Uwu

1442 Kata
“Bang, barangnya tolong taruh di sini aja, Bang. “ “Oke Neng.” “Terima kasih, Bang. “ Bahia berbalik menatap pintu cokelat yang masih tertutup rapat di hadapannya. “Assalamualaikum," sapa Giffari yang tampak baru saja pulang . "Bahia jadi pindah ke sini rupanya? “ “Waalaikumsalam, iya. Alhamdulillah, Mama sama Papa udah izinin,” sahut Bahia, riang. “Tabarakallah, semoga betah ya di sini.” “Aamiin... "sahut Bahia. "Ehm, Gif, Azzura ada di rumahkan ?” “Hem, kayaknya sih ada. Jam segini Azzura biasanya lagi quilullah.” “Iya, ya, Azzura pasti lagi tidur siang.” Bahia menatap barang-barangnya yang baru saja turun dari truk angkut. “Apa aku balik dulu aja ya, entar sore ke sini lagi,” gumam gadis itu. “Setahu aku, rumah kamu jauh dari sinikan ? Apa gak capek bolak-balik? Takutnya entar sore malah ke jebak macet. Coba ketuk aja pintunya dulu...” Bahia menyetujui usul Giffari, gadis itu mengetuk ragu pintu cokelat itu seraya mengucap salam pelan. Bahia takut kedatangannya malah mengganggu tidur nyenyak mereka. “Waalaikumsalam,“ suara itu muncul bersama dengan daun pintu yang terbuka lebar. Bahia tersenyum lebar. “Assalamualaikum, Bu, saya Bahia, temannya Azzura.” Bahia langsung menyalimi tangan Bu Nirmala. “Masyaallah, nak Bahia toh, yang kemarin video call setoran sama Ibu kan?” tanya Bu Nirmala, Bahia mengangguk. Meskipun Bahia adalah teman Azzura, tetap saja syarat utama untuk ngekos di sini, harus hafal satu juz, minimal. “Ternyata aslinya lebih cantik ya..,” puji Bu Nirmala. Pipi Bahia seketika langsung merona. “Bahia, bu Nirmala, saya permisi dulu, ya...."pamit Giffari. "Oh iya, Bahia, kalo mau minta bantuan, jangan segan-segan, insyallah kalo bisa ana  bantu. Kos ana yang itu nomor 2, kalo nomor 1 itu kos Delshad.” “Terima kasih, Giff... “ Bahia tersenyum. Giffari langsung masuk ke dalam kosanya. “Ya udah kalo gitu, ayo nak Bahia kita masuk. Biar ibu antar ke kamar kamu.” Bahia mengangguk. Ia langsung meneteng tasnya, mengikuti langkah bu Nirmala. “Ini kamar kamu, Nak. Maaf ya kalo sempit.” “Masyallah Bu, ini aja udah alhamdulillah. Kamarnya rapi dan nyaman gini, apalagi pewangi ruangannya enak banget aromanya. Jadi tambah betah, Bu....” ungkap Bahia, jujur. “Ini, Azzura yang pilih. Dia bilang kamu pasti suka aroma ini.” “Oh iya Bu, Azzura di mana? “ “ Azzura di kamar belakang. Mungkin sekarang lagi tidur, ketiduran setelah murojah hafalannya. “ “Oh, di belakang ada kamar lagi ya, Bu? Apa Bahia boleh ke sana ?” Bu Nirmala mengangguk. “Kalo gitu Bahia ke sana ya, Bu,” pamit Bahia. Dari kamar Bahia menuju kamar Azzura hanya memerlukan waktu lima detik. Kini Bahia sudah sampai di depan pintu kamar Azzura. Kamar Azzura kebetulan tidak di kunci. Bahia langsung saja masuk ke dalam. “Ya Allah....” Bahia menatap Azzura yang tertidur di lantai dengan beralasan kasur tipis dan tikar, di sebelah kanannya bertumpuk barang yang tidak terpakai. Tempat ini rapi dan bersih, tapi Bahia tetap tahu bahwa tempat ini bukan kamar tapi gudang. “Astagfirullah, Iah.. “Azzura terbangun, lalu mengucek pelan matanya seraya bangkit. “Sudah datang? “tanya Azzura. Bahia mengangguk kaku, “Zur, apa karena aku kamu jadi harus tidur di sini? “ Azzura tersenyum. “Memang kenapa? Tempat ini juga nyaman kok. “ “ Tapikan—“ “Iah.... kalo tempat ini gak di tempati, takutnya bisa jadi sarang jin. Kan serem.. “ “Hem, iya juga ya.. “Bahia mangut-mangut, ia jadi teringat cermahan Ustadz dulu di pondok mengenia hal ini. “Barang-barang kamu sudah di bawah ke sini semua? “ “Hem, belum semuanya. Besok nyusul kata Mama, sekalian Mama sama Papa mau ke sini juga.” Azzura melipat selimut yang ia alih fungsikan menjadi sprei. “Maaf ya di sini panas.. “kata Azzura. Ia tahu dari bahasa tubuh Bahia, gadis itu merasa gerah, namun tidak enak untuk mengatakannya. “Kita keluar aja yuk, di sini gak ada jendela jadinya panas," ajak Azzura. Bahia setuju, keduanya memilih duduk di pondok-pondokan yang Bu Nirmala buat untuk sekedar duduk-duduk sore, kadang di gunakan anak kosan untuk murojah, menghafal atau mengobrol ringan sembari menikmati suasana sore hari. “Zur, kipas angin yang ada di kamar aku, di taruh di kamar kamu aja ya. Di kamar aku kan ada jendela, jadi gak panas. Kalo di kamar kamu, butuh kipas banget.” “Syukron, Iah, tapi kamu tau sendirikan, aku suka bersin-bersin kalo kena kipas angin.” “Oh iya, aku lupa. Kalo gitu kita pasang AC aja,” usul Bahia. “Owalah, orang deso ora bisa pake AC, Iah. Bisa menggigil aku,” kata Azzura seraya terkekeh. "Yowes, bisa aja kamu Zur.” Bahia ikut terkekeh. “Enak ya duduk di sini. Udaranya juga segar terus bisa liat bunga-bunga dari sini. Bunga-bunga itu kamu yang rawat, Zur ?” Azzura mengangguk. “Zur, nanti malam tolong bantuin aku ya, aku mau buat acara makan-makan di sini .... aku udah pesen makanan siap saji buat acara ini. Tinggal beli minum dingin buat pelengkapnya.” “Insyallah. Kebetulan hari ini gak ada pengajian. Jadi bisa makan-makan habis magrib.” “Eh, pada ngumpul di sini? “sapa Delshad, pria itu menenteng mushaf kecil di tangannya, wajah dan rambutnya terlihat setengah basah. “Assalamualaikum Shad, mau murojah ya? “tanya Azzura. “Waalaikumsalam. Eh—“ Delshad menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal. Jika ia jawab ‘iya', Delshad takut kedua wanita itu akan merasa terusir karena kedatangannya, tapi jika di jawab ‘tidak' itu artinya Delshad berbohong. Ia tidak ingin berbohong. Kejujuran adalah harga mati bagi Delshad. Ia jadi merasa serba salah. “Kalo gitu biar kami—“ “Eh... gak papa, kalian tetap di sini saja,” sela Delshad spontan. “Aku bisa murojah di kamar saja.. “Delshad tersenyum canggung. Ia ingin segera memutar langkahnya. “Shad..... “ panggilan Giffari menghentikan pergerakan Delshad. “Kalian lagi ngumpul ya? emang ada acara apa nih? Aku boleh ikut gabung? “tanya Giffari, seperti biasa Giffari lebih luwes dalam bergaul ketimbang Delshad yang mesti banyak belajar. “Eh, iya, nih, Giff. Nanti malam ada acara makan-makan kecil di sini, sejenis syukuran karena aku pindah ke sini. Ini sekarang aku sama Zura mau beli bahan tambahan buat acara nanti malam, bada magrib, “jelas Bahia. “Oh iya kalian berdua jangan lupa gabung ya... “ “Insyallah....,” jawab Delshad. “Iya, insyallah kami gabung kok, Iah. Rezeki gak boleh di tolak.” Giffari tersenyum lebar. “Alhamdulillah malam ini bisa dapat makan gratis... “ gumam Giffari. “Eh, itu siapa yang datang? “ bingung Azzura