Langit masih terlelap walau hari baru telah di mulai. Sang sepertiga malam telah datang, meski tanpa sambutan hangat. Langit terlalu nyaman berselimutkan gelap, berjubahkan dingin hingga nampaknya masih enggan terbangun.
Suara kokok beberapa ayam yang terbangun karena kebisingan gemercik air dari kamar mandi, samar-samar terdengar. Di bawah lampu ber-watt sedang terduduk seorang gadis yang sudah memulai kembali harinya.
Azzura bersimpuh di atas sajadahnya, bibir gadis itu bergerak pelan seraya jarinya memutar biji tasbih. Ia khusyuk dalam keheningan malam, membiarkan dirinya terus menikmati ketenangan dalam dzikir yang terucap lirih.
“Subahanallah... subahanallah .. subahanallah.... “
Perlahan air matanya meleleh, di tengah rasa nyamannya terselip sebuah ingatan mengenai kejadian di masa lalu. Ingatan saat hati masih begitu jauh dari-Nya.
Azzura sesegukan saat peristiwa itu makin jelas memasuki ruang di ingatannya. Makin keras lafadz dzikir, makin jadi ingatan itu ingin memalingkan Azzura. Semakin jelas ingatan itu makin ketara rasa penyesalan itu.
“Ya Allah.... “ Azzura tersungkur. Ia bersujud seraya terus menangis.
“ Ya Allah....hamba adalah orang yang kotor di masa lalu, hamba telah melakukan perbuatan yang engkau benci, hamba telah menginjak-injak kehormatan yang Engkau berikan demi selembar kertas. Ya Allah.... hamba penuh dengan dosa.
“Ya Allah, tapi itu semua telah berlalu, hamba telah datang pada-Mu, bersujud, dan memohon ampun. Hamba tahu, Engkau Maha pengampun lagi Maha penyayang, tidak ada keraguan atas itu. Namun seringkali hamba merasakan perasaan ini, ya Allah....
“Perasaan yang terus di selimuti rasa takut akan taubat yang tertolak. Seringkali hamba merasa masa lalu itu seperti hakim yang terus menghukum hamba yang memberi vonis mati dan terus memenjarakan hamba dalam dosa itu.
“ Hamba tertusuk rasa itu, ya Allah... Semua prasangka itu bagai godam yang terus menujam hamba. Membuat hamba merasa tidak pantas akan semua nikmat ini.....
“Ya Allah.... “
Azzura terisak. Bibirnya keluh untuk kembali menyambung rasa gundah di hatinya. Azzura kini hanya mampu membiarkan air matanya terus mengalir, membasahi sajadah tua yang sejak dulu menjadi alas, menemaninya menghadap sang Ilahi.
Allah SWT berfirman, "Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah mengampuni semua dosa, sesungguhnya Dialah Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka, kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya azab kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan."
Azzura tersenyum seduh begitu teringat sepenggal ayat Al-Qur'an. Hati Azzura yang lemah, kembali berbungga. Gadis itu bangkit dan mengingatkan dirinya bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hambanya.
"Dan, barang siapa yang bertobat dan beramal saleh maka sesungguhnya Allah akan menerima tobatnya."
Senyum Azzura makin lebar, ia melantunkan surah az-Zumar ayat 53 dan ayat 54 lalu di sambung surah al-Furqaan ayat 71, secara bergantian. Hati Azzura makin tenang setelah membaca dua ayat itu.
“Sadaqollahuladzim.... “
Azzura meraih jilbabnya, ia menatap pantulan dirinya di cermin, senyum mengembang di wajah Azzura.
“Bissmilahirohmannirohim....”
Azzura bergegas ke kamar mandi. Ia mengambil sekeranjang pakaian kotor dan mulai mencucinya. Satu jam berlalu, Azzura keluar dari kamar mandi dengan wajah penuh keringat. Gadis itu lalu melirik jam yang tergantung di ruang tengah.
“Masih ada waktu buat jemur pakaian sebelum adzan subuh.... “Azzura menyekat keringat di dahinya.
