Prolog
Waktu sekarang.
"Udah selesai, Rain?" tanya Ayahnya. Keningnya sampai berkerut-kerut karena selama ia di sini, Ayahnya terlalu sering menelepon. Oke, ayahnya memang cukup bawel. Tapi kali ini lebih bawel dari ibunya yang terkadang lebay khawatir padanya. Padahal ia sudah sebesar ini. Bayangkan saja. Tahun akan berusia 28 tahun tapi ke luar kota mana pun ia pergi, kedua orangtuanya pasti khawatir. Khawatir yang terlalu berlebihan menurutnya.
"Sejam lagi, Yah. Nanti sore Rain balik," tuturnya. Ia menggelengkan kepala lalu melanjutkan pemotretan. Ia punya klien yang hendak melakukan post-wedding. Pengambilan pemotretan memang di Bandung tepatnya di sekitar Ciwidey. Yang menemaninya kali ini adalah Aidan, mumpung cowok itu tidak banyak kegiatan di kampusnya di Yogyakarta. Jadi Aidan datang ke sini dari Yogyakarta dengan menyetir mobil. Sementara Rain datang ke sini dengan menebeng Agha dan istrinya.
Pemotretan dilanjutkan. Ternyata butuh waktu agak lama dan ini terlambat sedikit dari jadwal seharusnya. Rain mengacungkan jempol usai mendapatkan foto yang bagus kemudian mereka berbicara sebentar dengan klien. Setelah menunjukan semua foto yang tampak bagus, pemotretan pun selesai. Rain dan Aidan segera memberesi peralatan. Yang banyak mengambil foto tentu saja Aidan. Cowok itu tak cuma ahli dalam marketing tapi juga jago fotografi. Mana mau-mau saja dibayar apa adanya oleh Rain. Hihihi.
Lagi pula, tujuan Aidan memang bukan uang melainkan hobi. Menyalurkan hobi adalah kegiatan yang sangat berharga. Setelah itu, keduanya kembali ke penginapan. Rain hanya tidur dua jam lalu berangkat untuk mandi. Mereka akan segera kembali ke Jakarta dan tentunya menebeng Aidan.
"Lo udah makan?" tanyanya saat keluar dari kamar sambil membawa barang-barang dan Aidan mengambil alih semuanya.
"Di jalan bisa," tuturnya. Cowok yang satu ini memang santuy sekali.
Tak lama, keduanya berangkat menuju mobil Aidan. Usai menaruh barang, Aidan ikut masuk ke dalam mobil. Aidan melirik ke arah Rain yang masih santai. Sepertinya masih belum sadar akan apa yang terjadi. Padahal satu keluarga besarnya sudah heboh. Tentunya masih disembunyikan dari Rain yang kini tampak bengong menatap jalanan Bandung.
Dikiri dan kanan banyak yang hijau-hijau tapi hati Rain sedang hampa. Semenjak ditinggal pergi, ia tak punya semangat lagi untuk mencari asmara baru. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya lah melanjutkan hidup. Iya kan? Dikala hati terasa sangat patah bahkan berada di titik terendah, bisa apa selain melanjutkan apa yang ada?
"Kak!" panggilnya. Rain hanya menjawab dengan deheman. Ia menopang dagunya. Wajahnya benar-benar tak bersemangat. "Gue denger, Om nyariin jodoh buat Kakak."
Aaah. Rain mengangguk-angguk. Memang benar. Ia sendiri tak menolak. Ia sudah pasrah dengan hidupnya. Meski ia juga tak punya bayangan jika itu benar-benar terjadi. Entah apa yang akan terjadi, ia tak mau memikirkannya. Dan lagi, sejak dulu ia juga sering meminta Ayahnya mencarikan jodoh untuknya. Seperti kakaknya, Fasha, yang dikenalkan dengan kakak iparnya sekarang. Itu juga berkat ayahnya. Mana keren pula. Sekarang anggota DPR. Pemilu berikutnya sepertinya akan terpilih sebagai ketua DPR. Lalu Rain juga menguping, mungkin berencana akan maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah menilik pamor kakak iparnya terus menanjak. Tapi ia juga tahu sih kalau kakak iparnya memiliki kemampuan yang bisa memimpin dan mengatasi masalah di Indonesia. Jadi cocok-cocok saja. Kalau ia? Ia tak berharap apakah lelaki itu harus menjadi pejabat atau yang lain sih. Lantas seperti apa yang ia inginkan? Entah lah. Rain tak punya bayangan. Ia bahkan takut berharap.
