Kantin selalu menjadi tempat teramai nomor satu versi seluruh sekolah saat jam istirahat tiba. Jangankan nunggu jam istirahat tiba, terkadang KBM yang masih berjalan pun kantin sudah ramai. Bukan tanpa alasan, orang kalau sudah kelaparan ibarat zombie. Pikirannya hanya satu. Makan.
Dari sudut pojok kanan kantin terlihat tiga remaja yang menjadi pusat gravitasi sekolah. Siapa lagi kalau bukan Alka dan kedua sahabatnya. Di sana adalah tempat singgasana mereka yang tidak boleh ada seorang pun menempatinya kecuali mereka.
"Anjir! Gue belum ngapalin materi sejarah guys!" seru Kefan dengan mata melotot tajam menatap satu persatu pada wajah Alka dan Malvin.
"Terus?" Kedua alis Malvin menaut.
"Kok terus? Emang kalian udah belajar?" tanya Kefan keheranan. Pasalnya, meski tampang mereka oke tapi kalau sudah menyangkut pelajaran sama saja seperti murid lain. Malas.
Alka mengangkat bahunya acuh. "Zaman udah modern gini masih mikirin gimana caranya ngisi soal ulangan? Ck, buat apa punya hape canggih kalo gitu."
Malvin tertawa. "Kita satu server, Bro."
Alka menyengir lebar. "Kalau satu server, bisa dong bantuin gue buat PDKT sama calon masa depan gue."
"Boleh." Malvin tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Asal bukan kakak gue aja calon masa depan lo itu."
"Mana bisa gitu lha, Vin. Nama gue sama Melda itu udah tercatat di Lauhful Mahfudz. Bahkan tanpa restu dari lo aja gak bakal ngaruh buat pisahin gue sama Melda," ucap Alka penuh keyakinan.
Malvin memutar bola matanya dengan jengah. Mendengar ucapan Alka membuatnya gerah. Makhluk yang telah menjadi sahabatnya itu benar-benar menyebalkan.
Kefan tergelak menyaksikan perdebatan kedua sahabatnya. "Udah lha, Vin. Terima aja kalo nanti Alka bakal jadi kakak ipar lo."
Malvin melirik ke arah Alka. Dan sekarang laki-laki itu tengah melempar cengiran lebar sembari menaik-turunkan kedua alisnya. "Gak sudi gue punya kakak ipar spesies crocodilus daratensis yang liar kayak lo. Daripada ngarepin yang masih semu, mending sama itu cewek aja. Daritadi lihatin lo terus, Al." Malvin memberi petunjuk pada Alka melalu isyarat matanya.
"Yang pakai bandu pink itu, Vin?" tanya Kefan yang mengikuti arah pandang Malvin.
"Yoi, Fan. Cocok banget kan sama Alka?" goda Malvin, sesekali melirik ke arah Alka yang tampak acuh.
"Dih, mana ada. Yang imut-imut gitu cocoknya sama gue, secara gue kan yang paling ganteng. Tampang aja sebelas dua belas sama Manu Rios." Kefan menyisir rambutnya ke belakang.
Alka dan Malvin menoleh dengan tatapan seolah Kefan orang yang paling menjijikkan.
Kefan menatap tajam keduanya. "Iri bilang, Bos!"
"Najis!" seru Alka dan Malvin secara bersamaan.
Kefan menajamkan matanya saat melihat siswi itu berjalan menghampiri meja mereka. "Eh, anjir! Dia jalan ke sini, guys!"
Berbeda dengan Alka yang kembali menikmati baksonya, justru Malvin dan Kefan tersenyum lebar menyambut kedatangan siswi itu.
"Hai, Kak Alka." Siswi itu tersenyum manis pada Alka. Sementara Alka hanya melirik sekilas sambil tersenyum tipis. Sangat tipis. Bahkan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihat senyuman itu.
Malvin mendorong pundak Alka. "Jangan jutek gitu dong sama masa depan," godanya yang dihadiahi delikan tajam dari Alka.
Siswi itu menggigit bibir bawahnya. "Aku bawain kue buat Kak Alka. Dimakan ya, Kak. Ini Ibu aku yang buat sendiri," ujarnya sembari menyodorkan tepak berisi kue basah kepada kakak kelas gebetannya itu.
Alka menoleh menatap Malvin dan Kefan. Demi uang bulanannya yang tak kunjung naik! Alka benci ekspresi wajah kedua sahabatnya saat ini.
Alka menatap horor pada tepak yang disodorkan oleh siswi itu kepadanya. Ia tidak munafik, siswi itu memang cantik. Tapi, tidak ada ketertarikan lebih darinya. Ia jauh lebih menyukai senyuman manis milik Melda. Tidak adanya reaksi dari Alka, semakin menjadikan pusat perhatian para pengunjung kantin. Mereka berbisik-bisik membicarakan siswi itu. Tidak sedikit pula yang memanfaatkan momen untuk konten di sosial medianya.
"Eum...." Siswi itu menelan salivanya susah payah. "Sebenarnya, dari awal aku masuk ke sekolah ini, aku udah suka sama Kakak. Kak Alka, mau gak jadi pacar aku?"
Semua pasang mata menatap tak percaya pada siswi itu yang begitu berani mengungkapkan isi hatinya pada Alka di depan banyak orang.
Alka bangun dari posisi duduknya. Lantas, berjalan mendekati siswi tersebut. Suasana begitu hening. Alka mendekatkan wajahnya di telinga siswi itu. Semua murid di kantin berlomba-lomba menerka jawaban apa yang akan keluar dari mulut primadona sekolah yang tak lain adalah Alka.
"Jangan harap." Suara berat bernada dingin itu membuat suasana kantin mendadak ramai.
Alka kembali menjauhkan wajahnya. Siswi itu menunduk malu. Ia harus menebalkan wajah kalau sudah begini. Tanpa sadar, bulir cairan hangat lolos dari pelupuk matanya.
Alka menarik napas dalam-dalam lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sebelum akhirnya melangkah pergi dari kantin, terlebih dahulu Alka meraih tepak itu dan mengambil satu potong kue. Lantas ia berjalan santai sambil memakan kue basah dari siswi itu. Melewati kerumunan murid yang menatapnya cengo.
Malvin dan Kefan saling beradu pandang. Kemudian melangkah pergi menyusul Alka keluar dari area kantin. Kejadian seperti tadi bukan suatu hal yang langka. Begitulah Alka, meski perasaan mereka para kaum hawa yang ditolak olehnya. Tapi tidak dengan barang pemberian dari mereka. Begitulah cara Alka untuk menghargai mereka yang sudah berani mengungkapkan isi hatinya, dengan menolak perasaan tanpa menolak pemberian.
Claudia melangkah lebar mendekati siswi itu lalu mendorong bahunya hingga terduduk di atas bangku. "Denger, ya! Jangan pernah lo lakuin itu lagi sama Alka. Gak akan ada yang bisa dapetin Alka kecuali gue!"
~❣~
Langit terlihat cerah siang ini dengan gumpalan awan putih di atasnya. Tapi, tidak dengan suasana hati Melda yang mendadak kelabu saat melihat kedatangan Ragil dan Tari masuk ke dalam kafe.
Melda menghembuskan napas panjang. Masih ada rasa sesak melihat dua sejoli itu mengumbar keromantisan di depan matanya. Bukan maksud hati yang masih mencintai Ragil. Ibaratnya, sudah dibawa terbang setinggi mungkin lalu dijatuhkan di atas tumpukan karang. Kurang lebih, seperti itulah rasanya patah hati karena dikhianati oleh pasangan.
"Harusnya aku yang di sana." Lena menyanyikan salah satu lagu Band Indonesia. Melda mendengus kesal pada Lena.
"Gue mau ke toilet dulu," pamit Melda, lantas berjalan menuju arah toilet. Begitu sampai toilet, Melda mencuci wajahnya dan menatap diri pada pantulan cermin.
"Apa kabar mantan sahabat?" Suara itu membuat Melda menoleh seketika. Tari tampak tersenyum meremehkan sambil berjalan mendekat.
Melda melangkahkan kakinya untuk keluar dari toilet. Bukan karena takut, hanya saja Melda terlalu malas berdebat hal tidak penting bersama Tari, mantan sahabatnya sekaligus orang yang telah menjadi benalu dalam hubungannya dengan Ragil.