Bertahun-tahun hidup sebagai santri, membuat Azzura sudah terbiasa bangun lebih awal sebelum adzan subuh berkumandang. Bangun sebelum subuh, bagi seorang santri adalah ‘kewajiban’. Ya, apalagi jika tidak ingin mendapat giliran paling akhir mandi, maka bangun lebih awal adalah solusinya.
“Dingin....” gumam Azzura, begitu hembusan angin menerpa gadis itu. Azzura lupa bahwa bajunya sedikit basah tidak heran jika udara pagi mampu membuat gadis itu mengigil. Azzura mempercepat kegiatannya menjemur baju, mata Azzura tanpa sengaja menangkap sesuatu.
“Aariz.. “gumam Azzura.
Aariz baru saja selesai menutup pintu kosnya, pria itu tidak menyadari bahwa Azzura memperhatikanya di balik jemuran. Dengan santai, Aariz berjalan melewati jemuran pakaian. Pria itu tersenyum lebar, wajahnya berseri bekas air wudhu. Aariz menggunakan baju koko putih rapih, ia berjalan menuju mesjid dengan sendal jepit biasa. Penampilan sederhana ala pemuda masjid. Masyallah...
“Astagfirullah... “Azzura tersadar. Gadis itu menggeleng pelan atas tindakan yang tidak pantut di contoh.
“Buruan Zur, bentar lagi subuh... “ kata Azzura, mengingatkan dirinya.
“Allahu akbar... Allahu akbar.. “
Adzan subuh memecah hening malam. Kali ini suara muadzin tidak seperti biasa Azzura dengar. Suara itu membuat Azzura teringat akan satu orang. Aariz.
“Masyaallah... “
***
“Selamat pagi,” Azzura membuka lebar daun pintu. Tidak tanggung-tanggung Azzura membuka dua pintu dengan tangan yang membentang seolah-olah ingin memeluk udara pagi.
“Hem... Udaranya seg—“
“Assalamualaikum....”
“Astagfirullah....” mata Azzura reflek terbuka lebar. Aariz berdiri tepat di depannya. Senyum di wajah Azzura seketika lenyap, berganti ekspresi terkejut dan malu yang kentara. Azzura cepat-cepat menarik kedua tangannya.
“Waalaikumsalam... “ sahut Azzura cepat. Gadis itu rasanya ingin menghilang saja sekarang. Pose membuka pintu ala model iklan tadi membuat Azzura, benar-benar malu.
“Bahia— Bahia ada di kamarnya, aku akan panggilkan... “ Azzura memutar tubuhnya.
“Tidak perlu, biarkan dia istirahat. Ini....”
Azzura spontan menoleh, matanya langsung bertemu kantong kresek di hadapannya. Azzura menatap kantong itu, seolah dengan melakukan hal itu Azzura mampu menjawab pertanyaan yang membumbung di kepalanya. ‘Apa itu untuknya? ‘
“Ini untuk Bahia. Bisa tolong berikan.”
Ya, itu untuk Bahia.
Azzura cepat-cepat mengangguk dan mengambil alih kantong itu dari tangan Aariz.
“Terimakasih,” ucap Aariz lalu pergi.
“Aariz, ya? “ Bahia muncul dari balik tembok.
“Ya Allah, Iah. Kamu ngagetin aku aja. Kamu udah dari tadi di sana? “ tanya Azzura. Azzura kali ini refleks menyentuh dadanya, jantungnya berdetak kencang di sana, kasihan jantung Azzura yang lagi-lagi terkejut. Dan kali ini karena ulah gadis di hadapantai, seraya mengangguk.
“Pasti itu dari Aariz kan? “Bahia menatap kantong kresek di tangan Azzura. Lalu detik berikutnya, ia menghela nafas panjang.
“Iya, ini...” Azzura memberikannya pada Bahia. Bahia menolaknya.
