Dalam satu loncatan, Alka berhasil melewati dinding pembatas sekolah dan sekarang ia sudah berada di area dalam sekolah. Pandangan matanya mengendar ke segala penjuru arah. Lantas berjalan santai menyusuri koridor yang nampak sepi karena memang kegiatan belajar mengajar tengah berlangsung.
"Bang!" Suara Alika terdengar, membuat Alka menghentikan langkahnya dan menoleh ke sumber suara. Alika tampak berlari dengan baju olahraga yang membalut tubuhnya.
"Lo baru datang?" tanya Alika, mengerit tak percaya.
"Iya. Kenapa?"
"Gila lo! Ini sekolah punya aturan keles. Murid macam apa lo datang jam 8 gini. Ck! Dasar pemalas," maki Alika.
"Bodo amat. Yang penting gue tetep masuk, emangnya lo apa, yang kalau udah terlambat malah lanjut tidur," ujar Alka.
Alika menghela napas panjang. "Nanti pulang sekolah anterin gue ke toko kue dulu, ya. Gue mau jenguk Kak Miko ke rumahnya."
"Lo masih deket sama cowok itu?"
"Iya, emang kenapa? Kak Miko baik kok, ganteng lagi. Dan yang pasti, dia jauh lebih baik daripada lo!" bela Alika.
Alka menghela napas panjang. "Lo mesti hati-hati sama Miko. Dia itu buaya yang belum jinak."
Alika melayangkan pukulan pada bahu Alka. "Lo kali yang belum jinak! Pokonya lo harus temenin gue! Gak nerima penolakan. Titik!"
Alka mendengus. "Ya udah, nanti gue temenin."
"Yeay! Thank you, my twins!" Alika memeluk erat tubuh Alka. Lantas berlari kembali ke lapangan.
Sedangkan Alka, kembali berjalan santai menuju rooftop sekolah. Tidak ada niatan untuk langsung masuk ke dalam kelas, karena sudah pasti guru yang bersangkutan akan memberinya hukuman, dan daripada ia dihukum berdiri hormat kepada bendera di tengah lapangan yang panas, lebih baik ia membolos dan bersantai di rooftop sambil menikmati indahnya langit.
Alka merebahkan tubuhnya di atas sofa yang sudah usang. Menjadikan kaki kanan sebagai penumpu kaki kiri. Pandangan matanya tak lepas dari layar ponsel yang sudah dimiringkan. Apalagi kalau tidak bermain game.
~❣~
Kedua tangan Melda terkepal kuat menahan amarah pada pria di depannya itu. Kesabaran Melda sudah berada di ambang batas kewajaran yang dapat ia tahan. Hampir dua jam ia melakukan perjanjian dengan klien yang telah menjadi musuh dalam selimut di perusahaannya.
Santoso. Pria tua bertubuh tambun yang kini hampir berusia lima puluh dua tahun. Orang yang selalu mengincar untuk membeli sahamnya kini tengah asik menikmati beberapa menu makanan yang tersaji di atas meja. Perut pria itu seolah tidak kenal kenyang, Melda yang melihatnya saja bergidik ngeri menatap makanan di atas meja yang melampaui batas bagi perut manusia normal.
Melda melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Lalu menatap ke arah Santoso yang masih asik menikmati makanannya. "Kalau tidak ada yang akan dibicarakan, lebih baik saya pergi sekarang dan menganggap perjanjian sebelumnya batal," ucap Melda seraya bangun dari posisi duduknya.
Baru saja akan melangkah, tiba-tiba tangannya dicekal oleh Santoso, buru-buru Melda menepiskan tangan pria itu dan menatapnya tajam.
"Jangan pergi dulu dong. Saya baru akan memulai membahas perjanjian kita. Silahkan duduk kembali," ucap Santoso dengan senyum smirknya.
Melda menatap jengah ke arah Santoso. "Anda sadar tidak, sejak saya datang ke sini Anda hanya membuang-buang waktu saya dengan menemani Anda makan, Tuan. Anda pikir saya tidak punya kesibukan lain? Maaf, saya harus pergi dan semua perjanjian sebelumnya saya batalkan," ucapnya dengan tegas.
Alih-alih merasa bersalah dan meminta maaf, justru Santoso tertawa kencang membuang beberapa pengunjung kafe menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung.
Sudah cukup! Melda tidak ingin dipermainkan lagi oleh pria tua itu. Ia melangkahkan kakinya keluar dari dalam kafe, meninggalkan Santoso yang tampak acuh seolah tidak terjadi apa-apa.
Bruk!
Tubuh Melda sedikit terhuyung ke belakang. Ponsel yang berada dalam genggamannya melayang di udara sampai akhirnya mendarat di atas lantai keramik.
"Maaf, saya tidak sengaja." Melda berucap sembari mengambil ponselnya. Begitu mendongak untuk menatap lawan bicaranya, ia terkejut saat melihat Ragil lah orang yang tadi bertabrakan dengannya.
Melda memalingkan wajahnya, hendak kembali melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Namun, tangan Ragil yang mencengkeram tangannya membuat langkah Melda terhenti.
"Lepas!" seru Melda, berusaha melepaskan cekalan tangan Ragil.
Ragil dengan wajah datarnya masih setia mencekal tangan Melda, meski sudah sekuat tenaga gadis itu berusaha melepaskannya.
"Lepas, Ragil!"
"Kita perlu bicara," ucap Ragil dengan nada dingin. Tanpa menunggu persetujuan dari Melda, cowok itu langsung menarik tangan Melda ke tempat yang sepi.
"Lo mau apa, sih?!" Kali ini Ragil membiarkan gadis itu menepiskan tangannya. "Gue ada kerjaan di kantor."
Ragil menarik napas dalam-dalam. "Gue masih sayang sama lo, Mel. Gue mau, kita mulai dari awal lagi. Lo mau, kan?"
What the hell? Setelah ia tega melepas Melda dengan seenak jidat, sekarang cowok itu meminta untuk kembali memulai dari awal? Hidupnya enak sekali!
Melda terpaku, tangannya dingin, hatinya bergetar, namun lidahnya kelu. Setengah hatinya masih menginginkan Ragil, tapi saat mengingat luka yang telah digoreskan oleh cowok itu pada hatinya, membuat Melda ragu untuk kembali memulai. Ia tidak siap jika harus merasakan patah hati untuk kedua kalinya.
Melda mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Lo jangan gila, Ragil. Sebentar lagi lo sama Tari akan nikah. Jangan buat gue seolah benalu dalam hubungan kalian."
Ragil mencoba meraih kedua tangan Melda, namun gadis itu segera menepisnya. "Gue gak pernah ada rasa sama Tari, Mel. Semua itu hanya kesalahpahaman."
Melda menghembuskan napas kasar mendengar ucapan Ragil. "Basi banget alasan lo!"
"Mel, gue terpaksa harus jadian sama Tari. Itu semua semata-mata hanya untuk menyenangkan orangtua gue. Gak ada sedikitpun rasa yang ada buat Tari, Mel. Gue mohon lo percaya sama gue," ujar Ragil.
Melda menghembuskan napas pelan, lalu menoleh ke arah Ragil. "Tapi cara lo salah, Gil. Gue yang jadi korban karena tindakan lo."
"Gue sadar, Mel. Gue emang bodoh karena mengambil keputusan tanpa berpikir panjang terlebih dahulu," ucap Ragil menggenggam erat kedua tangan Melda, meski awalnya gadis itu menolak. "Karena itu, gue mau kita mulai dari awal, Mel. Menyambung kisah cinta kita yang sempat tertunda."
Melda menggelengkan kepalanya beberapakali. "Maaf, Gil. Gue gak bisa."
Melda berusaha melepaskan genggaman tangan Ragil. Lantas berjalan meninggalkan cowok itu seorang diri.
"Kenapa? Karena bocah ingusan itu?" Suara berat bernada dingin itu membuat tubuh Melda mematung ditempat.
"Siapa maksud lo?" tanya Melda tanpa membalikan badannya untuk menghadap Ragil.
"Gue yakin, tanpa gue sebut namanya lo udah tahu siapa dia," ucap Ragil.
Melda terdiam sejenak, sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkah.
"Dia bahkan gak jauh lebih baik dari gue, Mel!" teriak Ragil. Melda tidak peduli, ia tetap melangkahkan kakinya.
"Sial!" Ragil menendang tong sampah yang berada di dekatnya. "Gimana pun caranya, gue pasti bisa dapetin lo lagi, Melda."
~❣~
"Yang baru bebas dari tuduhan sih beda ada ya," goda Kefan pada Malvin yang baru saja tiba di kantin setelah mendapat panggilan dari BK mengenai masalah tempo hari.
Malvin tertawa pelan dan mendudukkan tubuhnya di samping Kefan. "Si Alka kemana?"
"Lagi ke kelas Alika. Gak tahu deh, ada urusan apa," ucap Kefan.
Malvin memesan dua porsi sosis bakar ukuran jumbo sebagai menu makan siang kali ini. Kefan sendiri sudah menghabiskan semangkuk bakso dan saat ini tengah bermain game di ponselnya.
Dari ujung sana, terlihat Alka yang tengah berjalan santai dengan mulut asik mengunyah permen karet. Meski penampilannya jauh dari kata rapi, tapi pesonanya tetap unggul dari yang lain.
Begitu Alka tiba, Kefan langsung menghentikan permainan pada game online-nya. "Al, lo ketemu Bunga gak?"
"Bunga apa? Kalo kamboja gue lihat, lo tahu sendiri gue kalau berangkat lewat kuburan terus," jawab Alka.
"Bunga, Al! Bukan kamboja," ucap Kefan.
"Lha, kamboja juga kan bunga," timpal Malvin yang diangguki oleh Alka.
Kefan mengusap wajahnya beberapakali. "Astagfirullah, punya temen gini amat ya."
"Gak jelas banget sih lo!" seru Alka.
