Dexa mengernyit. "Lalu?"
"Kau bilang ingin tau letak tempat kita kan?" Meski Levo tak meminta Nezi menjelaskan, tapi kalimat itu sudah sangat familiar untuk Nezi.
Nezi hanya memandang malas ke arah Levo. "Aku sedang malas, Lev."
Ucapan Nezi jelas membuat Levo melirik sosok itu. "Berdamailah. Kalian akan saling menguntungkan suatu saat nanti."
Mendapat tatapan tak ramah dari Nezi, Dexa tak kaget. Sudah sejak pertama, Nezi terlalu menyebalkan. Meski sikapnya tenang, dingin, tapi mulutnya pedas seperti kilatan api menyambar.
Dexa tak peduli jika Nezi memang tak mau memberitahu letak markas Blackhole. Toh jika dirinya tak tau di mana markas Blackhole, ia bisa kapan saja melarikan diri. Ah, ya. Dia memang masih ragu untuk bergabung. Jika ada kesempatan melarikan diri, ia akan melakukannya.
"Jadi, kau tak mau memberitahu tempat kita padanya?" Levo melunak. Ia duduk di sisi Dexa sembari memaku tatapan pada Nezi yang masih berdiri.
Levo tau, Nezi memang dingin dan sangat cuek dibanding yang lain. Tapi hatinya begitu lembut dan mudah dipengaruhi. Dengan sikap lunak yang tak terlihat memaksa, Levo selalu berhasil membuat Nezi menurutinya. Jangan heran, Nezi melunak pada Levo bukan karena takut. Melainkan karena Nezi menghargai sosok Levo sebagai penyelamatnya.
"Baiklah jika kau tak mau. Aku takkan memaksa."
Nezi masih terdiam. Matanya menatap ke arah lain. Sedangkan Dexa juga terdiam, tak ikut membantu Levo untuk meluluhkan hati Nezi. Tak ada untung untuknya juga.
Tak lama kemudian, Nezi terdengar menghela napas berat. Levo tersenyum. Artinya, Nezi telah berhasil ia lunakkan.
"Apa kau punya ponsel?" tanyanya pada Dexa. Jelas jawabannya adalah gelengan. Bagi Dexa, ponsel itu tak ada gunanya. Hanya merepotkan. Sebab, jika ia menggunakan ponsel, sudah pasti si penagih hutang sangat mudah untuk menghubunginya. Jika ia tak punya ponsel, akan banyak alasan untuk menghindar. "Apa yang kau punya, hah?" Nezi mulai kesal.
"Hei, tenanglah. Kau bisa lihat kondisi kontrakannya, kan? Seharusnya kau paham mengapa dia tak menggunakan ponsel."
Dexa mendelik kesal mendengar ucapan Levo. Tak ada bedanya dengan Nezi, sosok itu diam-diam menyebalkan dengan kalimat menohoknya.
"Ah, kau benar juga." Tak kalah pedas, Nezi menanggapi dengan santai.
"Sialan. Apa aku ada untuk bahan hinaan kalian?" Dexa mencibir. Sedangkan Levo hanya terkekeh pelan.
"Lalu bagaimana sekarang?" tanya Nezi dengan wajah datarnya.
Levo merogoh sakunya. Ia mengeluarkan sebuah ponsel keluaran terbaru dan disodorkan ke arah Nezi. "Pakai ponselku dulu."
Tak ada jawaban apapun, Nezi langsung mengambil ponsel Levo dan menggunakannya.
"Kau mau memberiku tahu letak tempat kita dengan bantuan maps online?" celetuk Dexa sok tahu.
Nezi tak menggubris. Sosok itu sibuk mencari sesuatu dari ponsel Levo. Dexa melihat Nezi sedang berbuat sesuatu dengan ponsel itu. Jemarinya lincah mencoret sana sini. Entah apa yang Nezi lakukan, Dexa tak berani mengintip. Jangankan mengintip, melihat Nezi saja rasanya merinding sekujur tubuh. Setelah beberapa saat, Nezi memperlihatkan sesuatu pada Dexa.
Sebuah sketsa.
Dexa mengernyit. Tak paham dengan maksud Nezi. Sebuah sketsa itu seperti tempat yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Tapi yang ia pikirkan adalah ... sketsa tangan Nezi sungguh di luar nalar. Sangat bagus dan detail.
"Apa yang kau pikirkan?" Melihat wajah Dexa yang diam dengan mata berbinar membuat Levo terheran.
"Aku terkagum. Kau pandai melukis?" Tanpa ragu, Dexa mencetuskan yang ada dalam pikirannya pada Nezi.
Nezi mendengkus. "Jangan salah fokus!"
"Hei, aku memberimu apresiasi. Kenapa kau malah menyebalkan, huh?"
Levo terbahak. "Sudah, sudah. Kau ada benarnya, Dex. Nezi ini adalah seorang pelukis."
"Mantan." Nezi meralat.
"Ah, ya, mantan pelukis. Jadi, jangan heran dengan sketsanya yang luar biasa." Levo pun bangga melihat sketsa milik Nezi.
Dexa mengangguk paham. Kemudian ia memfokuskan pikiran. Menelaah tempat apa yang menjadi sketsa Nezi. Tapi ia tak kunjung mengerti.
"Ini tempat kita?"
"Ya."
Dexa kembali terdiam. Berpikir amat keras. "Aku tak tahu. Terlalu banyak bangunan di sana." Begitulah pada akhirnya.
Levo dan Nezi menghela napas pelan. "Nezi, jelaskan padanya."
"Kenapa harus aku?" Nezi seolah tak terima jika harus berbicara panjang lebar dengan Dexa. Wajar saja, bukan hanya pada Dexa, tapi pada siapapun itu, Nezi malas menjelaskan panjang lebar. Seolah kosa katanya hanya secuil dan butuh ringkasan vocabulary yang lebih banyak lagi.
Levo hanya tersenyum. Tak mengucapkan sepatah katapun.
"Hei, kau. Dengarkan aku baik-baik karena aku takkan mengulang untuk kedua kali."
Dexa mengangguk.
"Kau benar. Ini adalah sketsa tempat kita. Aku sengaja membuat sebuah sketsa asal-asalan agar tak ada yang mengerti selain aku, kau, dan Levo."
"Sketsa asal-asalan saja sebagus itu. Aku tak bisa membayangkan sebagus apa sketsa yang kau buat dengan sungguh-sungguh." Dexa masih tak mampu menahan kekagumannya.
"Jangan bicara sebelum aku selesai bicara."
Dexa memutar bola matanya malas. Sedangkan Levo sedari tadi hanya terkekeh.
"Kau juga diam, Lev."
Alhasil, Levo juga kena cibiran dari Nezi.
"Seperti yang kau lihat, tempat kita tak jauh dari pemukiman masyarakat." Nezi menyodorkan sketsanya lagi. Jemarinya menunjuk beberapa bangunan kecil di sana. Bangunan itu dianggap sebagai pemukiman masyarakat.
Di sana juga tergambar gedung-gedung bertingkat yang memang tak asing. Tapi Dexa melihatnya sangat asing. Mungkin karena ia hanya bisa berkeliaran di daerah kontrakan dan pinggiran ibu kota untuk mencari makan. Pernah sekali ia masuk ke tengah ibukota, ia bertemu dengan sosok menyebalkan dan menjerumuskannya ke organisasi gelap. Sebut saja dia Levo.
"Tapi ... di mana tempat kita? Aku hanya melihat gedung-gedung di sketsa ini."
"Kubilang diam dulu, kan?"
Dexa mengangguk dan langsung mengatupkan mulutnya.
"Tempat kita berada di bawah sini." Nezi menunjuk sebuah titik merah. Ada sebuah titik di bawah gedung-gedung bertingkat itu.
"Hah?"
"Gedung yang kau lihat ada sederet perusahaan yang terkenal di ibukota. Pemiliki masing-masing gedung punya lahan yang cukup luas hingga takkan ada yang menyadari jika ternyata tempat kita ada di sana."
Ada banyak pertanyaan di benak Dexa, namun ditahan mati-matian.
"Lebih tepatnya, kita ada di ruang bawah tanah rahasia yang kami bangun sendiri."
"Tunggu. Bagaimana bisa?"
Nezi terdiam. Melihat ekspresi Nezi, Dexa langsung menutup mulutnya lagi.
"Tentu bisa. Perusahaan yang kau lihat ini adalah perusahaan milik Levo."
Sontak Dexa langsung menatap Levo. Ingin rasanya ia bertanya lagi. Tapi tatapan Nezi menusuknya.
"Perusahaan ini adalah perusahaan Levo. Namun, yang menjalankan bukan Levo. Levo memilih menjadi karyawan biasa di perusahaannya sendiri. Meski mereka tahu jika Levo adalah pemilik. Jadi, Levo bisa berkuasa atas perusahaan itu. Meski bangunan ruang bawah tanah ini masih ilegal dan tidak diketahui oleh pemerintah."
"Berarti ada orang yang tau kalau bangunan itu ada? Jelas tak mungkin jika ruang bawah itu tiba-tiba muncul sendiri secara ajaib atau hanya kau dan Levo yang membangunnya kan?"
"Ada, tapi mereka sudah mati." Levo menyambar.
Dexa menelan ludahnya susah payah. "Kalian ... membunuh mereka?"
Levo terbahak. "Tentu saja."
"Kau?!" Dexa mulai geram.
"Tentu saja tidak, Bodoh!" sambar Nezi.
"Aku hanya bercanda, Dex." Levo terkekeh.
"Leluconmu mengerikan." Tak bisa disangkak, bulu kuduknya sudah berdiri ngeri. "Lalu ke mana para pembangun itu?"
"Mereka menjadi mata-mata kita, tangan kanan kita, dan anak buah kita."
"Mereka tau jika kita pembunuh?"
Levo mengangguk. "Meski terdengar keji, kami menjamin hidup mereka berakhir jika identitas Blackhole terbongkar."
Dexa mengangguk paham dengan mulutnya yang membulat. "Aku tak heran, kalian memang keji," gumamnya sepelan mungkin.
"Jadi, kau sudah paham, kan?" tanya Levo sembari mengambil ponselnya kembali.
"Ya, lumayan paham. Tapi kau lupa memberiku arahan cara masuk ke tempat kita."
"Gampang."
"Gampang?"
Levo kembali memperlihatkan sketsa milik Nezi. Ia menunjuk bangunan kecil di sisi perusahaan. "Ini adalah toilet umum. Masuklah ke sana."
"Lalu?"
"Pilihlah toilet pria paling kanan, tekan keramik dinding kiri. Maka dinding kananmu akan terbuka memperlihatkan lift sederhana dan segeralah masuk."
"Rumit. Tak ada jalan lain?" Dexa membayangkan dengan malas.
"Ada."
"Benarkah?"
Levo mengangkat alisnya. "Teleportasi."
"Kau meledekku?"
Levo terbahak sekilas. "Tidak ada. Hanya itu cara kau bisa ke sana seorang diri. Tapi jika aku membutuhkan kalian cepat, aku yang akan mengambil kalian untuk datang."
"Aku menunggumu saja."
"Cih, dasar manja." Nezi mencibir tanpa peduli balasan Dexa.
"Hei, aku menyelamatkan kalian. Bagaimana jika banyak yang curiga kalau aku atau kau sering menggunakan toilet untuk ke tempat kita? Bisa berbahaya kau tau!"
Nezi tersenyum miring. "Bodoh. Kita memiliki cara yang berbeda untuk pergi ke sana. Kau pikir Mea dan Sena juga masuk ke toilet pria?"
Dexa terdiam. Mereka bukan hanya mengerikan sebagai kelompok pembunuh. Tapi mereka juga licik dan rumit.
"Mea, Sena, Zack, Nezi, bahkan aku ... memiliki akses yang berbeda untuk masuk ke tempat kita. Tapi tak usah dipikirkan. Takkan ada yang mencurigaimu yang selalu keluar masuk toilet umum."
Benar juga memang. Apalagi masyarakat di kota itu sangat acuh tak acuh. Bahkan terkesan mati rasa dan tak memiliki jiwa sosial.
Dexa pernah melihat ada sebuah kecelakaan. Korbannya terluka parah. Akan tetapi, penabrak lari dan tak ada yang peduli. Mungkin hanya satu atau dua orang yang berani membantu korban itu. Bukan Dexa tentunya. Sebab, masyarakat di sana berpikir, lebih baik diam daripada bertindak benar tapi tetap dianggap salah. Ingin mengatakan mereka tak punya hati, tapi Dexa tak bisa. Hidup itu keras. Manusia berhati baik akan selalu tertindas. Begitulah asumsi para masyarakat di sana. Dexa mengetahui itu saat ia kehilangan dua orang yang sangat ia sayangi.
"Kalau kau sudah paham. Kita akan masuk ke misi pertamamu."
Dexa terperajat. "Apa? Misi pertama apa maksudmu?"
Levo hanya tersenyum. Sosok itu memberi Dexa sebuah foto. "Dia target kita untuk misi kali ini."
"Siapa dia?"
Nezi menepuk jidatnya sendiri.
"Kau tak mengenalnya?" tanya Levo memastikan.
Dexa menggeleng.
"Kurasa kau lebih tepat hidup di hutan. Hidupmu akan kujamin bahagia di sana."
"Leluconmu tidak lucu, Lev."
"Sayangnya aku tidak sedang melucu, Dex."
Dexa mendengkus.
"Kau benar-benar tak mengenalnya?" Nezi juga sedikit heran dengan Dexa yang tak tahu apa yang dimengerti Dexa selain mencuri dan makan.
"Hm? Kurasa dia orang jahat."
Levo terbahak. "Dia orang terhormat. Orang penting. Dan juga, orang keji."
"Waw."
"Bendahara negara. Andrew Benedict."
***
Dalam sekejap, Levo berhasil membawa Dexa dan Nezi sekaligus ke markas mereka kembali. Dexa menganggap Levo sangat suka membuang-buang tenaga. Buktinya, Levi bisa membicarakan soal markas rahasia mereka di markas. Tapi Levo mengajaknya pulang ke kontrakan terlebih dulu. Lalu membawanya ke markas lagi. Sangat tak efektif.
Baru saja Levo duduk di kursi kebesarannya, tatapan itu mulai serius. Seisi ruangan terdiam dan seolah rapat penting akan segera dimulai.
"Dex, kau tau alasanku membawamu pang terlebih dulu?"
Nah, seolah Levo tak hanya mampu berteleportasi, Levo juga bisa membaca pikiran seseorang. Ngeri.
Dexa hanya menggeleng.
"Karena aku tau kau akan menanyakan tentang keberadaan markas ini."
"Lalu? Kau bisa menceritakannya padaku di sini, kan? Kenapa kau suka membuang energimu?"
Levo terkekeh. Meski sekilas dan wajahnya kembali serius. "Karena teman bisa menjadi musuhmu kapan saja."
"Apa maksudmu?"
"Kita memang sudah menjadi satu lewat cairan penyatu milik Sena. Akan tetapi, seseorang punya hasrat ingin membunuh temannya setiap saat. Kau harus ingat, kami semua adalah pembunuh. Kau pun sama. Mengapa aku membawamu pulang untuk menjelaskan cara kau masuk ke sini, agar teman-temanmu tak ada yang tau dari mana kau datang." Dexa mengabsen satu persatu anggota Blackhole.
"Tapi ... Nezi?" Dexa melirik Nezi yang selalu berpose sama—bersandar di tembok sambil melipat tangan di d**a dan tatapan kosong yang dingin.
"Terkecuali Nezi."
"Kenapa kau mengistimewakannya?"
"Karena Nezi takkan bisa pergi jika bukan denganku. Dia adalah buronan. Jadi, Nezi takkan keluar dari sini. Dia ... juga tak mungkin membunuh salah satu di antara kita."
"Bagaimana kau sangat mempercayainya? Sedangkan kau tak percaya padaku atau yang lain?" Dexa masih tak terima jika hanya Nezi yang diistimewakan.
Levo menghela napas. Dexa memang payah, pemalas, namun otaknya jeli dan sangat kritis.
"Kenapa kau banyak bicara, Anak Baru?" Zack tak sanggup lagi mendengar percakapan yang menurutnya tak penting itu. Sedangkan Sena sibuk meracik ramuan baru dan tak peduli. Begitupun dengan Mea yang hanya duduk menikmati snack seperti menonton acara debat pemilihan presiden.
"Tak ada yang bisa kau percaya selain dirimu sendiri. Singkatnya seperti itu." Sembari meracik ramuan barunya, Sena menengahi percakapan yang terjadi.
Dexa melirik ke gadis berjas putih itu. Ia mulai mencernanya. Memang benar, tak ada yang bisa dipercaya selain diri sendiri.
"Tapi ... meski begitu, kau harus menanam secuil kepercayaan pada kelompokmu di misi yang akan kita jalankan."
Dexa kembali mengalihkan pandangannya pada Levo yang duduk bersandar di kursi kebesaran.
"Jadi, aku harus berwaspada meski aku juga harus percaya pada kalian?"
"Betul."
"Kalian begitu rumit." Alhasil, Dexa menyerah. Ia tak ingin memperpanjang kerumitan. Sebab, otaknya akan meletup jika menuruti kekritisannya.
"Sudahi percakapan tak penting ini." Nezi bergerak dari tempatnya. "Lev, tentukan kapan misi kita dimulai."
"Waw! Waw! Aku tak sabar ingin membakarnya!" Dengan penuh semangat, Zack mengeluarkan api dari telapak tangannya.
Hal itu membuat Dexa mundur. Ia sudah tak mau lagi dibakar dengan api itu seperti saat Zack membakar kaosnya.
"Jangan terlalu bersemangat, Zack! Kau bisa membakar ruangan ini!" Mea mencekal sikap Zack dengan melempar sisa snacknya ke arah Zack.
Zack hanya terkekeh dan meredupkan apinya.
"Kau juga bisa meledakkan beberapa cairan ku jika kau menggunakan apimu terus, Zack!" Sena juga tak membiarkan Zack bermain-main dengan apinya.
"Oke, oke. Aku diam." Zack menyembunyikan tangannya ke dalam saku jaket. Wajahnya tertekuk dan membuat Levo terkekeh melihatnya.
"Lagipula, aku takkan membiarkanmu membakar hidup-hidup target kita sampai kapanpun, Zack. Itu terlalu menyiksa." Zack mendengkus mendengar pernyataan Levo. Levo tak pernah berpikir bahwa menghabisi target dengan membuat mereka menghirup gas Sarin adalah akhir hidup yang lebih menyakitkan.
"Jadi, apa yang sudah Andrew lakukan?" tanya Mea penasaran.
"Dia masih target. Ada hal mencurigakan yang dilaporkan oleh salah seorang mata-mata kita. Tapi ... lebih detailnya belum tau."
Mea dan Zack mendesah kecewa. Sena hanya diam cuek sembari melanjutkan eksperimennya. Nezi terdiam seperti biasa. Sedangkan Dexa bingung harus berekspresi seperti apa.
"Apa aku harus turun tangan, Lev?" Mea mengajukan diri. Gadis itu tampak tak sabar ingin menangkap target.
"Tak perlu."
"Lalu?" Mea mengernyit heran. Biasanya Levo selalu mengajukan dirinya untuk mencari informasi. Karena dirinya bisa menghilang dan dengan mudah menyelundup ke sebuah tempat.
"Biarkan Dexa yang mencari informasi."
Dexa yang baru saja ingin mendaratkan pantatnya ke sofa langsung berjingkat seketika. "Apa? Aku?"
***