“Hem. Buat kamu aja Zur.” Bahia kembali menghembus nafas panjang. “Aku emang sakit, tapi nafsu makan ku masih sehat. Aku memang tidak pantas mengatakan ini, terlebih itu adalah makanan. Tapi aku benar-benar bosan dengan sayuran hijau itu, Zur. Aku ingin makan, apa yang ingin aku makan. “
“Ya Allah, Bahia gak maksud untuk menghina makanan dan tidak mensyukuri apa yang telah Engkau berikan. Tapi untuk hari ini, biarkan Bahia makan, apa yang Bahia inginkan.....
“Besok, Bahia janji makan salad sayur lagi. Insyallah.. “ Bahia membentuk jarinya menjadi ‘V' lalu menatap ke atas.
“Tapi hari ini Bahia pengen makan lontong, ya Allah....” Bahia masih menengadah ke atas, mengeluarkan jurus pupil eyes. Seolah tengah merayu Allah.
Azzura tersenyum geli. Kelakuan Bahia mengingatkan Azzura pada anak kecil yang polos.
“Mau aku belikan lontong sayur? “ tanya Azzura.
Bahia menatap Azzura dengan mata berbinar. “Beneran? “
“Iya. Di depan, kebetulan ada lontong sayur. Mau gak? “
“Mau... Mau banget.” Bahia mengangguk semangat. “ Lontong sayur di depankan? Kata Giffari, lontong sayur itu yang paling enak di sekitar sini. Kalo telat dikit bisa kehabisan.”
Bahia meraih kantong kresek hitam itu dari tangan Azzura. “Ini biar aku aja yang taruh di kulkas.”
“Ya udah kalo gitu aku ke sana sekarang. Assalamualaikum.. “
“Waalaikumsalam, hati-hati Azzura sayang. Jangan lama-lama ya, ada orang yang udah lapar nih. Katanya udah gak sabar lagi buat makan lontong sayur.. “
Azzura terkekeh, ia menoleh dan masih mendapati Bahia, melambai-lambaikan tangannya meski jarak mereka semakin jauh dari pandangan.
“Pak lontong sayurnya satu, ya.. “
“Di bungkus, Neng? “
“Iya, Pak. Sambalnya tolong di pisah ya, Pak.”
“Duduk dulu, Neng.”
“Iya, Pak.. “ Azzura melangkah ke deretan meja dan kursi khusus orang yang ingin makan di sana. Di sana tidak terlalu ramai, banyak orang lebih memilih membungkus lontong sayur untuk makan di rumah.
Mata Azzura menyapu sekitar. Ada seorang pria yang duduk di ujung kursi sedang menikmati lontong sayurnya. Merasa di perhatian, pria itu mengangkat kepalanya. Azzura terkejut, baru menyadari ternyata pria itu adalah Aariz. Azzura tersenyum canggung, mulutnya baru saja hendak menyapa, namun Aariz membuang muka dan kembali sibuk dengan mangkuk lontongnya.
Azzura menahan mulutnya untuk tidak menyapa. Melihat dari ekspresi wajah Aariz, sepertinya pria itu tidak suka sapaan.
Basa-basi dan saling menyapa orang yang tidak terlalu dekat, untuk sebagian orang adalah hal yang paling di hindari, bukan lantaran sombong hanya berusaha untuk tidak terlihat aneh karena setelah sapaan biasanya akan ada obrolan dan segala atribut lainnya.
Aariz tidak ingin memaksa dirinya untuk terus berpikir mengenai apa yang harus dia tanyakan atau ia jawab agar obrolan tidak menjadi canggung. Hal inilah yang berusaha Aariz hindari. Ia hanya ingin sarapan dengan 'tenang'.
“Ini, Neng.”
Azzura bangkit dan menyerahkan lembaran kertas dari saku rok yng gadis itu kenakan. “Makasih, Pak...”
“Azzura...” panggil Aariz begitu Azzura hendak melangkah pergi.
“Ya?”
“Hem. Tolong jangan makan lontong itu di dekat Bahia,” jeda sejenak, “dan jangan katakan pada Bahia, tadi aku makan lontong sayur. Dia akan semakin sedih.”
Azzura mengerjap mata. Lontong sayur ini milik Bahia. Bagaimana bisa ia menyembunyikan dari Bahia.