saat sebuah mobil memasuk perkarangan. “Apa mungkin penyewa baru? “ kata Azzura. Delshad, Bahia dan Giffari mengangguk, menyetujui pendapat Azzura. Mereka berempat terus mengikuti pergerakan mobil itu, sampai pintu mobil terbuka dan menampakkan orang di dalamnya. “Aariz....,” kompak ke empatnya. Aariz menoleh dan mendapati keempat manusia itu menatapnya dengan tatapan terkejut. “Assalamualaikum...,” sapa Aariz. “Waalaikumsalam,” sahut mereka kembali kompak. “Kamu ngekos di sini juga, Riz? “tanya Giffari, orang pertama yang keluar dari rasa terkejutnya. Aariz mengangguk sekilas. “Serius? “tanya Bahia, orang kedua, menyusul Giffari yang sudah sadar dari rasa terkejut. “Memangnya, kenapa? “tanya Aariz, bingung. “Karena kamu gak suka kosan ini...” sahut Delshad, lugu. Masih setengah sadar dari keterkejutannya. Alis mata Aariz terangkat, membuat Delshad seketika sadar sepenuhnya. “Eh, maksud ana, bukan gak suka kamu di sini, ana cuman—“ Delshad menghela nafas panjang. Ia menyesali perkataan sendiri. “ Maaf.... “ “Hanya ini salah satu cara untuk menebus kesalahanku pada Bahia.” Aariz menghela nafas panjang.” Kesalahan yang akan selalu aku sesali.” “Kesala—“ “Eh, nak Aariz sudah datang....,” bu Nirmala muncul dari dalam rumah. Menyela perkataan Delshad yang baru saja setengah. Delshad memilih menelan kembali kalimatnya. Ia sudah terlalu kepo akan masalah orang lain. Aariz tersenyum. “Iya Bu, baru saja sampai.” “Kalian semua kenal sama nak Aariz kan? Dia juga kuliah di tempat kalian...,”kata bu Nirmala, memperkenalkan. “Ini loh, Zur. Orang yang pernah Ibu ceritakan. Nak Aariz, donatur di musholah.” Azzura tersenyum, ia mengingat obrolannya dengan bu Nirmala waktu itu. Bu Nirmala bercerita bahwa dulu mushola tempat mereka mengajar sangat tidak layak di antara semua rumah mewah yang ada di sekitar. Bu Nirmala bilang ada seorang pemuda yang dengan pendapatannya sendiri bersedia menjadi donatur tetap musholah selama tahap pembangunan. Azzura tidak tahu bawah orang itu Aariz. Pengusaha muda, berakhalak mulia. “Masyaallah...,” sahut Giffari. “ Ana jadi merasa bersalah karena sudah berpikir buruk. Ana pikir kamu pria yang egois dan tidak peduli sesama ternyata kamu lebih baik dari apa yang ana duga. “ Aariz sebenarnya kurang nyaman dengan pembahasan ini. Ia tidak suka jika kebaikan yang telah di lakukan terus di ingat. Aariz lebih suka jika tidak ada yang mengetahuinya. “Masyallah, hebat kamu, Riz.. “ timpal Delshad. “Nak Aariz mau langsung nyetor hafalan Al-Qur’annya atau mau nanti saja? “tanya bu Nirmala. “Sekarang saja, Bu. Insyallah saya sudah hafal.” “Ya sudah. Apa kamu tidak keberatan di hadapan semua orang?” Bahia menyela, “kalo gitu, lebih baik kami undur diri, Bu. Kebetulan tadi emang rencananya mau ke kedai, beli bahan buat acara nanti malam. Mau pergi sekarang, takutnya kemalaman pulangnya.” Bahia menarik pelan lengan Azzura. Azzura mengikuti langkah Bahia, menjauh. Meski langkah kedua mulai menjauh, samar-samar Azzura masih bisa mendengar lantunan suara Aariz membacakan surah An-Naba. Suara Aariz masuk ke telinga Azzura dengan sangat sopan, hingga tanpa sadar Azzura bergumam. "Masyallah..... "
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN