Mobil berhenti tepat di samping warung makan tenda bernama 'Ayam Bakar Mbah Djo'. Keduanya keluar bersama dari dalam mobil. Mereka memang memutuskan untuk makan terlebih dahulu lalu pergi ke alun-alun. Terdapat banyak dua meja panjang dan kursi yang berderet-deret. Alka mengajak Melda untuk duduk di kursi belakang. Ayam bakar di sini langganan Alka bersama Malvin dan Kefan.
"Mbak, saya pesan dua porsi ayam bakar sama minumnya." Ucapan Alka terhenti lalu menoleh pada Melda. "Minumnya mau apa?"
"Es teh manis aja," jawab Melda yang langsung diangguki oleh Alka.
"Ayam bakar dua sama es teh manisnya juga dua ya, Mbak," ucap Alka pada sang pelayan.
"Baik, Mas, Mbak. Ditunggu, ya." Pelayan tersebut segera menyiapkan pesanan mereka.
Sementara pesanan belum diantar, Alka tampak sibuk dengan ponselnya. Melda hanya diam, toh bukan urusannya untuk bertanya, tidak penting juga.
"Silahkan dinikmati, Mas, Mbak." Pelayan tersebut menyimpan pesanan mereka di atas meja. Melda tersenyum dan berterimakasih. Keduanya langsung menyantap ayam bakar tersebut. Melda langsung jatuh cinta dengan rasa ayam bakar yang sangat enak di lidahnya.
"Gimana, Mel? Enak gak?" tanya Alka.
Melda tersenyum sambil mengangguk. "Enak banget, Al. Lo emang sering ke sini, ya?"
"Sering. Biasanya sama Malvin dan Kefan. Bisa di sebut, kita udah langganan makan di warung ini," ujar Alka. "Oh ya, gue minta maaf ya karena ngajak lo makan di pinggir jalan."
"Emang kenapa?" Dahi Melda berlipat bingung. "Gue gak masalah, kok. Bahkan sewaktu di Purwokerto gue sama temen-temen suka banget beli jajanan dipinggir jalan."
Alka tersenyum mendengar penuturan Melda. Hatinya menghangat mendengar Melda yang sudah tidak canggung lagi bicara dengannya. Beda sekali saat awal-awal bertemu.
Melda menghela napas. "Kadang gue kangen masa-masa ngumpul bareng temen. Jalan-jalan keliling mall sampai sore. Hangout bareng. Sekarang jarak malah memisahkan," ucapnya sembari memainkan tangan di atas piring.
"Kalau lo kangen masa-masa itu. Gue siap kok buat jadi partner main lo sampai sore. Mau nonton, hangout, ngecamp, sampai menjelajah makanan juga gue siap," balas Alka disertai cengiran lebar.
Melda terkekeh geli. "Emang lo gak malu jalan sama gue?"
Alka mengangkat bahunya. "Kenapa gue harus malu? Justru gue malah bangga bisa jalan sama cewek cantik kayak lo."
"Tapi usia ki-," ucapan Melda terhenti saat tiba-tiba telunjuk tangan Alka mendarat di atas bibirnya.
"Usia bukan jadi masalah untuk dua orang yang saling mencinta," ucap Alka, memotong omongan Melda sembari menatap lekat dua manik mata gadis itu..
Perlahan, Melda menurunkan tangan Alka. "Dua orang saling mencinta? Gue gak cinta sama lo. Itu berarti cuma satu orang yang mencinta," ejek Melda.
Alka tersenyum miring. "Bukan gak cinta, tapi lebih tepatnya lo belum cinta sama gue. Perlahan tapi pasti, gue bisa gantiin posisi mantan lo di hati lo."
"Pede amat," celetuk Melda yang diakhiri dengan menjulurkan lidah pada Alka.
"Jangan melet-melet gitu dong, Mel."
"Emang kenapa?" heran Melda.
"Greget. Pengen gigit jadinya." Alka menyeringai genit, membuat Melda bergidik.
Melda menyentil dahi Alka hingga membuat cowok itu sedikit terkejut. "Berani macam-macam sama gue, abis lo!" Gadis itu mengangkat tangannya yang terkepal ke arah Alka.
Alih-alih marah karena tindakan Melda, justru Alka menertawakannya. Melda pun tak urung tertawa bersama cowok yang seusia dengan adiknya itu.
Setelah menghabiskan satu porsi ayam bakar, rupanya Alka masih belum merasa kenyang. Ia pun kembali memesan satu porsi ayam bakar untuk dirinya. Melda tertawa lucu melihat cara Alka makan seperti orang yang kelaparan.
Namun, detik berikutnya Melda dibuat terkejut saat tiba-tiba melihat pasangan kekasih duduk di hadapan mereka dan memesan ayam kabar juga. Ia tak percaya, kalau pasangan itu Ragil dan Tari. Ia jadi nostalgia, dulu juga Ragil sering mengajaknya makan di warung tenda seperti ini.
"Melda?" Ragil menatap tak percaya saat mendapati keberadaan Melda. Sedangkan gadis ity memalingkan wajahnya ke arah lain, sementara Alka mengerit tidak suka melihat sepasang kekasih itu berada di tempat yang sama dengannya bersama Melda.
Tari bergelayut manja di lengan Ragil. Ia tersenyum miring menatap Alka dan Melda secara bergantian.
Melda tersentak kaget saat tiba-tiba Alka merangkul pundaknya. Cowok itu tersenyum manis, membuat mata Ragil nyaris keluar dari tempatnya.
"Kalian beneran pacaran?" tanya Ragil dengan tatapan tak percaya. Ia tak habis pikir, kalau Melda bisa berpacaran dengan anak SMA setelah putus darinya.
"Baby, kok kamu seolah gak rela gitu, sih?" rengek Tari mendongak menatap Ragil. Laki-laki itu sedikit gelapakan mendapati pertanyaan dari Tari.
"Nggak, Sayang. Aku cuma gak nyangka aja kalau selera Melda bisa serendah ini setelah putus sama aku," balas Ragil.
Alka tersenyum sinis mendengarnya. Ia menarik kepala Melda agar bersandar padanya, kemudian menempelkan pipinya di atas kepala gadis itu.
"Iri bilang bos!" Alka menaik-turunkan kedua alisnya. Melda terkekeh geli mendengar ucapan Alka lalu mendorong tubuh Alka agar sedikit menjauh darinya.
"Biasa aja kali, Bos." Melda menjulurkan lidahnya ke arah Alka.
"Gak bisa biasa aja. Kalo sama lo itu harus yang luar biasa, karena lo itu istimewa." Alka mengedipkan sebelah matanya.
Melihat Alka dan Melda yang terlihat santai bercanda gurau di hadapannya, membuat Ragil menatap jijik ke arah mereka. Kemudian ia menarik tangan Tari untuk pergi dari sini. "Ayo, Sayang. Kita cari tempat yang lain aja," ajak Ragil.
"Mau kemana?" tanya Tari.
Ragil tak menjawab. Ia menoleh menatap Alka dan Melda sekilas, lalu membayar pesanan yang sudah mereka pesan tadi. Lantas membawa Tari pergi.
Alka menyisir rambut ke belakang. "Mantan modelan kayak si Ragil, emang pantes buat di panas-panasin. Iya, gak?" Alka menyeringai genit pada Melda.
Melda tertawa pelan, tangannya terulur mendekati wajah Alka lalu mendorongnya pelan. Dan Alka ikut tertawa bersama Melda
Selesai makan, mereka kembali melanjutkan perjalanannya menuju alun-alun. Keduanya duduk di bangku yang berada di sana, bergabung bersama anak-anak remaja lainnya, menikmati pemandangan kota Metropolitan di malam hari.
"Mel, gue pergi sebentar ya. Lo tunggu di sini," pamit Alka.
"Lo gak bakal ninggalin gue, kan?" curiga Melda yang direspon kekehan geli oleh Alka.
Alka menggeleng. "Mana mungkin gue tinggalin cewek cantik kayak lo yang super limited edition gini."
Melda tertawa pelan lalu mendorong bahu Alka. "Ya udah sana, jangan lama-lama. Selena Gomez takut diculik." Alka tersenyum sambil mengangguk, lantas melangkah meninggalkan Melda.
Melda tersenyum sembari mengedarkan pandangannya. Banyak sekali remaja yang sedang berpacaran, atau hanya sekedar nongkrong dengan teman-temannya. Melda menoleh ke belakang dan menangkap air mancur yang terlihat indah dengan efek cahaya berwarna. Ia mendongak menatap langit malam, melihat kuasa Tuhan membuat Melda semakin bersyukur atas karunia-Nya.
Saat Melda hendak menoleh kembali ke depan, sesuatu yang dingin tiba-tiba menyentuh pipi kanannya. Melda tersenyum lebar saat tahu siapa ulah dari semua ini.
"Buat lo," ucap Alka sembari menyodorkan es krim yang baru ia beli tadi untuk Melda.
Gadis manis itu tersenyum menerima es krim pemberian dari Alka. "Makasih."
Alka kembali mendudukan tubuhnya di samping Melda. Ia sangat bahagia melihat senyuman gadis itu kembali menghiasi wajah cantiknya. Sedangkan Melda tampak santai menikmati es krim clrasa cokelat itu.
"Mel," panggil Alka.
"Hm."
"Seandainya ada bintang jatuh. Lo mau permintaan apa?" tanya Alka.
Melda menoleh ke arah Alka sembari menikmati es krimnya. "Gak ada bintang jatuh, Al. Itu meteor."
Alka cengengesan bodoh sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gitu, ya?"
"Kamu sekolah udah hampir 12 tahun, masih belum tahu juga tentang itu?" kekeh Melda.
"Gue udah tahu, sih. Cuma tadi niatnya pengen sok romantis-romantisan gitu aja," cengir Alka.
"Kalau mau romantis-romantisan, sana tuh sama cewek-cewek seumuran sama kamu di sana." Melda menunjuk ke arah kerumunan remaja cewek dengan pakaian serba minim. Jangan lupakan dengan bibir mereka yang berwarna merah menyala.
Alka bergidik ngeri melihatnya. "Gue gak doyan sama modelan kayak gitu. Ngeri sendiri."
"Masa?" goda Melda.
Alka tersenyum manis. Tangannya terulur untuk menyelipkan helaian rambut yang menghalangi wajah cantik Melda ke belakang telinga. Sentuhan Alka berhasil membuat Melda menegang hebat. Lidahnya terasa kelu tak bisa mengucapkan kata-kata. Ketampanan Alka memang paling menghipnotis hingga membuat tubuh Melda terasa sulit untuk digerakkan pada saat ingin mendorong tubuh Alka agar sedikit menjauh dengannya.
"A-Alka," ucap Melda dengan terbata. Hanya tinggal lima centimeter lagi jarak wajah mereka untuk saling menempel.
Alka yang masih belum sadar dengan posisinya saat ini, menatap Melda dengan satu alis terangkat. "Kenapa, Sayang?"
"ALKA!!!" Jeritan kencang dari arah belakang membuat Alka dan Melda terbelalak kaget. Sampai Melda tak sadar, kalau es krim yang semula berada ditangannya melayang di udara lalu mendorong kencang bahu Alka hingga cowok itu terjatuh dari atas bangku.
"Ya ampun, Alka. Gue minta maaf," ucap Melda panik. Lantas membantu Alka untuk bangun.
Alka menatap tajam ke arah pemilik suara tadi yang begitu memekikkan telinga. Ia menggeram marah melihat Claudia dengan kedua temannya yang kini berdiri di hadapannya dengan bibir manyun ke depan.
"Lo tuh apa-apaan sih, Clau?!" sentak Alka.
Claudia mendongak menatap marah pada Alka. "Kamu yang apa-apaan?! Berduaan sama cewek ini, pakai bilang sayang segala lagi."
"Bukan urusan lo bu-,"
"Alka, udah." Melda memegang pundak Alka mencoba menenangkan cowok itu.
Alka menarik napas dalam-dalam, kemudian menoleh pada wajah sendu Melda. Ia mengalihkan pandangannya saat Melda mengusap bahunya dengan lembut.
"Jangan marah-marah. Malu. Ini tempat umum," ucap Melda dengan lembut, membuat hati Alka tenang dan dibuat meleleh seketika.
Sial. Alka yang bisanya membuat banyak gadis meleleh, kini ia buat meleleh oleh satu gadis.
Melihat bagaimana cara mereka saling memandang, membuat emosi Claudia semakin memuncak. Ia menarik tubuh Alka sekencang mungkin agar menjauh dari Melda.
"Apaan, sih? Gue gak suka, ya!" seru Claudia. Kemudian menoleh ke arah Melda. "Dan lo! Jadi cewek gak usah keganjenan sama cowok orang! Ngaca, dong! Lo gak ada pantas-pantasnya buat Alka!"
Melda hanya bisa diam mendengar ocehan gadis remaja dihadapannya itu. Bukan karena takut, hanya saja Melda tidak tahu mengenai hubungan Alka dengan gadis itu hingga membuatnya murka. Daripada menambah masalah, lebih baik dia diam.
Alka menarik kasar pundak Claudia agar menghadap ke arahnya. "Bahkan lo yang jauh lebih butuh cermin!" tegas Alka, lalu menarik tangan Melda untuk segera pergi.
Claudia menghentakkan kakinya beberapa kali. Sorot matanya menatap jengkel pada dua orang yang berjalan semakin jauh dari pandangannya. Kedua teman Claudia mengusap-usap bahunya agar sedikit lebih tenang.
"Siapa sih itu cewek? Gue bakal kasih perhitungan sama dia, karena udah berani deket-deket sama Alka!"
~❣~
"Mel, gue minta maaf ya atas kejadian tadi," ucap Alka setelah mobil terhenti di depan halaman rumah keluarga Melda.
Melda menoleh, tersenyum hangat sambil mengangguk. "Bukan salah lo, kok." Lantas keluarga dari dalam mobil.
Kaca mobil terbuka dan menampilkan Alka yang tengah menatap ke arah Melda dengan. "Gue pulang, ya. Salam sama Om dan Tante."
Serentak dengan itu, pintu rumah terbuka dan Malvin berjalan mendekati Melda dengan sorot mata curiga menatap ke arah Alka.
"Lo gak diapa-apain kan sama Alka, Kak?" tanya Malvin sembari merangkul pundak Melda. Dan Melda meresponnya dengan anggukan.
Alka berdecak kesal. "Astagfirullah, Vin. Lo su'udzon terus sama gue."
Malvin meresponnya dengan cengiran lebar. "Thanks ya, Al. Udah anterin kakak gue balik dengan selamat sentosa lahir dan batin."
"Iya!" ketus Alka. Lalu menjalankan mesin mobilnya. Ia kembali tersenyum saat tatapan matanya jatuh ke arah Melda. "Gue balik ya, Calon Bini. Assalamualaikum, Sayang."
"Wa'alaikumussalam," jawab Melda dan Malvin bersamaan. Bedanya, Melda menjawab diiringi dengan senyuman, sedangkan Malvin menatap muak pada Alka yang selalu terang-terangan menggoda kakaknya.
~❣~
Alika berjalan santai memasuki kamar kembarannya sembari menikmati satu cup ice cream ukuran besar. Dilihatnya Alka yang tengah duduk sembari memangku gitar di sofa yang berada di balkon kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 22.20 malam.
"Abang!" Alika duduk sambil bersila di sofa di samping kanan Alka.
"Bagi dong ice cream nya," pinta Alka seraya menyimpan gitar yang semula berada di pangkuannya. Saat ini, cowok itu mengenakan celana pendek dan kaus oblong berwarna putih.
Saat Alka hendak mengambil alih ice cream yang berada di tangan Alika, cewek itu menjauhkannya dan membuat Alka mencebik kesal.
"Pelit banget sih lo!"
Alika menyengir lebar. "Biar gue aja yang suapin. Kasian sama lo, kalo makan gak pernah ada cewek cantik yang mau nyuapin." Kemudian ia menyuapkan satu sendok ice cream ke dalam mulut Alka.
Alka merangkul pundak Alika. Pandangannya menatap ke atas langit yang gelap dengan bintang-bintang yang menghiasinya. Ia tersenyum, mengingat momen saat bersama Melda beberapa jam yang lalu. Kalau saja saat itu Claudia tidak ada, mungkin waktu mereka untuk berdua tidak akan secepat tadi.
Alika mengerit menatap Alka yang tersenyum-senyum sendiri. "Lo gila, Bang?"
Alka menoleh menatap Alika. "Emang lo mau punya kembaran gila?"
"Ih, ya gak mau lha!"
Alka terkekeh. "Kalau punya kembaran yang ganteng maksimal mau gak?"
Alika tersenyum miring. "Gue jauh lebih seneng kalau punya kembaran yang cantik maksimal kayak gue."
"Ck! Sialan lo." Alka mencebik, membuat Alika terbahak.
"Lagi ngapain, malam-malam begini masih nongkrong di luar?" Mendengar suara itu, Alka dan Alika menoleh secara bersamaan ke sumber suara. Lalu cengengesan bodoh melihat sang bunda yang tengah berkacak pinggang di ambang pintu balkon.
"Tidur! Nanti kalian kesiangan, besok harus sekolah!"
Alka dan Alika berjalan mendekati sang bunda. "Selamat malam, Bun." Kemudian mengecup pipi bidadari tak bersayap mereka.