Persahabatan yang sudah terbentuk selama tiga tahun harus pupus karena percintaan. Dulu, Tari adalah sosok yang paling dikucilkan di sekolah. Melda dan Lena yang tidak tega melihat semua murid mencemoohnya, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mengajak Tari menjalin pertemanan dengan mereka. Penampilan awal Tari yang seperti nerd, mereka ubah selayaknya anak-anak muda pada zamannya. Tidak butuh waktu lama untuk menjadikan Tari sama seperti murid hitz lainya. Hubungan pertemanan mereka berjalan dengan lancar, sampai akhirnya Tari tega mengadu domba antara Lena dengan laki-laki yang sedang dekat dengannya. Tari tidak rela kalau Lena yang mendapatkan cowok itu. Berbagai cara licik Tari lakukan demi bisa menjauhkan Lena dengan laki-laki yang dia suka.
Kebusukan Tari terbilang cukup lama. Sampai akhirnya, Melda dan Lena mengetahui itu semua saat tak sengaja membaca buku diary Tari yang di sembunyikan di bawah kasur. Melda dan Lena sangat kecewa dengan pembalasan Tari kepada mereka. Air s**u dibalas air tuba, mungkin lebih tepatnya seperti itu yang menggambarkan sosok Tari terhadap Melda dan Lena.
"Bulan depan, gue sama Ragil akan menggelar pernikahan. Dan lo, jadi tamu spesial dalam pernikahan kita. Jangan lupa datang, ya." Tari berucap saat posisi Melda tepat berada di sebelahnya.
Melda menarik napas panjang. Sabar. Ini ujian. Ujian dari penggoda biasanya lebih menohok hati.
Melda mencoba tidak peduli dengan melanjutkan kembali langkahnya. Akan tetapi, baru melewati pintu toilet tubuhnya tak sengaja menabrak sosok bertubuh tinggi. Melda mendongak dan menatap Ragil tengah menatap tajam ke arahnya.
"Sayang!" seru Tari dengan nada centilnya. Berjalan mendekati mereka lalu melingkarkan tangannya pada pinggang Ragil.
Tari menatap Melda dari atas kepala hingga ujung kaki. "Aku heran deh sama kamu, Gil. Kenapa sempet pacaran sama Melda yang fashionnya rendahan banget gitu."
Melda tersenyum miring. "Lo lupa? Bahkan dulu fashion jauh lebih rendah dibandingkan sama gue."
Tari melotot tajam ke arah Melda. Ragil mengusap puncak kepala Tari. "Itu dulu, kan? Gak penting buat di bahas," sahut Ragil yang membuat Tari tersenyum kemenangan.
Melda mengangguk-anggukan kepalanya. "Beruntung banget gue lepas dari lo, Ragil. Lo yang terlalu astagfirullah emang gak pantes buat gue yang subhanallah."
Ragil tersenyum miring. "Gue jauh lebih beruntung bisa lepas dari lo, Melda. Lo bahkan jauh lebih buruk dari apa yang gue bayangin. Tapi gak masalah, karena sekarang gue udah punya pasangan yang jauh lebih cocok dibandingkan sama lo."
"Karena Melda hanya akan cocok kalau bersanding sama gue." Pandangan ketiganya menoleh ke arah sumber suara. Sorot mata Melda terkunci pada Alka.
Remaja tampan itu tersenyum manis ke arah Melda lalu beralih menatap dingin pada Ragil dan Tari.
"Siapa lo?" Tari bertanya angkuh.
"Gue Alka. Seseorang yang dikirim semesta untuk menjadi mendamping dalam hidup gadis cantik ini," ucap Alka lalu tersenyum manis pada Melda.
Alka berjalan mendekati Melda, lalu merangkul pundak gadis itu. Sedangkan Melda hanya bisa diam dengan keterkejutan yang menyelimuti diri.
Kedua alis Ragil menaut, menatap tak percaya pada sosok remaja yang masih mengenakan seragam lengkap SMA-nya. Tidak salahkah ia mendengar? Dia? Kekasih Melda? Yang benar saja!
"Mel, benar sama apa yang dia bilang barusan?" tanya Ragil.
"Dia---,"
"Kenapa? Gak rela kalau Melda harus jadi cewek gue?" sahut Alka sebelum Melda menyelesaikan ucapannya.
Kedua tangan Ragil tampak terkepal kuat dengan rahang yang mengeras tanda ia sedang dilanda emosi. "Gue gak nyangka, Mel. Setelah putus dari gue, lo diam-diam jadian sama bocah ingusan gini? Oh, atau mungkin lo terpaksa karena dia tajir? Iya?"
