Nasibnya akan diuji. Ia memilih untuk bergabung agar tetap bisa menjalani hidup meski harus ikut visi dan misi organisasi gelap bernama Blackhole. Terlebih lagi, Levo menjamin hutang-hutangnya lunas dan ia tak perlu lagi menahan lapar jika ia mau bergabung dengan Blackhole.
Akan tetapi, sekarang ia harus benar-benar mengabdi pada organisasi itu sekarang. Ia takut. Jika ia menolak permintaan Levo, nyawanya akan terancam. Seperti yang Levo katakan, meski sekarang mereka sudah menyatu dan menjadi satu organisasi, tapi kepercayaan tetap harus dipertanyakan. Harus berwaspada setiap saat. Takut-takut, saat ia lengah, Zack akan membakarnya atau Sena akan mmeracuninya. Bahkan Levo bisa membawanya ke tempat antah berantah lalu menghabisinya. Mengerikan.
Dengan cepat, Dexa mengangguk setuju. "Oke. Aku akan melakukannya."
Zack mengernyit. Begitupun dengan Mea. "Secepat itu? Memangnya kau yakin bisa menguak informasi tentang Andrew dengan pengawalan yang sangat amat ketat itu?"
Dexa terdiam. Ia tak tahu siapa Andrew. Mendengar namanya saja baru kali ini. Apalagi kehidupan sosok itu. Jelas ia sangat tidak tahu-menahu.
Mea terbahak. Ia bangkit dari sofa lalu memukul bahu Dexa dengan gemas. "Kau bodoh. Kenapa kau mau menerima perintah Levo jika kau saja tak tau? Hm? Kau mau mati mendadak?"
Dexa menggeleng cepat. "Kalau aku menolak, kalian pasti membunuhku."
Ucapan Dexa benar-benar di luar tebakan. Mea pikir, Dexa mau mencari muka di depan Levo. Levo pikir, Dexa sudah paham apa visi mereka. Sedangkan Nezi pikir, Dexa memang terlalu bodoh. Begitupun dengan Zack yang berpikir jika Dexa terlalu naif. Kecuali Sena, gadis itu tak peduli dan tetap melanjutkan eksperimennya.
Levo menggaruk alisnya yang tak gatal. Ia bingung harus menjelaskan dari mana lagi. Tapi wajar saja, Dexa bergabung atas keterpaksaan agar dirinya tak dibunuh karena telah mengetahui tentang identitas Blackhole. Tapi tidak selalu berarti jika Dexa akan sewaktu-waktu menjadi mayat hanya karena masih belum mampu menjalankan misi.
"Kau ... juga sangat penting di kelompok ini, Dex. Kami tak semata-mata akan membunuhmu jika kau tidak mau atau belum sanggup menjalankan misi. Santai saja. Jangan tegang. Kau pikir kami bodoh dalam mengambil keputusan, eum?" Levo menegaskan. Ia pun menghampiri Dexa yang masih berdiri mematung.
Zack menjetikkan jemarinya. "Ah, kau pasti berpikir sedang menjadikanmu tumbal?"
Mea terbahak. "Zack, kau terlalu jujur."
Nezi hanya diam menatap tontonan di depannya. Wajah Dexa memang menegang. Seolah ia memang sangat takut hidupnya akan berakhir sekarang. Entah mengapa, wajah itu menyebalkan. Karena membuatnya teringat dengan masa lalu.
"Baiklah, sekarang bersantailah dulu. Pahami kami satu-persatu. Kau akan paham, apa tujuan kami secara pribadi. Agar kau, tak terus merasa dibayangi rasa takut akan kematian."
Dexa masih tetap diam. Sedangkan Levo sudah menghilang entah ke mana. Tentu saja sosok itu sedang berteleportasi ke sebuah tempat yang tak ada seorangpun tau. Tapi Dexa menebak, Levo pasti kembali ke apartemennya. Pasti Levo lelah menghadapi anak baru sepertinya.
"Haaahhh, aku lelah. Anak baru itu terlalu lamban." Zack berjalan dan merebahkan diri ke ranjang kecil di dekat sofa. Hanya berbantal kedua tangan di bawah kepala dan manik matanya menatap ke langit-langit.
Mea menghela napas pelan. "Levo akan menghadapi kesulitan karena pilihannya sendiri." Gadis itu pun menghilang. Sesuai dengan kemampuannya, Mea mampu menghilangkan diri. Ia berniat pergi dari masrkas tanpa membuat salah seorang anggota tau di mana ia bisa masuk dan keluar.
Lain hal dengan Zack dan Mea yang terus mengolah mental Dexa dengan semua ucapan pedas mereka, Nezi dan Sena hanya diam sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Dexa mendaratkan pantatnya ke sofa lalu bersandar. Helaan napas kesal terdengar sedikit keras. Membuat Nezi melirik sekilas tapi tetap tak peduli. Sosok itu mengalihkan perhatian ke rak buku di sisinya.
"Nezi, Zack, apa kalian tak lapar?" tanya Sena yang baru saja meletakkan erlenmeyer ke meja. Gadis itu melepas jas laboratorium putih bersih yang setia menempel. Sembari mengelus perut, Sena duduk di sofa sebelahan dengan Dexa.
"Aku akan membawakanmu makanan." Dexa hampir bangkit dari duduknya.
"Tidak. Biar aku saja. Kau lamban. Lagipula, kau belum punya uang, kan? Jangan sampai gunakan kemampuanmu untuk mendapatkan makanan lagi. Kau akan tertangkap lalu apa yang kau pikirkan akan terjadi." Zack langsung bangkit dan berjalan ke sebuah lorong.
Dexa diam mencibir. Tapi apa yang dikatakan Zack memang benar. Sebelum terikat dengan Blackhole, ia memang sering menggunakan kemampuannya untuk merasuki tubuh orang lain dan mencuri atau bahkan merampok uang. Meski ia pikir apa yang ia lakukan sudah tergolong sempurna hingga tak ada yang menyadari, tapi hari sial tak tertera di dalam kalender. Ia bisa saja tertangkap basah kapanpun dan sudah pasti akan dihukum mati.
Zack sudah menghilang entah ke mana. Dexa yakin jika Zack keluar dari pintu khusus untuknya. Tapi Dexa tak peduli. Ia harus mengenal satu persatu dari mereka. Tapi pasti akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
"Dexa Azitro, namamu seperti nama obat. Antibiotik dan anti peradangan. Hm, kurasa ada hubungannya dengan keberadaanmu di sini."
Sena berceloteh tanpa menatap Dexa sedikitpun.
"Memangnya apa?"
Sena tersenyum. "Antibiotik, sebuah senyawa antimikroba untuk menekan terjadinya infeksi atau bahkan mencegahnya. Mungkin dengan kehadiranmu bersama kami, membuat kami lebih lengkap. Bahkan lebih kuat."
"Bukankah Levo juga salah satu nama yang mirip dengan antibiotik?" Dengan polos Dexa menyangkal ucapan Sena. Masih tak terima mungkin dianggap sebagai anggota yang juga tak kalah penting. Padahal ia sadar, kemampuannya tak sehandal yang lain.
"Itulah baiknya. Kalau satu saja bisa mengatasi infeksi di negeri ini, bagaimana kalau ada dua? Sudah pasti akan sangat manjur."
Terkadang otak cerdas Sena membuat Nezi hampir melepaskan tawa. Tapi sekuat tenaga Nezi menahannya. "Kau terlalu memaksa, Sen. Sana ... kembalilah ke meja kerjamu. Biarkan saja dia." Nezi menyela percakapan antara Sena dan Dexa.
Sena cemberut. "Kau mengganggu saja." Dengan langkah kesal, Sena pun kembali ke meja kerjanya.
Setelah Sena pergi dari sofa, Nezi duduk di sana sembari membawa sebuah buku. Dexa kembali diam dan meratapi nasibnya.
Selang beberapa saat, Dexa tertarik dengan beberapa lukisan yang tertempel di dinding belakang meja kebesaran Levo. Langkahnya terangkat. Matanya berkelana menjelajahi satu demi satu lukisan yang tak bisa dikatakan abstrak tapi ia juga tak paham apa bentuknya.
Di sudut kanan bawah, ada sebuah tanda tangan. "Nezi Lee?" gumamnya. Sontak ia langsung menatap ke arah Nezi.
"Apa?"
Ternyata sedari tadi Nezi mengawasinya. Tatapan datar itu tak digubris oleh Dexa. Karena sudah terbiasa.
"Ini lukisan milikmu?"
"Ya! Nezi adalah pelukis handal pada masanya." Dengan semangat Sena menjawab pertanyaan yang tak tertuju untuknya.
Nezi hanya diam membisu.
"Wah! Aku sudah mengira bahwa kau bisa membuat karya luar biasa seperti ini." Dexa terkagum. Ia seolah melupakan tekanan batin yang sedang ia alami. Lukisan Nezi membuat perasaannya menjadi lebih tenang. Seolah mengandung hipnotis yang mententramkan jiwa.
"Setiap lukisan pasti ada maknanya. Apa makna dari lukisan-lukisan ini?"
Nezi terdiam mendengar pertanyaan itu. Sedangkan Sena juga tak mampu menjawabnya. Bukan haknya untuk menjelaskan. Dexa pun sadar, pertanyaannya mengandung sebuah kesalahan.
***
Mea berjalan menyurusi jalanan kota yang riuh dengan masyarakat berlalu lalang. Sesekali ia menendang kerikil kecil karena bosan. Tak ada tempat yang ia tuju. Seperti biasa, mendadak ia terserang rasa rindu.
Sebuah bangku kosong memikat perhatiannya. Langkahnya dipercepat agar bangku itu tak diduduki oleh orang lain. Hingga ia mendapatkannya, ia duduk di tengah bangku. Arti bahwa bangku itu adalah miliknya seorang. Tak ada yang boleh duduk di sana, selama ia belum pergi.
Hoodie putih keabuan yang melekat di tubuhnya terasa menghangatkan. Udara di luar ternyata sedang dingin. Ia malas kembali ke markas karena melihat Dexa membuatnya ingin terus berkata kasar. Entah mengapa, kelambanan Dexa mengingatkannya dengan seseorang yang telah pergi. Begitu menyebalkan.
Kling
Sebuah dering nada pesan terdengar. Sontak tangannya merogoh ke saku dan melihatnya.
* Levo : Arah jarum jam dua belas *
Dengan malas, Mea melirik ke arah jarum jam dua belas. Ada seorang yang sangat ia kenal di sana. Di sebuah gang sempit penuh tong sampah yang hampir penuh. Entah di mana para tukang angkut sampah harian itu. Mereka pasti sedang bermalas-malasan di hari yang dingin ini.
Langkahnya terangkat dengan terpaksa. Menuju ke tempat kumuh yang disingkiri para masyarakat umum. Sesampainya di sana, Levo langsung menggenggam tangannya dan hilang.
Mea telah sampai di apartemen milik Levo. Seperti kejapan mata, itu menyenangkan. Tak membutuhkan banyak tenaga. Tapi yang Mea herankan, mengapa Levo tak pernah mengajak anggota Blackhole ke luar negeri untuk melarikan diri. Pertanyaan itu juga sering dilontarkan Mea ke Levo. Tapi jawabannya sungguh di luar. dugaan. Levo bilang, tak ada gunanya melarikan diri. Karena jejak pembunuhan akan terus menyisakan kenangan. Tapi sebenarnya bukan itu yang dimaksud Mea. Mea tau jejak pembunuhan memang takkan pernah hilang. Tapi bukannya sejak awal mereka memang sengaja meninggalkan jejak? Mea hanya ingin Levo mengajak mereka berkeliling dunia untuk refreshing.
"Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku."
"Wow, kau masih membutuhkanku?" sindir Mea setelah di markas tadi Levo menolak pengajuan dirinya.
Levo terkekeh sekilas. "Tentu. Kau terlalu sempurna, Mea. Nezi sampai menggilaimu."
"Cih, apa yang harus kulakukan?"
Mea melihat sebuah amplop cokelat di genggaman Levo. Sepertinya segepok uang. "Berikan ini pada penagih hutang Dexa."
"Kenapa harus aku?"
"Karena mereka tau, Dexa memiliki kemampuan unik."
Mea tersenyum miring penuh arti. "Begitu ya."
***
"Seperti biasa." Zack menaik-turunkan alisnya kepada seorang gadis yang berjaga di pemesanan.
"Sudah, tunggu dulu. Sana duduk. Jangan ganggu pengunjung lain." Dengan kenal, gadis itu menyuruh Zack untuk menunggu.
Fany, gadis yang berdiri di bar pemesanan itu sibuk dengan pelanggan selanjutnya. Sedangkan Zack terus menatapnya dengan tatapan penuh arti. Merasa tak nyaman, Fany langsung menyeret temannya yang lain untuk menggantikannya sebentar di bar pemesanan.
Setelah itu, Fany menghampiri Zack dan menarik tangan Zack masuk ke sebuah ruangan. Ruangan pribadinya. Ya, Fany adalah pemilik kafe kecil yang menjual makanan hits untuk para remaja di kota.
"Mau apa kau?" Fany tau jika Zack menatapnya seperti itu untuk meminta bantuan.
"Emh, kau sangat peka, Fan."
"Cepatlah. Pelanggan sedang ramai hari ini. Aku harus membantu teman-teman yang bekerja untukku."
Zack memainkan jemarinya. Kemudian mengetuk-ketuk dagunya seolah sedang berpikir. Padahal Zack hanya ingin membuat waktu terulur sedikit lama.
"Ayolah, Zack!" geram Fany.
"Oke, oke. Dengarkan aku baik-baik."
Fany terdiam. Tak lama kemudian, Zack mendaratkan sebuah kecupan sekilas di bibir Fany.
"Hei!" Fany terkejut dan langsung memundurkan dirinya. "Sialan."
Zack terbahak. "Hanya kecupan kecil. Tak perlu berekspresi berlebihan."
"Menyebalkan!"
Hampir saja Fany keluar dari ruangan, Zack menahan tangannya. Sontak Zack menariknya hingga jatuh ke pelukan d**a bidang milik Zack. "Katakan padaku, apa kau pernah bertemu dengan Andrew?"
Fany terdiam. "Andrew?"
"Jangan pura-pura kau tidak mengenalnya. Aku tau, kau sangat mengenal sosok Andrew."
Fany mendorong tubuh Zack hingga menjauh darinya. "Aku tidak mengenal Andrew sedekat yang kau pikirkan. Dia hanya mampir untuk melihat menu spesial ku yang sempat viral. Setelah itu, dia pergi."
Zack menjentikkan jemari dan keluarlah sebuah kobaran api kecil di telapak tangannya.
Fany terkejut melihat itu. Matanya membulat dan tak mampu berkata apa-apa. Ia sudah mengen Zack begitu lama. Saat pertama kali masuk kuliah hingga sekarang. Tapi ia belum pernah melihat Zack mampu melakukannya.
"Kau ... pyrokinesis?"
Zack melenyapkan api dari tangannya. "Berhubung kau sudah tau, aku takkan melepaskanmu. Sekali kau menyebarkan keunikanku, kedaimu hanya akan tinggal abu."
"Jadi, kau mengancamku?" Meski gemetaran, Fany masih sempat mendesak kesal.
"Tidak. Aku hanya memberimu peringatan."
Fany mendengkus pelan. "Apa yang harus kulakukan?"
Zack berhasil.
***
Segepok uang yang ada di dalam amplop cokelat itu sudah ada di tangannya. Levo juga sudah mengantarnya ke tempat yang dekat dengan para penagih hutang itu berkumpul. Tak lebih dari lima orang.
"Berhati-hatilah."
"Serahkan saja padaku."
Kecantikan Mea memang di luar akal. Polesan make up yang tak begitu tebal membuat wajahnya terkesan cantik natural. Rambut pirang kecokelatan yang tergerai indah diamuk lembut oleh angin yang berlalu. Manik mata kebiruan itu juga membuatnya makin terlihat menawan.
Dengan sengaja, Mea berjalan berlenggak-lenggok melewati empat orang bertubuh kekar yang asyik berjudi di depan markas mereka.
"Pwiuwit," cuit salah seorang penagih hutang. Targetnya masuk umpan.
Mea berhenti. Melirik dengan sedikit seringai nakal menghiasi bibirnya. Tak lama kemudian, ketiga penagih hutang lain ikut teralih menatap Mea.
"Hei, gadis. Mau ke mana kau? Di sana jalan buntu." Salah satu penagih menegur Mea. Sosok itu bangkit dari duduknya dan membenahi bajunya.
"Ah, ya. Memang jalan buntu." Mea mendekatkan diri ke meja judi. "Aku ingin bertemu dengan kalian."
Seperti seekor kelinci yang sedang merayu empat singa kelaparan. Mea tersenyum menggoda.
"Kau salah tempat, Nona."
Seorang penagih hutang bergegas ingin menangkap Mea. Namun, seperti angin, Mwa menghilang tanpa jejak. Jelas hal itu membuat mereka keheranan. Hanya tertinggal sebuah amplop cokelat di sana. Berisi segepok uang yang entah berapa jumlahnya. Tapi sudah dipastikan, hutang Dexa beserta bunganya sudah lunas.
Menyadari bahwa Mea bukan manusia biasa, keempat penagih hutang itu tergugup saling pandang.
"Kalian sudah tau siapa aku, kan?" Mea mengerlingkan salah satu matanya disertai sebuah seringai di bibir.
"Siapa kau?"
"Aku Mea ... Salah satu anggota Blackhole."
***