Surat Cinta Bahia

1018 Kata
“Astagfirullah... “ Azzura spontan terduduk di kursi karena terkejutnya mendengar berita yang bu Nirmala sampaikan. “Minum dulu, nak... “ Bu Nirmala menyodorkan segelas air putih pada Azzura. Bu Nirmala tidak tega melihat raut lelah Azzura. Gadis itu baru saja pulang dari kampus. Azzura memang terbiasa berjalan pulang-pergi untuk menghemat ongkos. Bulir keringat masih menghiasi wajah Azzura. Namun Azzura mengabaikannya. “Bu, terus bagaimana keadaan Bahia sekarang ?” Raut gusar di wajah Azzura makin kentara. “Sudah jangan cemas. Insyallah, kondisi Bahia sudah membaik. Bahia tadi hanya shock karena sudah lama tidak makan santan. Jadinya tubuhnya memberi respon berlebihan.” “ Ya Allah, Bahia makan lontong sayur, Bu? “ Azzura jadi teringat mengenai lontong sayur yang ia beli tadi pagi. “Iya, Nak.. “ “Ya Allah, Iah...” Rasa bersalah langsung menyerang Azzura. "Sekarang Ibu mau ke rumah sakit? “ Bu Nirmala mengangguk. “Azzura ikut ya, Bu... “ “Kamu baru saja pulang. Wajah kamu masih kelihatan lelah gitu. Istirahat dulu saja. Di rumah sakit, sudah banyak orang yang menjaga Bahia. Ada Delsahad, Giffari dan Aariz. Kamu istirahat dulu saja.” “Azzura tidak tenang jika hanya menunggu di rumah, Bu.... Azzura ikut ya, Bu ?” “Ya sudah kalo kamu mau ikut. Tapi kamu udah salat dzuhur ? “ “Belum, Bu. Azzura salat di rumah sakit saja setelah membesuk Bahia.“ “Salat dulu, Nak,” tegur bu Nirmala pelan. “Salat itu kewajiban. Ibu tahu kamu cemas. Jangan karena rasa cemas ini setan masuk dalam celah ini. Jangan tunda salat, karena kematian tidak pernah menunggu.” “ Ibu akan tunggu kamu. Sekarang kamu salat, dulu. Setelah salat kamu makan dulu, ya... di meja makan ada roti, kamu harus isi perut kami juga. Jangan sampai kosong. Tadi pagi kamu gak sempat sarapankan? “ Setelah itu baru kita pergi ke rumah sakit.” Azzura mengangguk kaku, melangkahkan kakinya menuju kamar. Mendengar kabar Bahia di larikan ke rumah sakit secara mendadak, membuat hati Azzura gelisah. Bayangan mengenai Aariz yang terlihat begitu marah juga menjadi point utama kegelisahan Azzura. Azzura merasa bersalah dan merasa gagal secara bersamaan. Buru-buru Azzura mengusir gusarnya lalu mengambil air wudu. Air yang mengalir membasahi wajahnya , sedikit menyegarkan diri dan fikiran Azzura. Azzura segera melaksanakan salat meminta ketenangan dari sang Ilahi. **** “Assalamualaikum.... “ Begitu Azzura masuk, hal pertama yang menjadi pusat perhatiannya adalah Bahia. Gadis itu terbaring lemah di atas ranjang dengan infus yang terpasang di tangannya. Bahia menyadari kehadiran Azzura, cepat-cepat gadis itu menerbitkan senyumannya mengiringi langkah Azzura. Azzura tergopoh-gopoh langsung merubah raut wajahnya agar bisa membalas senyum tulus Bahia. “Waalaikumsalam.....” Bahia berusaha mengangkat sedikit kepalanya tapi ia gagal. Azzura refleks hendak membantu namun jaraknya masih belum dekat. “Sudah tidak usah bangun!” Suara bariton itu menghentikan pergerakan Bahia. Suara Aariz menyadarkan Azzura akan kehadiran pria itu. Delshad dan Giffari juga ada di sana dan dua suster yang tampak sibuk di sudut ruangan. “Hem, aku cuman sakit perut doang... ini kenapa pakai acara di infus? “ keluh Bahia, merasa pergerakannya terganggu karena jarum yang tertusuk di tangannya itu. “Sakit perut juga bahaya, kamu bisa kehabisan cairan,” kata Aariz, datar. “Ck.. “Bahia memilih untuk tidak melanjutkan perdebatannya. Dan mengindahkan keberadaan Azzura yang sudah berada tepat di sebelahnya. “Sendirian ke sini? “tanya Bahia. “Bareng bu Nirmala. Bu Nirmala lagi ke toilet bentar.” “Oh....” Bahia mengangguk-ngangguk. “Tenang saja Zur, aku baik-baik saja kok. Kamu tidak perlu secemas itu.” Bahia tertawa mencoba membunuh suasana tegang ini, tapi ia gagal. Suara tawa Bahia tidak berbalas. Baik Azzura maupun Aariz, keduanya masih memilih dengan raut wajah tegang. Tidak tega. Akhirnya Azzura mengulas senyum kaku, tidak enak hati jika membiarkan Bahia tertawa sendiri. Semacam intuisi memanggil Azzura. Ada sepasang mata yang mengarah padanya. Begitu Azzura menyadarinya. Aariz langsung membuang muka. Tatapan pria itu seperti kata tanpa suara. ‘Ini semua karena kamu! ‘ begitulah arti dari tatapan tajam itu. Aariz memilih melangkah menjauh dari sisi kanan ranjang Bahia. Ia mendekati Delshad dan Giffari yang masih sibuk dengan doa mereka. Dua pemuda itu memang sangat religi. Begitu Bahia di bawa ke rumah sakit, keduanya langsung menggelar doa bersama, bahkan keduanya tidak segang menodong dua suster yang kebetulan sudah selesai bertugas untuk ikut bergabung. “Aamiin ...” Giffari mengakhiri doanya. Pria itu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Lalu diikuti Delshad dan dua suster itu. “Terima kasih, Suster... “ Giffari menangkupkan kedua tangannya di depan d**a. Sebagai penganti salam. Dua suster itu juga melakukan hal yang sama dan berpamitan pergi dari ruangan. “Ya Allah, jadi lebih tenang....” ujar Delshad yang langsung mendapat anggukan setuju dari Giffari. “Eh, Azzura.... Kapan datangnya ? “ tanya Giffari. Giffari dan Delshad nampak terkejut dengan kehadiran Azzura. Keduanya begitu khusyuk hingga tidak mengetahui kapan Azzura datang. “Baru, Gif... “ jawab Azzura. “Oh....” Perhatian Giffari kini beralih pada Bahia. “Gimana keadaan kamu sekarang, Iah? Udah enakan? Ana, cemas banget liat kamu pingsan dengan wajah pucat kayak tadi pagi.” Bahia tertawa pelan. “Maaf, sudah membuat USTADZ Giffari cemas.... “ Bahia sengaja menekan kata Ustadz. Giffari mengaruk tengkuknya seraya tersenyum geli mengingat kejadian tadi pagi. Julukan ‘ustadz', Giffari dapatkan karena pagi itu Bahia jatuh pingsan, bu Nirmala panik dan kebetulan Giffari lewat, Bu Nirmala langsung memanggil Giffari, meminta Giffari untuk menggendong Bahia dan memindahkannya ke kamar. Bu Nirmala tidak sanggup melakukan hal itu Giffari bimbang. Dalam hidupnya ia tidak pernah menyentuh wanita. Giffari maju-mundur untuk melakukan hal itu. Selama melakukan tugasnya Giffari terus mengucap istigfar, tidak henti-hentinya. Bu Nirmala memanggil Delshad dan Aariz untuk meminta bantuan. Giffari cemas dan bingung untuk meninggalkan Bahia sendirian di kamar. Wajah Bahia begitu pucat. Beruntung Aariz dan Delshad bergerak cepat. Aariz membantu Giffari sedangkan Delshad segera menghubungi ambulans. “Dan maaf juga udah buat kalian semuanya cemas,” kata Bahia. “Kenapa kalian gak kasih tahu aku? “tanya Azzura tiba-tiba. “Aku tahu kamu pasti cemas banget kalo dapat kabar ini. Entar kamu malah gak fokus sama informasi beasiswa,” jawab Bahia. Gadis itu sangat tahu cara menenangkan orang dengan senyum lebarnya. “Aku minta maaf ya, Zur. Pas kamu pergi, aku makan lontong itu. Aku pengen banget, makanya meski kamu udah larang. Masih aja aku makan. Dan ini akibatnya, aku jadi nyesel gak dengar nasihat kamu.” “Tidak masalah, Iah. Tidak perlu meminta maaf. Yang terpenting sekarang kamu baik-baik saja.” “Bukannya tadi Aariz pamit keluar ? Katanya ingin ke kampus. Apa kalian tidak bertemu? “ Delshad melirik Aariz. “Apa Aariz tidak memberi tahu kamu?” tanya Delshad.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN