Alka meletakkan kepalanya di atas meja yang penuh dengan tumpukan buku. Ia sudah cukup lelah belajar. Kalau saja bundanya tidak mengancam akan menyita mobil kesayangannya, mana mau Alka belajar. Semua itu terjadi karena nilai-nilai Alka mendadak turun drastis.
"Bang, zaman apa sih sekarang? Masih musim ya belajar?" ucap Alika begitu masuk ke dalam kamar kembarannya. Lantas merebahkan tubuhnya di atas king size milik Alka.
Alka mendengus kesal mendengarnya lalu melempar buku ke arah Alika. Dengan sigap, Alika menangkap buku yang dilayangkan oleh kembarannya itu.
"Punya hape canggih buat apa, Bang? Kalo buku masih tetap jadi yang utama saat ulangan tiba?" sindir gadis itu, membuat Alka menatap jengkel padanya.
"Bacot banget sih, lo! Udah sana keluar dari kamar gue!" usir laki-laki itu.
"Santuy dong, Bang. Gue kan kangen tidur sama lo. Malam ini gue nginep di kamar lo, ya." Alika menatap Alka dengan sorot binar memohon.
"Wani piro?" goda Alka disertai kekehan ringan.
Alika berdecak, lantas melempar kembali buku yang semula Alka layangkan padanya. "Ngeselin banget sih lo!"
Alka bangkit dari duduknya lantas berjalan mengambil jaket yang menggantung di kapstok kamarnya. Kemudian merapikan penampilannya di depan cermin. Gerak-gerik Alka tidak lepas dari mata Alika.
"Mau kemana lo, Bang?"
Alka berjalan ke arah nakas dan mengambil ponselnya yang tergeletak di atas sana. "Mau nemuin masa depan gue. Calon kakak ipar lo kelak," cengirnnya menjawab.
Alika bangun dari posisi tidurnya. "Emang ada yang mau sama lo?"
Alka tertawa mendengarnya lalu melangkah mendekati Alika. Menarik hidung bangir adiknya sampai berubah berwarna merah. "Ngeraguin gue nih ceritanya?"
Alika mencebik kesal sembari mengusap hidungnya yang memerah karena ulah sang kakak. Detik berikutnya ia tersenyum dan menarik tubuh Alka untuk berbaring bersamanya lalu memeluknya dengan erat. Mereka tertawa bersama, kemudian Alka meletakkan kepala Alika untuk bersandar di d**a bidangnya.
"Gue sayang banget sama lo," ucap Alka lalu mengecup puncak kepala Alika.
Alika mendongak untuk menatap Alka. "Apalagi gue, Bang. Pokoknya lo jangan pernah sakiti hati cewek ya, Bang. Ingat, kalau lo punya gue. Lo gak bakal rela kan, kalo gue disakiti sama cowok? Karma itu ada, Bang. Janji ya sama gue?" Gadis itu mengangkat jari kelingkingnya, membuat Alka tersenyum lebar lantas menautkan kelingkingnya dengan kelingking Alika.
"I'm promise."
~❣~
Mobil sport yang dikendarai oleh Alka berhenti tepat di depan rumah besar bernuansa putih. Seperti biasa, ia merapikan terlebih dahulu penampilannya dan memastikan tidak ada aroma kemenyan dalam tubuhnya.
Alka berjalan keluar dari dalam mobil dan berdiri di depan pintu utama rumah. Tangannya terangkat untuk menekan bel, tapi berhenti di udara. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang, merasa gelisah. Alka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menarik napas, dan menghembuskan dengan perlahan.
"Bismillah, semoga ada kemajuan malam ini. Ayo, Alka! Doa anak sholeh mudah dikabulkan," semangatnya pada dirinya sendiri. Kemudian, jari tangannya menekan bel sebanyak tiga kali.
Tak lama kemudian, pintu terbuka membuka membuat Alka menarik kedua sudut bibirnya barangkali yang membuka pintu kali ini Melda, jadi ia bisa langsung memberikan senyuman termanisnya pada gadis itu. Namun, ekspetasinya melenceng jauh karena dihadapannya saat ini berdiri seorang wanita setengah baya yang Alka pikir adalah ibunya Melda dan Malvin. Orangtua Melda baru kembali ke Jakarta beberapa jam yang lalu.
Wanita tersebut menautkan kedua alisnya. "Cari siapa, ya?"
"Calon bini," ucap Alka diluar kendali. "Eh! Melda maksudnya, Tante."
Wanita itu tersenyum geli. "Oh, nyari Melda. Saya Risa, Mamanya," ujarnya memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.
Alka tersenyum merekah seraya mencium punggung tangan itu. "Alka, Tan. Utusan semesta yang dikirim untuk melengkapi hidup Melda."
"Bisa aja kamu," kekeh Risa. Lalu ia tampak berpikir. "Wajah kamu seperti tidak asing di mata Tante."
"Kan saya masih ada ikatan darah sama Justin Bieber, Tan," canda Alka.
Risa tertawa sembari menepuk-nepuk pundak Alka. "Ayo, masuk, Nak Alka. Biar Tante panggilkan Melda."
Alka mengangguk dan melangkah masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu duduk di ruang tamu dengan kedua mata mengedar memperhatikan ruangan. Tatapannya terkunci pada satu foto berukuran besar terpampang di dinding di depannya. Tampak empat orang itu tersenyum bahagia. Lalu, Alka menangkap beberapa foto keluarga lainnya yang terpajang di sana, pantas ia tidak tahu kalau Melda adalah adik Malvin, ia tidak pernah masuk sebelumnya ke dalam rumah Malvin karena terlalu banyak menghabiskan waktu di jalan atau apartemen pribadinya.
"Den, ini minuman sama camilannya."
Alka tersenyum sopan sambil mengangguk saat Bi Inah meletakan segelas sirup dan dua toples makanan ringan. Bi Inah segera pamit untuk kembali ke dapur.
Di tempat yang berbeda, alunan musik mengalun merdu mendominasi ruangan. Melda berbaring di atas sofa berwarna krem dengan kaki kiri yang ditumpangkan pada kaki kanannya yang ia tekuk. Pandangan gadis itu fokus pada layar ponsel yang tengah menampilkan deretan produk-produk tren masa kini.
Pintu kamar terbuka. Risa tersenyum hangat melihat Melda lalu berjalan menghampirinya.
"Mel," panggil Risa membuat Melda menoleh lalu mematikan musik yang tengah mengalun.
"Kenapa, Ma?" Melda merubah posisinya menjadi duduk.
"Ada yang nyariin di bawah," ucap Risa.
"Siapa?" Dahi Melda berlipat bingung.
"Alka."
"Alka? Ngapain malam-malam ke sini?" gumam Melda yang masih dapat didengar oleh Risa.
"Jadi, dia pengganti Ragil? Hm, gak buruk. Bahkan dia jauh lebih tampan dari Ragil," ucap Risa dengan binar memuja.
"Bukan, Ma. Alka itu temennya Malvin," jelas Melda.
"Temen? Masa sih? Kok Mama gak pernah lihat dia, ya?" heran Risa.
Melda terkekeh. "Kan kata Mama mereka kalau main gak pernah di rumah."
"Oh iya, Mama lupa. Kan mereka udah kayak anak jalanan, ya. Hobinya nongkrong di jalan-jalan," kekeh Risa. "Tapi, Mel. Kalo dia temennya Malvin, kenapa nyarinya kamu?"
Melda mengangkat bahunya acuh seraya menggeleng. "Melda gak tahu, Ma."
Risa menghela napas panjang. "Ya udah, kamu ganti baju dulu yang sopan. Nanti langsung turun ke bawah, ya."
"Iya, Ma."
~❣~
"Ngapain lo ke sini? Doyan namu banget jadi orang," ucap Malvin menatap Alka malas.
Alka melempar bantal sofa ke arah Malvin, membuat cowok itu mendengus kesal. "Lo jadi sahabat gak ada banget dukungannya. Harusnya lo support gue dong."
"Ya gue bakal support lo kalau gebetan lo itu bukan kakak gue," ucap Malvin.
