. Jadi perasaannya campur aduk.
"Buat Ardan nih!"
Ia mengambil botol s**u untuk anak bayi. Ya kedua orang itu terpingkal lah. Sepupunya ini bisa waras sedikit gak sih? Nanti anak-anaknya tahu tuh. Hahaha.
"Lo mau kasih s**u siapa ke bang Ardan?"
"s**u kambing lah. Langsung dari emaknya kambing."
Hahahaha.
@@@