"Gue nanya Bunga, anjir. Lo malah jawab kamboja," jengah Kefan.
"Ya bunga apa? Mawar, melati, sepatu, atau rafflesia?" ucap Alka menyebutkan beberapa jenis bunga.
"Mati aja gue, Al! Mati!" Nafas Kefan memburu. "Maksud gue Bunga yang di kelas IPA 3, temennya si Alika kembaran lo!"
Krik! Krik! Krik!
Alka dan Malvin menatap datar ke arah Kefan yang masih frustasi karena ucapan mereka.
"Di sini, siapa yang g****k sih?" tanya Malvin.
"Kalian, lha. Jawaban kalian itu gak sesuai sama apa yang gue harepin," ketus Kefan.
"Serah lu, ah!" Malvin menyuap kembali bakso ke dalam mulutnya.
"Al, gimana? Lo ketemu Bunga gak?" tanya Kefan kembali.
"Tuh, ada di UKS." Begitu mendengar ucapan Alka, Kefan langsung berlari menuju UKS.
Alka dan Malvin saling beradu pandang. "Temen siapa, sih?"
Seorang pelayan kantin datang ke meja mereka. "Kefan udah pergi, ya?"
"Iya, Mbak. Baru aja dia pergi, mau jengukin gebetannya di UKS. Kenapa?" tanya Malvin.
"Nanti tolong sekalian bayarin makanannya, ya. Soalnya belum dibayar," ucap pelayan tersebut lalu kembali pergi.
"Ah, kencur! Khawatir sih boleh, tapi jangan ngerugiin gue juga kali," gerutu Malvin.
~❣~
Melda terbelalak kaget saat melihat Alka berdiri di depan pintu ruang kerjanya. "Alka?"
Alka tersenyum lebar. "Sore, Mel."
"Kok, lo bisa ada disini?" heran Melda.
"Bisa, dong. Ini buktinya," ucap Alka.
"Subhanallah, ada Aa Berondong ternyata," ucap Lena yang tiba-tiba muncul, membuat Alka dan Melda sedikit terkejut.
Alka tersenyum sopan pada Lena. "Hai, Mbak Len," sapa nya setelah melihat nametag yang Lena kenakan.
"Hai, Sayang." Lena mengedipkan sebelah matanya. "Eh! Astagfirullah, gue mah suka khilaf gini deh kalau ketemu yang uwuw handsome kayak Aa Berondong," cengir Lena.
"Genit banget sih lo. Yang ada bisa dimutasi doi lo," cicit Melda sembari mencubit tangan gadis itu hingga membuatnya meringis.
"Apaan sih lo, Mel? Cemburu ya, Aa Berondongnya gue godain," ucap Lena menggoda Melda.
Alka terkekeh geli, sedangkan kedua mata Melda nyaris keluar dari tempatnya karena ucapan Lena. "Udah sana pulang. Ganggu aja lo!"
Lena mendengus kesal. "Iya deh, tahu aja yang mau berduaan. Gue cus balik ya, kasian calon suami sudah menanti bidadari yang tak kunjung tiba," ucap Lena membuat Melda menatapnya jijik.
Lena melangkah lebih dekat ke arah Alka. "Gue balik ya, Aa Berondong. Salam rindu uwwuu!" Lena segera berlari sebelum tanduk Melda keluar.
Melda menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf ya, Al. Lena emang gitu orangnya."
Alka tersenyum sambil mengangguk. "Gak apa-apa. Santai aja."
"Oh ya, lo mau ada perlu apa ke sini?" tanya Melda lalu melirik arloji yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Pukul 16.15 sore.
Alka meronggoh saku celana abu-abunya, mengeluarkan sebungkus cokelat yang sudah disiapkan untuk Melda saat toko kue tadi bersama Alika.
"Cokelat manis buat cewek manis," ucap Alka seraya menyodorkan cokelat ditangannya pada Melda.
Melda tersenyum sembari mengambil alih cokelat itu dari tangan Alka. "Lo tahu banget kalo gue penikmat cokelat," ucapnya terkekeh pelan.
Alka tersenyum bangga mendengar ucapan Melda. "Iya, dong. Apa sih yang gak gue tahu tentang lo?"
Melda tertawa pelan sembari memperhatikan cokelat yang Alka beri kepadanya. Memang sejak kecil, Melda sangat menyukai cokelat.
"Lo udah selesaikan kerjanya?" tanya Alka yang langsung diangguki oleh Melda. "Ya udah, gue anterin lo pulang ya?"
"Tapi gue bawa mobil sendiri, Al."
"Biar gue kawal lo dari belakang," kekeh Alka.
Melda tertawa pelan."Ya ampun, lo udah kayak bodyguard gue dong."
"Gak apa-apa kali. Apalagi kalo jadi bodyguard dalam hati lo," goda Alka sembari menaik-turunkan kedua alisnya. "Gue siap banget tau...."
"Udah ah, ayo pulang. Capek banget gue hari ini," ucap Melda sembari melangkahkan kakinya keluar dari dalam kantor dengan diikuti oleh Alka dari belakang.