"Harusnya lo itu bersyukur punya calon kakak ipar kayak gue yang limited edition gini."
Malvin mencebikkan bibirnya kesal. Semakin hari Alka semakin menyebalkan. Dari arah tangga, Alka tersenyum melihat Risa yang tengah menuruni undakan tangga.
"Alka, tunggu ya. Melda lagi siap-siap dulu," ucap Risa tersenyum hangat.
"Iya, Tante."
"Mama kenapa ngizinin makhluk ini bertamu ke sini, sih?" ucap Malvin pada Risa.
"Lho, emang kenapa? Bukannya Alka temen kamu?" tanya Risa.
"Iya, Tan. Bahkan sekarang bukan cuma temen, tapi saya ini calon kakak iparnya Malvin. Iya kan, Vin?" Alka tersenyum sembari menaik-turunkan kedua alisnya, membuat Malvin berdecak kesal.
"Eh, ada tamu?" Semua orang menoleh ke arah sumber suara, dimana ada Darka - Papa Melda.
Begitu pandangan Alka dan Darka beradu. Mereka tersenyum lebar lalu Alka berjalan cepat ke arah Darka dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Ternyata tamunya itu Alka," kekeh Darka sembari merangkul pundak Alka.
"Lho, Papa kenal sama Alka?" tanya Malvin.
"Ya kenal, dong. Alka ini anak junior Papa waktu kuliah, Om Jaya," cerita Darka.
"Pantesan aja, Pa. Mama lihat Alka itu kayak gak asing mukanya, ternyata anaknya Jaya." Risa menyahut.
"Ya udah, ayo duduk lagi. Kita ngobrol," ajak Darka membawa Alka untuk duduk kembali di atas sofa.
Risa menepuk pundak Malvin yang masih tak percaya kalau dunia memang sesepit ini. "Jangan ngelamun, Vin. Panggilin Kak Melda sana, lama banget itu anak."
Malvin menghembuskan napas panjang. Lantas berjalan menuju kamar Melda. Sedangkan Alka tengah diwawancarai oleh orangtuanya. Belum sempat Malvin membuka pintu, terlebih dahulu pintu terbuka dari dalam. Melda mengerit menatap Malvin yang tengah berdiri di depannya.
"Mau ngapain lo?"
"Manggil lo, lha." Malvin merangkul pundak Melda. "Lo tahu, Kak. Kalau ternyata Alka itu anaknya junior Papa waktu kuliah."
Melda mengeritkan dahinya menatap Malvin. "Om Jaya?"
Malvin mengangkat bahunya acuh. "Katanya sih iya. Kan gue gak tahu Om Jaya itu yang mana orangnya, ketemu aja belum pernah."
"Gila, lo. Bapaknya temen sendiri gak tahu yang mana orangnya. Ck! Itu yang namanya sahabat?" sindir Melda.
Malvin melepaskan rangkulannya dari pundak Melda. "Alka aja gak tahu gue anaknya Papa. Lagian kita kan gak pernah ngenalin keluarga satu sama lain. Yang penting hubungan pertemanan tetap terjalin."
Melda memutar bola matanya malas. "Terserah." Lantas berjalan meninggalkan Malvin.
Dari tangga, Melda melihat Alka tengah duduk di sofa dengan ditemani Darka dan Risa. Ada beberapa pertanyaan yang masuk ke otak, yang terpenting tujuan Alka bertamu malam-malam begini itu apa?
"Sebelumnya saya mau minta maaf Om, Tante, karena udah ber---," belum selesai Alka berbicara, Risa lebih dulu menyela.
"Mau ngajakin Melda jalan, kan?" tebak Risa, membuat Malvin berjalan cepat menuruni tangga melewati Melda.
"Jalan?!" seru Malvin, membuat mereka mengeritkan keningnya sembari menatap cowok itu.
Sementara Alka tersenyum licik, melihat sisi posesif Malvin yang tengah kumat. Meski ia datang hanya untuk sekedar menikmati senyuman Melda. Bahkan, tak ada pikiran sedikitpun Alka untuk mengajak Melda keluar. Tapi, mengingat Malvin yang selalu menjadi pengacau dalam misi pendekatannya dengan Melda membuat Alka ingin sedikit memberi pelajaran pada cowok itu.
"Iya, Om, Tante, saya datang ke sini mau ajak Melda jalan-jalan malam. Gak lama, kok." Ucapan Alka membuat Malvin murka.
"Iya, Al. Om izinin. Tapi jangan pulang lewat dari jam 9, ya. Dan harus jaga anak gadis, Om dan Tante dengan baik," ucap Darka.
Alka mengangguk senang. Ia mendapat lampu hijau dari orangtua Melda, meski masih ada pengganggu kecil dalam misi pendekatannya, yang tak lain adalah Malvin.
"Tapi, Pa. Nanti kalo Kak Melda di apa-apain sama Alka, gimana?" Malvin berusaha mempengaruhi Darka agar tidak memberi izin untuk Alka mengajak Melda jalan.
"Lo bisa percaya gue, Vin. Gue kan sahabat lo. Harusnya sebagai sahabat itu saling percaya dan mendukung," ucap Alka sembari menekankan kata terakhirnya.
"Gimana, Mel? Lo mau kan jalan sama gue?" tanya Alka pada Melda yang sudah duduk di samping Risa.
"Lo gak mau kan, Kak? Mending rebahan di kamar sambil nonton drakor." Malvin berbicara dengan senyuman, tapi matanya menatap tajam pada Melda dengan tatapan mengancam.
"Siapa bilang? Gue mau kok jalan sama Alka," ucap Melda membuat semua orang tersenyum jahat pada Malvin, membuat cowok itu melongo tak percaya mendengar ucapan kakaknya.
"Iya udah, sana jalan," ucap Darka yang diangguki oleh Alka dan Melda.
Alka berjalan mendekati Malvin yang tengah menatapnya kesal. Lalu menepuk-nepuk pundak cowok itu. "Lo tenang aja, gue bukan cowok spesies crocodilus daratensis yang lo bilang," bisik Alka disertai kekehan ringan.
~❣~
Melda tidak bisa menghentikan rasa kagum saat matanya menatap lekat pemandangan langit malam di luar jendela. Gemerlap lampu cahaya kota di sepanjang jalan terlihat begitu indah.
"Kita kemana?" Melda menoleh pada Alka yang sejak tadi fokus menatap jalanan.
"Gue juga gak tahu mau kemana," cengir Alka menoleh sekilas pada Melda, membuat gadis itu melotot.
"Lo sebenernya niat ajak gue jalan apa gak sih, Al?" sentaknya sebal, membuat Alka menghentikan laju mobilnya dipinggir jalan.
"Gimana kalau ke alun-alun aja?"
"Alun-alun? Mau ngapain?" tanya Melda.
"Nongkrong aja. Sekalian nanti gue ajak lo ke warung makan tenda, makan ayam bakar di sana. Gimana?" Alka menaik-turunkan kedua alisnya.
Melda tampak berpikir sejenak lalu mengangguk. "Boleh, deh. Udah lama juga gak nongkrong di luar."
Alka tertawa pelan sembari menjalankan kembali mesin mobilnya. "Iya, lha. Mana sempet lo nongkrong. Udah sibuk sama kerjaan."
Melda tersenyum sembari mengangguk-anggukan kepala. Memang benar apa kata Alka.
"Kenapa lo gak lanjutin pendidikan aja?" tanya Alka dengan pandangan lurus ke depan menatap jalanan.
Melda mengambil napas panjang. "Papa udah gak muda lagi. Tenaganya cepet terkuras. Belum lagi mikirin perusahaan yang gak selalu mulus kayak jalan tol. Ya, gue pikir ini udah waktunya buat gue bantuin Papa."
Alka mengangguk-anggukan kepalanya mendengar ucapan Melda. Kedua sudut bibirnya terangkat menoleh sekilas ke arah Melda. Alka semakin yakin, kalau gadis yang duduk di sampingnya itu tidak salah untuk ia cintai. Lebih dari itu, Melda pun pantas untuk Alka kagumi.