"Terus katanya udah dapet."
Suara Aidan terdengar semakin memelan. Gugup karena melihat Rain membuka ponsel. Takutnya kan membuka apa yang ada di grup keluarga besar mereka. Meski yaah, harusnya memang tahu. Tapi Rain bahkan tidak bersemangat untuk membuka apapun. Ia hanya menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Duka mendalam masih menyelimutinya dan ini membuatnya benar-benar tersayat.
"Lo bener-bener serius nikah dengan keadaan kayak gini?" tanyanya lagi. Aidan hanya tak habis pikir dengan pola pikir Rain yang memang terkadang sembrono. Gadis itu sering mengambil keputusan secara asal dan tidak memikirkan apa resikonya di depan nanti. Padahal bisa saja kan penyesalan seumur hidup. Apalagi menikah itu sangat tidak mudah. Meski Aidan juga ingin. Hihihi.
Melihat Agha menikah muda, ia jadi termotivasi. Apalagi abang sepupunya juga menikah muda. Ia juga paham kalau tidak semua hal baik bisa ditiru dan cocok untuk diterapkan di dalam kehidupannya. Karena apa? Ya jalan hidupnya tidak sama dengan jalan hidup Agha ataupun abang sepupunya itu. Iya kan?
Rain tak menjawab. Gadis itu hanya menghela nafas dan menghilang dari kesadaran setelah menutup mata beberapa saat. Ia sedang tak ingin memikirkan apapun yang terjadi. Ia bahkan tak memiliki firasat apapun. Pikiran-pikirannya masih melayang tentang drama terakhir kisah cintanya yang kelam. Tak pernah menemui pelabuhan karena kandas sebelum tiba di akhir penantian. Berakhir karena takdir tidak memilih untuk bersatu. Ia juga sempat marah pada Tuhan tapi, apa marahnya akan menyelesaikan masalah? Apakah itu salah Tuhan juga jika takdir memang berkehendak demikian? Memang akan selalu ada hikmah dari setiap kejadian meski hingga saat ini, Rain belum menemukan setitik cahaya dari musibah itu. Musibah yang pastinya tidak diinginkan oleh siapapun yang akan menikah sepertinya.
Mobil diisi dengan keheningan. Tak ada yang membuka suara kecuali saat memesan makanan di perjalanan lalu makan dalam keheningan lagi. Beberapa jam kemudian, mereka tiba di depan rumah Rain. Aidan membangunkan Rain. Ia hendak memarkirkan mobilnya di tempat lain karena di kiri dan kanan jalan komplek sempit ini sudah penuh dengan mobil. Keluarga besarnya masih berada di sini, sengaja menunggu kedatangan Rain. Rain yang tak tahu apa-apa itu hanya menguap ketika keluar dari mobil. Kemudian berjalan masuk dan disambut teriakan keluarga besarnya yang girang. Beberapa berlari ke arahnya dan menarik tangannya dengan heboh.
"Pengantennya datang!" seru Dina. Ia memang heboh sekali. Rain malah mengerutkan kening. Masih tak berpikir apapun hingga...
"Salamin itu, Rain," tutur beberapa Tantenya. Mereka menunjuk ke arah laki-laki dan perempuan yang tampak duduk dengan senyuman di ruang tamu rumahnya. Ia mengangguk kemudian ikut menyalami saja karena disuruh seperti itu. Tanpa tahu kalau keduanya adalah mertuanya. Bahkan ibu mertuanya memeluk dengan hangat, Rain hanya tersenyum kikuk. Merasa aneh. Tapi tak berpikir apapun. Sementara di ruang keluarga sudah heboh. Ayahnya muncul dan mengatakan...
"Salamin itu suamimu," tuturnya yang membuat langkah Rain terhenti dan terpaku melihat lelaki yang tersenyum malu karena disorak-sorak keluarga besar Rain.
@@@