Melda menutup mata, merasakan gejolak luka seolah hatinya tengah dihujani dengan benda tajam seiring dengan ucapan Ragil yang secara tidak langsung dia mengatakan Melda ini perempuan matre.
PLAK!
Satu tamparan Melda layangkan tepat pipi kanan Ragil. Gadis itu berlari sekencang mungkin dengan rasa marah, sakit, juga kecewa dalam hatinya. Sosok yang dulu begitu ia banggakan, kini dengan tega ia mengatakan suatu hal yang menohok hatinya tanpa berpikir terlebih dahulu.
~❣~
Alka mengusap lembut air mata yang membasahi kedua pipi Melda. Saat ini, mereka berada di parkiran kafe. Lena menatap iba sahabatnya dari kejauhan. Melihat air mata yang terus menetes, membuat hati Alka tercubit.
"Pengkhianat kayak dia gak pantas dapat air mata lo," ucap Alka dengan penuh kelembutan. Mencoba menenangkan gadis disampingnya ini.
Melda sudah menceritakannya sama Alka, kalau Ragil adalah mantan kekasihnya. Suatu keterkejutan bagi Alka, saat mengetahui hubungan mereka berakhir di malam saat pertama kali mereka bertemu.
Alih-alih menghentikan tangisannya, justru Melda semakin mengencangkan tangisannya itu. Alka membawa tubuh Melda ke dalam dekapannya, mengusap lembut kepala sosok yang telah menjadi pencuri hatinya sejak awal berjumpa. Alka paham betul dengan rasa sakit yang Melda rasakan saat ini. Selain karena ucapan Ragil yang begitu menusuk, hubungan yang berakhir karena pengkhianatan memang menyakitkan. Ia sendiri pernah mengalami pengalaman pahit itu.
Alka menjauhkan tubuhnya dari Melda. Kedua tangannya menyentuh pipi basah gadis itu. Matanya menyorot tajam. "Lo tahu, kenapa malam itu semesta mempertemukan kita? Karena gue datang untuk menjadi obat dalam luka lo."
Melda semakin terisak mendengar ucapan yang keluar dari mulut Alka. Ia seperti wanita paling lemah di dunia ini. Rapuh karena patah hati. Tertohok karena ucapan. Sangat menyakitkan.
"Alka...." ucap Melda di sela-sela tangisannya. Alka terkejut saat Melda memeluk tubuhnya dengan erat. Mendadak, tangan Alka gemetar untuk mengusap punggung gadis itu.
Prittt! Prittt! Prittt!
Hanya tinggal satu jengkal lagi, tangan Alka menyentuh punggung Melda. Kalau saja tidak ada suara peluit yang begitu memekikkan telinga hingga membuatnya juga Melda terkejut. Pelukan yang semula begitu erat langsung terlepas.
"Astagfirullah, kenapa harus datang di saat begini, sih?!" geram Alka menatap ke arah Malvin yang tengah melangkah lebar ke arahnya.
Melda mengusap jejak air matanya. Menetralkan napasnya yang memburu.
"Ini apa maksudnya coba? Gak ada acara peluk-pelukan segala! Gue kan udah bilang, bukan makhrom!" Malvin bergerak cepat menjauhkan tubuh kakaknya dari Alka. Bersamaan dengan itu, Lena berlari keluar dari dalam kafe menghampiri Melda.
"Kasihan sahabat gue," ucap Lena menatap sendu Melda sembari memeluk tubuhnya.
Alka menghela napas pasrah. Tangan kirinya diam-diam terulur untuk menyentuh Melda dari belakang tubuh Malvin agar tidak di ketahui oleh pengganggu itu.
Belum sempat menyentuhnya, aksi modus diam-diam Alka tetap saja diketahui oleh Malvin. Alka langsung mendapat pukulan dari laki-laki itu di tangannya.
"Gak usah modusin kakak gue!" Malvin menatap tajam Alka, membuat Melda dan Lena terkekeh geli.
"Vin," panggil Melda.
"Kenapa, Kak? Lo pasti risih ya digangguin sama Alka," tuduh Malvin membuat Alka melotot tajam.
Melda tersenyum sambil menggeleng. "Peluit itu punya siapa?" Sontak, semua pasang mata menyorot pada peluit hitam yang berada di tangan Malvin.
"Mas! Balikin peluit saya!" teriak Pak Satpam sembari berlari ke arah mereka.