Interaksi menyakitkan

1397 Kata
“Lontong sayur tidak terlalu baik untuk penderitaan jantung.” Azzura merasa bersalah sekarang. Ia hampir melakukan kesalahan jika Aariz, tidak memberitahunya. Mulai sekarang Azzura haru berhati-hati mengenai makanan Bahia. Nampaknya Azzura harus searching banyak hal mengenai makanan yang baik dan tidak baik untuk penderitaan jantung. Agar tidak salah seperti hari ini. “Azzura sayang, udah pulang....” Bahia menyambut Azzura dengan senyum mengembang. Azzura merasa tidak enak hati. “Lontongnya mana? “ tanya Bahia. “Hem. Lontong sayur gak baik buat penderitaan sakit jantung.” “Apa Aariz mengatakan itu? “tembak Bahia. “Aku pikir hari ini bisa makan lontong. Tapi ya... “ Bahia menghela nafas panjang. “Maaf, Iah. Ini demi kebaikan kamu juga.” “Zura, kamu gak kuliah? Kata kamu semalam, hari ini mau berangkat lebih pagi?” tanya Bahia, mengalihkan pembicaraan dari topik ‘basi' ini. Ia tidak ingin berdebat atau membantah argumen orang-orang yang mencoba menjaganya meski tanpa mereka sadari, hal itu membuat Bahia semakin sakit. Bahia sakit, karena selalu di spesialkan dari manusia normal lainnya. Ya, iya memang spesial. Mata Azzura membulat sempurna. “Astagfirullah, aku hampir lupa....” “Buruan deh, siap-siap. Sini biar lontongnya aku taruh di dapur. Kamu buruan ke kamar sana.” Bahia mengambil alih kantong kreske dari tangan Azzura. “Makasih ya, Iah. Lontongnya bisa kamu kasih siapa aja, aku gak sempet lagi mau makan.” “Kasih siapa aja? “ Azzura mengangguk. “Delshad atau Giffari, siapa aja boleh, yang penting gak mubazir.” Bahia tersenyum lebar. Bahia mengekor Azzura ke kamar. “Siapa aja kan?” tanya Bahia lagi. Azzura mengangguk. Azzura telah selesai mengganti baju dan siap berangkat kuliah. Beruntung semalam, sebelum tidur, Azzura sudah menyiapkan semua berkas yang dia butuhkan untuk berkas tambahan beasiswanya. “Aku pergi dulu ya, Iah. Jumpa lagi di kampus. Oh iya, bu Nirmala masih sibuk warid. Nanti kalo beliau nanya aku tolong izinin ya, Iah. “Iya, hati-hati ya...” “Assalamualaikum.....” “Waalaikumsalam....” Bahia menggiringi kepergian Azzura hingga punggung Azzura menghilang dari pandangannya. Bahia berbalik, perhatian gadis itu kini beralih pada kresek hitam di tangannya. “Maafin, Zur. Sekali ini saja.” ** Azzura memutar, sedikit lebih memburu langkahnya agar lebih cepat meski hal ini sedikit berimbas pada nafasnya yang jadi berantakan. Tapi hal ini cukup efektif, Azzura bisa sampai di kampus tepat waktu. “Alhamdulillah....” Azzura kini menata langkahnya, berjalan lebih tenang memasuki lingkungan kampus. Fokus utamanya kini ruang auditorium, di sana tempat untuk membahas beasiswa dengan banyak mahasiswa lainnya. Kampus tempat Azzura menimbah ilmu memang sangat dermawan hingga tidak heran banyak sekali mahasiswa yang mendapat beasiswa. Tidak hanya puluhan tapi ratusan. Dan hebatnya rata-rata penghafal Qur’an yang mendominasi. Azzura benar-benar bersyukur atas kesempatan yang Allah berikan untuknya. Meski secara ekonomi, Azzura masih harus memikirkan otak untuk mendapatkan uang memenuhi kebutuhan pribadinya. Setidaknya untuk urusan kampus, Azzura tidak perlu ambil pusing lagi. Semua dibiayai. Alhamdulillah... Begitu sampai di ruang auditorium, ruangan itu sudah ramai di penuhi mahasiswa. Azzura memilih duduk di kursi paling belakang. Kursi di tengah banyak di d******i pria. Untuk bisa sampai di kursi depan itu tandanya, Azzura harus melewati mereka. Azzura tidak nyaman melakukan hal itu. Ia memilih mempertajam mata dan telinganya agar informasi yang diberikan tidak terlewat. “Zura....” Alis mata Azzura terangkat, menantap gadis yang kini berjalan mendekat padanya. Begitu sampai gadis itu langsung duduk di kursi sebelah Azzura, beberapa detik ia menata nafasnya sebelum menoleh dan tersenyum pada Azzura. “Azzura kan? “tanya gadis itu. “Iya... “ Azzura balas tersenyum. “Huft... untung kalo gitu.... “ Gadis itu malah bergumam sendiri. Azzura masih menunggu kalimat lanjutan gadis berambut sebahu itu. “Ini acara apa sih? “ sambung gadis itu seraya mengedarkan pandangannya ke sana-ke mari seolah tengah mencari sesuatu. “Kok semuanya pakai Jilbab? Aku berasa asing deh jadinya,” katanya terdengar tidak nyaman. Ingat, beasiswa ini memang di khususkan bagi penghafal Qur’an yang lolos seleksi. Jadi sudah jelas bahwa para wanita yang ada pasti menggunakan jilbab panjang atau setidaknya jilbab segi empat. “Kamu mencari saya? “ Gadis itu seolah kembali teringat akan tujuan awalnya mengejar Azzura hingga ke auditorium. “Oh iya, hampir lupa.... “ Gadis itu lantas mengeluarkan sesuatu dari dalam tas selempang berwarna hijau tua. Penampilan gadis itu terlihat sedikit tomboy, dengan celana jins panjang yang di padu padamkan dengan kemeja kotak-kotak yang kancingnya di biarkan mengelewer memperlihatkan kaos hitam yang ia gunakan. Meski begitu, wajahnya sama sekali tidak mendukung. Wajah mungil dengan pipi cabi itu benar-benar membanting gaya style yang gadis itu pilih. “Ini buku kamu kan? Tadi aku lihat pas kamu buru-buru ke sini, kamu jatuhin buku ini.” Gadis itu menyerahkan buku note miliki Azzura. “Astagfirullah....” gumam Azzura. “Makasih ya. Ya Allah.. di sini banyak catatan penting, kalo hilang bisa repot juga,” kata Azzura, ia menyesali atas tindakannya yang tergesa-gesa hingga tidak menyadari telah menjatuhkan note. Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, sifat tergesa-gesa adalah dari setan. Sejatinya sifat tergesa-gesa juga merupakan sikap gegabah, kurang berpikir dan berhati-hati dalam bertindak. Yang mana sifat ini menghalangi pelakunya dari ketenangan dan kewibawaan. “Hem, maaf, tadi aku buka-buka buku kamu. Di sana aku gak sengaja liat tulisan-tulisan kamu...” “Iya, gak masalah kok.. “ Azzura tersenyum lebar. “Hem. Kamu bisa bahasa Arab? Tadi aku liat tulisan-tulisan Arab gitu di note kamu?” “Bahasa Arab, gak terlalu jago sih, tapi kalo basic-basic dasarnya insyallah bisa.” “O...kalo gitu kamu bisa ngaji juga? Ngajar ngaji, gitu? “ Azzura mengangguk. “Alhamdulillah... “ “Kebetulan banget, kamu mau gak jadi guru privat ngaji.“ “Ha?” “Iya guru privat ngaji yang datang ke rumah. Soal gaji ya lumayanlah.... gak besar-besar amat sih, tapi ongkos pulang pergi di tanggung,” gadis itu diam sejenak. “Tempatnya gak jauh kok dari sini, dekat pengkolan sebelah mesjid.” “Maaf tapi siapa yang mau belajar ngaji ?” “Aku.” Gadis itu memperkecil suaranya, “kamu pasti shock kan, ‘udah gede baru mau belajar ngaji’.” Sorot mata gadis itu mendadak sayup. “Insyallah, saya bersedia. Saya malah salut sama kamu, semangat belajarnya patut di acungi jempol.” “Serius kamu mau? “tanyanya dengan mata berbinar. “Soal gaji, nanti kita bahas di rumah aku aja. Oke….” “Soal gaji kalo bisa aku gak mau di bayar, biar Allah saja yang bayar. Rumah kamu kebetulan dekat sama kosan aku, jadi bisa jalan kaki aja ke sana.” “Ya gak gitu doang….. kamu kan udah luangi waktu berharga kamu buat aku, jadi aku wajib bayar.” “Tapi—“ “Udahlah.. kalo kamu ikhlas, aku juga ikhlas bayar kamu. Aku malah bahagia bisa berbagi rezeki. Sebagai sesama mahasiswa, aku tahu kok, kadang kita juga butuh uang saku. Anggap aja ini rezeki yang Allah berikan melalui perantara aku. Lumayan buat jajan goreng.” Gadis itu nyengir lebar. “Eh, kayaknya acara kamu udah mau di mulai tuh. Aku minta nomor ponsel kamu aja, buat alamat lengkapnya. Biar nanti aku share location.” Azzura menyebutkan beberapa digit nomor ponselnya pada gadis itu. Setelah itu gadis itu beranjak pergi meninggalkan auditorium. Bibir Azzura terus melafadzkan tasbih seraya tetap fokus mencatat hal-hal penting di note. Azzura tidak henti-hentinya mengucap syukur selama kegiatan berlangsung. Ia bersyukur lantaran rezeki yang Allah berikan padanya. Azzura kini tidak perlu khawatir lagi mengenai uang. Kegiatan berlangsung dengan lancar. Sekitar dua jam lebih. Begitu selesai, Azzura memutar langkahnya ke kelas. Azzura lebih memilih langsung ke kelas ketimbang beristirahat di kantin. Hari ini hanya ada satu mata kuliah. Jadi setelahnya, Azzura bisa beristirahat di rumah. “Guys dosennya baru hubungi gue. Kata beliau, beliau berhalangan masuk hari ini. Kemungkinan akan di ganti di hari berikutnya.” Begitu pengumuman itu selesai, semua mahasiswa langsung bubar dari kelas. Ada yang memilih nongkror di kantin selagi menunggu jam matkul berikutnya, ada yang langsung pulang seperti Azzura. Di tengah jalan Azzura melihat Aariz berdiri di ujung jalan, dengan raut wajah gelisah seperti tengah menunggu seseorang. Azzura rasa sebaiknya, ia menyapa Aariz. Bagaimana pun mereka saling mengenal, tidak enak jika pura-pura tidak melihat jika Azzura melewatinya. “Assalam—“ “Sejak awal aku memang tidak menyukai kamu berteman dengan Bahia,” potong Aariz. Azzura mencoba mencerna kata-kata itu selagi keheningan terjadi. Aariz tersenyum miring, lalu membuang wajah dari Azzura. “Ternyata kamu memang bukan wanita yang bisa di percaya!!!” kata Aariz tajam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN