25

2051 Kata
"Racun? Hah! Racuni saja. Kalau aku mati kalian juga takkan bisa mendapatkan informasi apapun dariku." Levo tersenyum miring. Sosok yang ada di depannya sedang menggertak karena takut. Terlihat jelas di matanya. Andrew takut mati. "Kalau kau mati, hartamu akan sia-sia. Emh, apa aku harus mengambilnya dan membagikannya pada orang-orang tidak mampu yang menderita karenamu?" Wajah Andrew makin memerah. Kesal dan kesal. Hanya itu. Tapi Levo akui, pertahanan Andrew untuk tidak marah dan mengungkap semua kesalahannya cukup bebal. Tapi Levo tak berhenti begitu saja. Ia akan tetap memancing Andrew untuk mengatakan semuanya secara sadar dan gamblang. Sebenarnya, sejak tadi mereka merekam diri mereka. Jelas Andrew tak menyadari itu. Rekaman itu bukan sebuah kamera yang terpasang secara nyata. Melainkan kamera tersembunyi. Kamera itu ada pada sebuah bulpen yang ada di saku Levo. Sudah dipastikan kamera itu akan merekam wajah serta suara Andrew. Jika Andrew takkan mengatakannya secara sadar, maka Levo akan kembali ke markas untuk mengambil cairan. Ia melupakan cairan itu saat pikirannya berantakan karena Dexa. "Oh, ya. Bagaimana kalau hak warisanmu jatuh pada istrimu?" Mata Andrew terbelalak lebar. Seolah sangat tak rela jika semua harta jatuh ke tangan istri. Padahal mereka menikah. Seharusnya bisa saling mencintai dan berbagi. Tapi Andrew seolah tak memiliki perasaan itu. "Tidak akan! Perempuan jalang itu takkan menerima uang sepeserpun dariku!" Amarah Andrew memuncak saat Levo menyebut tentang istrinya. Levo semakin penasaran dengan apa yang terjadi. Pasti istri Andrew melakukan kesalahan hingga membuat Andrew seperti sekarang. Atau mungkin, Andrew memang tak mencintai istrinya meski istrinya berhati baik. "Baiklah, coba kutanya, mengapa kau semarah ini saat aku mengatakan hartamu untuk istrimu?" Andrew melengos kesal. Tak ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada Levo. "Kau tak perlu tau. Ini urusanku." "Oh, aku tau. Apa istrimu berselingkuh?" Andrew menatap Levo dengan geram. "Jangan menebak-nebak!" Melihat ekspresi Andrew yang berubah total. Dari yang menahan hingga merah padam, sepertinya Andrew benar-benar membenci istrinya sendiri. "Ah, atau kau punya dua istri hingga kau takut istri mudamu marah?" Sebenarnya cara menggertak Levo terlihat tidak berbobot di mata Dexa, tapi pasti ada niat terselubung untuk memastikan sesuatu. Dexa ingat, jika Zack pernah mendapat informasi kalau Andrew punya dua istri. Grizell dan Luna. Akan tetapi, semua itu belum terbukti adanya. Karena di catatan kependudukan, hanya tertulis nama Grizell. Sedangkan nama Luna, muncul dari mulut Levo jika Luna adalah sekretaris lama Andrew dan meninggal beberapa tahun lalu. "Cukup!" Andrew melotot marah pada Levo. "Jangan ungkit apapun lagi tentang istriku!" Levo tersenyum tipis. "Dexa, kita kembali ke tempat." Setelah itu Levo menyentuh bahu Dexa. Dan mereka pun menghilang dalam sekejap. Jika dalam sekejap Levo dan Dexa menghilang dari mata Andrew, mereka juga dalam sekejap muncul di depan mata Nezi dan Sena. Tak terlihat ada Mea dan Zack di sana. Sepertinya masih belum kembali. "Kau mau mengambil cairannya?" tanya Sena dengan santai. Gadis itu melihat ke arah meja kebesaran Levo dan di sana ada sebuah cairan dalam botol kecil. Cukup dimasukkan ke dalam minuman, lalu korban meminumnya dan tubuhnya akan bereaksi. "Ya, aku berniat mengambil cairan itu. Tapi aku juga ingin meminta pendapat kalian." Dexa duduk di sebelah Nezi. Sosok itu melirik sekilas. Penuh pertanyaan. Terutama tentang mengapa Dexa dibawa ke makam Moza. Hanya itu yang sangat dan sangat ingin Nezi tau. Akan tetapi waktunya kurang tepat. Kemungkinan setelah semua usai, Nezi akan menanyakan hal itu pada Dexa. "Pendapat apa?" tanya Sena pada Levo yang duduk di kursi kebesarannya. Sena memutar kursi putar nyamannya itu dengan bersandar di punggung kursi. Terlihat santai setelah meracik cairan dengan begitu teliti. "Tentang istri Andrew. Sesuai dengan tebakanku, sepertinya Andrew sudah berbuat hal buruk pada Grizell. Kau tau kan jika Andrew sangat jarang bersama istrinya ketika pertemuan atau apapun itu. Di layar televisi, ia sering muncul sendirian." "Ya, itu semenjak Samantha meninggal. Grizell mengundurkan diri dari jabatannya di organisasi wanita-wanita apalah itu kemudian digantikan posisinya oleh Kayla." Sena menyambar sesuai dengan apa yang ia tahu. "Kayla Brandenburg?" sahut Dexa sok tahu. Sena, Levo, dan Nezi melihat ke arah Dexa seketika. "Bukan. Itu kan bintang film dewasa." Sena menggeleng. "Oh, salah." "Kayla Latuconia." Levo membenarkan. Dexa hanya mengangguk paham. Terlalu malu untuk menjawab. Apalagi ia menyebut nama bintang film tak senonoh di negerinya. Padahal ia hanya asal sebut karena pernah mendengar seorang preman menjuluki gadis cantik nan sexy dengan sebutan nama itu. "Jadi, apa maksudmu sebenarnya, Lev?" tanya Sena mengalihkan pembicaraan kembali. "Aku hanya ingin memastikan jika istri Andrew, Grizell, sedang baik-baik saja." "Kau tinggal datang ke rumahnya." Sena memberi ide. "Dia tidak ada di rumah," sambar Nezi. Nezi memfokuskan pandangannya pada sesuatu. Sepertinya sedang melihat keadaan rumah Andrew. "Kau melihat di rumah Andrew yang baru atau yang di perumahan para dewan?" tanya Levo pada Nezi yang masih fokus. "Dua-duanya. Tapi tak ada di kedua rumah itu." Levo menjentikkan jemarinya. Jika istri Andrew tidak ada di kedua rumah tersebut. Hanya satu tebakan Levo. "Cek di rumah sakit jiwa daerah terdekat." "Kau yakin?" tanya Nezi pada Levo yang mengatakan tempat tujuan. Levo mengangguk yakin. "Aku yakin. Sangat yakin. Jika benar Grizell ada di sana. Aku akan langsung ke sana." "Baiklah. Aku akan melihatnya terlebih dulu." Beberapa saat, Nezi melihat beberapa rumah sakit jiwa yang terdekat. Terutama rumah sakit jiwa yang dulu pernah ia kunjungi setiap hari. Rumah sakit itu yang terbaik. Akan tetapi, Nezi tak melihat ada Grizell di sana. Kemudian, Nezi mencari ke rumah sakit jiwa yang ada di pelosok. Nezi juga pernah ke sana menemui psikiater yang lain. Meski kurang terkenal dan jarang disorot media, rumah sakit jiwa itu juga banyak dihuni. "Aku melihatnya." *** Levo tidak langsung pergi ke rumah sakit jiwa tujuannya. Ia memang berniat untuk mengetahui keadaan Grizell. Benar tebakannya, pasti Grizell mengetahui sesuatu dan Andrew takkan tinggal diam. Jika Dexa tak bisa menjadi saksi, sudah pasti Grizell bisa memberinya keyakinan dan kebenaran bahwa Andrew telah berbuat hal keji yang merugikan banyak orang. Termasuk pembunuhan dan korupsi. Karena negara tak bisa bersikap tegas, Blackhole yang akan bertindak. Ia berkunjung ke apartemen Mea. Pasti gadis itu pulang ke apartemen karena bosan di markas tak ada kegiatan apapun. Saat Levo sampai di sana, Levo melihat Mea sedang tertidur di ranjang. Gadis itu tampak kesepian dan kelelahan. Pasti sangat tak nyaman. Levo mendekat. Ia duduk di ranjang dan menghela napas. Melihat Mea yang tertidur cukup pulas tak membuat Levo tega untuk membangunkan gadis itu. Akan tetapi, Mea sangat ia butuhkan untuk sekarang. Setiap kali menatap wajah polos Mea yang tertidur pulas, Levo suka menyesal karena telah menyeret Mea ke dalam organisasinya. Gadis polos itu seharusnya hidup tenang tanpa beban. Apalagi beban yang gadis itu tanggung adalah menjadi seorang pembunuh sama sepertinya. Meskipun ia tak memaksa dan tak menawarkan akan membunuhnya jika ia menolak seperti ia mengancam Dexa, tapi Mea dengan senang hati bergabung dengan Blackhole. Mungkin karena Mea juga merasa bahwa apa yang dilakukan Blackhole adalah hal benar. Meski sebenarnya tak sepenuhnya benar dengan cara membunuh sebagai jalan terakhir. Mea adalah anak gadis semata wayang seorang pejabat negara. Ibunya adalah pebisnis ulung yang sukses. Mea selalu dipuja karena kecantikannya. Tapi keluarganya selalu tak memperbolehkan Mea menjadi model seperti apa yang Mea inginkan. Namun, orang tuanya ingin Mea menikah dengan salah satu konglomerat kenalan kedua orang tuanya. Jika tidak anak, maka juga akan menikah dengan seorang pria paruh baya dan sebagai istri kedua atau ke-seterusnya. Kedua orang tuan yang sudah memiliki rencana jahat itu membuat Mea memberontak. Kecantikannya tak lagi nyata bagi kedua orang tua Mea. Meski begitu, mereka tetap memaksa Mea dan akan menarget Mea berumur dua puluh untuk dinikahkan. Berhubung tahun ini tepatnya di akhir tahun Mea akan berumur tepat dua puluh tahun, Mea menjadi sangat frustasi. "Eurgh, Levo?" Levo menoleh pada sosok yang baru saja bangun dari tidurnya. Wajah cantiknya natural. Bahkan Levo akan jatuh cinta jika tidak mengingat kalau Nezi akan memusuhinya jika ia jatuh cinta pada Mea. "Hei, aku butuh bantuanmu. Tapi jika kau terlalu lelah, aku akan undur saja." Mea menggeleng. "Aku bosan. Makanya aku tidur. Jadi, kita mau ke mana?" Melihat Mea mengikat rambut, Levo mengalihkan pandangan. Terlalu indah untuk disaksikan. "Kita akan ke rumah sakit jiwa." "Hah? Untuk apa? Kau pikir aku gila?" Levo terkekeh. "Aku tidak mengatakan jika aku ingin mengantarmu ke sana. Tapi aku butuh bantuanmu." "Memangnya ada apa di sana? Ah, apa Andrew sudah tuntas?" tanya Mea. "Belum." "Kenapa kau suka menunda-nunda?" Mea melirik malas pada Levo. Levo terkekeh. "Aku tak menunda. Waktu kematiannya itu besok. Kau tau sendiri alurnya kan?" "Ya, ya, kita harus mengenalkan diri, bla bla bla hingga bla bla bla." Mea yang tak serius menjabarkan hanya membuat Levo terbahak. Memang benar, setelah mereka mendapatkan target, mereka akan melakukannya sesuai alur. Meski target yang tertuju memang sudah terbukti salah karena pengawasan Levo, tapi Levo juga harus memastikan jika di tempat eksekusi pertama, target akan mengatakan kejujuran tentang semua kesalahannya dan mengakui semua hal bodoh yang merugikan masyarakat tak bersalah. Jika target tak mau mengakui, maka Levo akan mencari bukti dari sumber lain untuk menekan si target. Setelah si target terpancing dan Levo sudah yakin benar tebakannya tak meleset, Levo akan membawa target itu ke lubang hitam. Tempat terakhir target. Meski tak mendapat pengakuan yang sebenarnya, tapi semua bukti yang ada dan benar, cukup membuat Levo lega. Karena ia tak mengakhiri hidup orang yang tak bersalah. "Jadi, kau sudah siap berangkat atau nanti saja?" tanya Levo. "Ayo, sekarang. Sebentar, aku harus pakai softlens dulu." Seperti biasa, Mea akan memakai softlens sebelum keluar untuk menyamar. Hanya dengan merubah warna mata, orang takkan mengenalinya sebagai Mea, anak seorang pejabat negara dan pebisnis bernama Freed Selen dan Julia Luna. Kemudian, setelah Mea selesai bersiap, Levo langsung mengajak Mea berpindah tempat ke rumah sakit jiwa tersebut. Levo sudah berancang-ancang akan mendarat di rumah sakit jiwa tersebut. Mereka akan mencari sosok bernama Grizell dan akan memastikan apa yang membuat Grizell bisa sampai di sana. Kemungkinan besar, Andrew memalsukan keberadaan Grizell sebenarnya pada publik. Bahkan juga menyuap pihak rumah sakit agar tidak mengatakan pada awak media jika Grizell menjadi pasien di sana. Sesampainya di tempat tujuan, Levo memberi arahan pada Mea untuk mencari informasi tentang kamar yang di tempati Grizell. Mereka berniat masuk secara diam-diam dan memastikan bahwa Grizell sedang dalam kondisi baik sehingga bisa diajak untuk berkomunikasi. Selama Mea masuk ke dalam rumah sakit bagian pendaftaran, Mea mencari nama Grizell di daftar pasien. Ada sebuah nama di sana. Nama Grizell dan sesuai dengan yang mereka cari. Setelah mendapatkan nomor kamar Grizell, Mea langsung keluar. Memberi tau Levo tentang nomor kamar Grizell. Rumah sakit jiwa juga tergolong ramai. Itulah mengapa Levo mengajak Mea. Agar Mea bisa mencari informasi dan mengawasi keadaan selama Levo akan berkomunikasi dengan Grizell. "Di dalam sangat ramai. Kamar yang dihuni oleh Grizell terlalu terbuka. Kau bisa dicurigai karena masuk secara tiba-tiba ke sana." Levo terdiam sesaat. Ia ingin menjadikan Mea sebagai pusat perhatian. Akan tetapi, Levo tak tega. "Kau tunggu sebentar." Tiba-tiba Levo menghilang. Mea tak tahu ke mana Levo pergi. Akan tetapi, pikirannya tiba-tiba tertuju pada orang yang mencolok. Mea terkekeh membayangkannya. Sesaat kemudian, Levo kembali bersama seseorang. Levo mencengkeram kerahasiaan baju sosok itu seperti induk kucing yang menggendong anak kucing. Ya, Levo datang dengan membawa Zack. "Aku kembali membawa santapan. Dia akan menjadi bagian dari perjalanan misi kali ini." "Sudah kuduga kau akan menjemputnya." "Hanya dia badut andalan kita." "Heiii!" Zack tak terima. Wajah Zack tampak kusut. Sepertinya Levo menjemput paksa sosok itu. Wajahnya juga tampak seperti bangun tidur. Mea berusaha menahan tawanya. Sedangkan Zack menatap Mea semakin kesal. "Zack, kau temani Mea untuk mengalihkan perhatian mereka." Levo memerintah tanpa peduli jika nyawa Zack belum sepenuhnya kembali. "Apa ini? Aku tidak tau apa urusanmu dan kau tiba-tiba menyuruhku. Orang gila? Kau yakin ingin aku mengambil perhatian mereka?" Zack protes dengan kesal. "Zack! Menurut saja!" Mea mencubit perut Zack dengan geram. "Ah! Kau menyebalkan." "Ini juga salah satu dari misi pelenyapan Andrew. Jangan membangkang." "Apa?! Kau juga masih belum menyingkirkannya?" Untung saja mereka berada di tempat sepi yang jauh dari telinga mendengar. Suara Zack yang meninggi membuat Mea langsung menutup mulut sosok itu. Zack menepisnya. "Ayo, Mea! Kita alihkan perhatian mereka!" "Ingat, Zack. Hanya mengalihkan perhatian. Bukan membakar gedung ini." Levo mengingatkan dengan terkekeh. "Aku tau itu." Pada akhirnya, Zack menarik Mea untuk masuk lewat pintu utama. Terdengarlah suara sorak sorai dari para orang di dalam saat Zack baru saja sampai. Pasti anak itu mengeluarkan jurus andalan. Bermain sirkus dan sulap. Levo tersenyum. Ini saatnya ia mengumpulkan bukti untuk memperkuat kematian Andrew. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN