24

2074 Kata
Keluar dari markas membuat Zack berjalan santai menikmati hari yang sangat terik. Ia berpikir ingin menemui Fany. Namun, percuma saja karena ia juga tak tahu menahu di mana Fany berada. Hingga ia berjalan terus tanpa berpikir dan bertemu dengan seseorang yang baru saja ia lihat di televisi. Zack tak sengaja menubruk bahu sosok itu dan ia hanya diam. "Maaf." Hanya itu yang diucapkan oleh Zack. Sedangkan sosok itu hanya terus berjalan dan tak peduli sambil menelepon seseorang. "Ah, Tuan Sok Sibuk." Zack tertawa kesal. Ia melihat setelan jas hitam ala pengacara kondang itu dengan kesal. Aura membunuh tanpa menyentuh keluar dari penampilan itu. "Menjijikkan." Zack kembali berjalan. Di saat Zack sibuk berjalan santai di luar markas Blackhole, Mea dan Sena sibuk bercakap dengan Nezi. Memantau keadaan Levo dan Dexa yang sedang menginterogasi Andrew. Tapi Nezi mengatakan jika Dexa dan Levo belum kembali ke tempat eksekusi pertama. Mereka masih bercakap entah tentang apa. Mungkin cara untuk membuat Andrew mengatakan semuanya. "Sepertinya mereka kesulitan membuat Andrew mengaku. Sena, apa menurutmu Levo menggunakan cairan kejujuran itu?" tanya Nezi heran. Sebab, Levo tak biasanya kesulitan membongkar rahasia seseorang. "Tidak. Saat dia kembali ke sini, dia meninggalkannya." Sena mengatakan sembari meracik cairannya. "Kau tidak mengingatkannya?" tanya Nezi heran. "Kurasa dia sengaja. Mungkin dia akan menggunakannya saat Andrew benar-benar sulit dibujuk dengan baik-baik." "Ah, Levo sangat suka mempermainkan korban kita. Argh! Aku frustasi. Aku ingin ke sanaaaa!" Mea merengek sembari merebahkan diri ke sofa. Nezi terkekeh melihatnya. Kemudian mendekati Mea dan duduk di sebelah Mea. "Sebentar lagi Levo pasti menjemput kita. Biasanya seperti itu kan, kita akan bersama mengubur korban kita dengan Gas Sarin dan menjadi saksi bahwa Andrew menyatakan kejahatannya." "Aku penasaran, Dexa tau tentang hal apa. Sepertinya Levo sangat penasaran hingga membawa Dexa pada Andrew." Mea mengelus dagunya sambil menatap langit-langit. "Samantha meninggal karena jatuh dari lantai dua. Tapi polisi menemukan luka pada kepala yang kemungkinan adalah luka pukul dari benda tumpul. Maka dari itu, pihak kepolisian menganggap bahwa kematian Samantha itu karena pembunuhan." Nezi mengulang memori berita yang sudah lama dilupakan itu. Padahal berita itu harusnya masih berlanjut. Sebab, pembunuh Samantha belum terungkap. "Lalu? Apa hubungannya dengan Dexa?" tanya Sena. "Sudah kubilang, terakhir kali ada yang melihat Samantha berada di dekat kos Dexa. Kemungkinan Dexa mengetahui sesuatu tentang Samantha." Nezi menebak. Mea memanggut-manggutkan kepalanya. "Oke, menurut kau, apa Dexa tau tentang kematian Samantha. At least, pembunuhnya." "Emh, kurasa dia tau. Levo tak pernah meleset tentang insting nya." Nezi percaya bahwa Dexa memang tau kebusukan Andrew. Apalagi tentang kematian Samantha. "Menurutmu, siapa pembunuh Samantha?" tanya Sena sembari meletakkan erlenmeyer itu ke lemari asam. "Kurasa istri Andrew mengetahuinya." Mea menyambar. Akan tetapi, Nezi menyangkal. "Saat kematian Samantha, istri Andrew sedang tidak ada di rumah itu. Kau tau sendiri, saat itu istri Andrew masih aktif menjadi ketua organisasi gerakan wanita." "Lalu, siapa yang tau?" "Hanya Levo dan Dexa yang tau. Aku hanya bisa menebak bahwa Andrew sendiri pembunuh anaknya." Mea merinding. Sedangkan Sena hanya diam tak kaget. Ia sama dengan Nezi, berpikir bahwa Andrew adalah pembunuh dari anak kandungnya sendiri. "Tapi ... kalau memang Andrew adalah pembunuh Samantha, apa alasan Andrew melakukan itu? Bukankah jika Andrew ketahuan telah membunuh anaknya sendiri, Andrew akan terpidana hukum mati?" Apa yang diucapkan oleh Mea memang benar. Nezi dan Sena juga tak tahu apa alasan Andrew melakukan hal itu jika memang dialah pembunuh Samantha. "Kematian anak akibat kecelakaan akan mendapat asuransi?" Sena menebak. Memang terlalu konyol. Tapi bukankah hal itu benar adanya. "Bisa jadi." Nezi setuju. "Tapi lebih tepat lagi jika Samantha memiliki penyakit yang hanya akan membuat kekayaan Andrew berkurang. Si tamak itu pasti akan menyingkirkan siapapun yang bisa menguras hartanya. Tak peduli anak atau bukan." Mea terkekeh. "Wuw, pikiranmu sangat jahat, Nezi. Tapi aku setuju. Bisa jadi Andrew melakukan itu." "Ah, jadi, kita perlu rekam medis Samantha. Untuk memastikan apakah benar gadis kecil itu punya penyakit atau tidak." Sena membuat ucapan Nezi sebagai sebuah dugaan. Padahal Nezi hanya mengarang dan melebih-lebihkannya. "Apa aku harus ke rumah sakit?" tanya Mea menunjuk dirinya sendiri. "Jika kau ke rumah sakit, seharusnya kau tau rumah sakit mana Samantha di rawat." Ucapan Sena membuat Mea memukuk jidatnya. "Benar juga. Lalu harus bagaimana?" "Kita tanya ke orang terdekat Samantha." "Siapa?" tanya Mea heran. Nezi juga ikut penasaran. "Pengasuh Samantha sejak bayi." Ide Sena memang cemerlang. Tapi sayangnya, mereka tak tahu siapa dan di mana pengasuh Samantha sekarang. "Haaahhh! Seharusnya Levo berikan saja cairan kejujuran itu pada Andrew. Ini membosankan." Lagi-lagi Mea merengek. Sena hanya memandangnya malas dan mencoba untuk abaikan. "Ya sudah, kita tunggu saja Levo kembali." Sena kembali mengambil cairan yang ia letakkan di lemari asam itu kemudian meraciknya entah dengan apa. Tak ada yang bisa menebak Sena akan membuat apa. Tapi mereka yakin jika apapun yang dibuat Sena pasti akan berhasil. "Sena, sepertinya kau sudah sembuh dari asma mu?" celetuk Mea mengalihkan pembicaraan. "Ya, sepertinya. Karena aku jarang kedinginan dan jarang sekali kelelahan." Sena terlahir dengan penyakit asma. Ia selalu bergantung pada alat untuk menetralkan pernapasannya yang mendadak sesak. Akan tetapi, selama ia bergabung dengan Blackhole, penyakit asmanya sangat jarang kambuh. Kemungkinan karena pikirannya rileks dan tidak stres. Sehingga tubuhnya juga merasa nyaman dan paru-parunya bisa kembang kempis dengan santai. "Kau sekarang juga jarang mencuri. Apa kau sudah taubat?" tanya Sena yang membuat Mea mendengkus kesal. Sedangkan Nezi hanya terkekeh mendengar pertanyaan Sena. Mea memang sangat suka mencuri dengan kemampuan yang ia miliki. Meski sudah ratusan kali Levo mengatakan untuk berhenti, tapi kebiasaan buruk itu masih saja dipelihara oleh Mea. Gadis itu seperti tak peduli pada apapun. Ia hanya mementingkan kesenangannya sendiri. Meski Levo terkadang seperti kakak yang harus dituruti, tapi Mea tetap membangkang sesekali. Levo sampai sedikit malas menasehati Mea lagi dan lagi. "Mea, bagaimana orang tuamu? Apa mereka masih sibuk?" tanya Sena penasaran. Sebagai yatim piatu dan hanya punya seorang kakak yang sekarang hidup monoton sebagai pengganti Levo, ibu dan ayah Mea adalah hal menarik untuk dibahas. "Ya, kau tau sendiri. Aku anak semata wayang. Hidupku bergelimang harta. Tapi kasih sayang sangat miris." "Bukankah anak semata wayang akan mendapat semua kasih sayang orang tuanya?" timpal Nezi. Padahal ia sendiri juga tak merasakan kasih sayang yang tulus dari kedua orang tuanya. "Haha, sama sepertimu, Nezi. Mereka mencintaiku hanya karena wajahku cantik. Mereka menungguku dewasa agar aku bisa dinikahkan dengan anak dari teman mereka. Menjalin bisnis? Huhu, itu seperti cerita jaman dulu. Menakutkan. Itulah mengapa aku takut tambah dewasa." "Kau akan dijodohkan?" tanya Nezi dengan tatakan kaget. "Iya, itu rencana mereka. Tapi mereka mengabaikanku setelah aku membangkang." "Jangan takut, Nezi. Kau akan tetap bersama dengan Mea meski Mea punya suami." Sena mulai menggoda Nezi. Nezi merasa bahwa Sena sedikit menyebalkan setiap membahas soal perasaanya. Mea hanya terkekeh. Ia tak pernah menanggapi apapun soal perasaan Nezi padanya. Meski Zack dan Sena selalu menggoda Nezi tentang dirinya. Tapi Mea juga tak pernah ambil pusing. Semua yang ada di markas adalah keluarga. Dan selamanya begitu. "Sudahlah, Sena. Kau membuat Nezi malu." Mea menyetop godaan Sena yang membuat Nezi terlihat tak nyaman dengan wajah memerah. "Aku akan pergi sebentar." Alhasil, Mea pun bangkit dari duduknya. "Mau ke mana? Kau marah karena aku menggoda Nezi?" Sena kembali menggoda Mea. Namun, percuma. Mea tak pernah menanggapi itu. Kemudian gadis itu pergi menghilang dan meninggalkan Nezi bersama dengan Sena. "Sena, kau membuat Mea pergi." Nezi tampak murung. Sedangkan Sena terkekeh geli melihat keputusasaan Nezi yang tak bisa melihat wajah cantik Mea untuk beberapa saat ke depan. "Dia akan kembali. Tenang saja lah, Nezi." Nezi hanya menggeleng pelan melihat kelakuan Sena. Di lain sisi, Zack kembali ke apartemen. Ia tidur di ranjang dan merasakan empuknya spring bed premium yang sudah lama tak ia tiduri. Menatap langit-langit kamar membuatnya teringat dengan Fany. Sungguh kesal dan sesak. Semua yang ia lakukan berimbas pada orang yang tak seharusnya terkena masalah. Sekarang Fany menghilang. Jauh darinya. Ia takkan bisa bertemu dengan pujaan hatinya lagi. Terlebih, Fany pasti akan membencinya. Ia takkan mau melihat wajah Zack lagi. "Andai bisa kuputar waktu. Aku takkan memintamu mencari informasi tentang Andrew." Zack mengacak rambutnya frustasi. Rasanya ingin sekali marah. Tapi ia tak tahu harus marah pada siapa. Karena dirinya sendiri adalah penyebab Fany mengalami penderitaan yang mendalam. "Aku harus minta Levo untuk membawaku bertemu Fany. Biar Fany membenciku, aku tak peduli. Setidaknya, aku akan meminta maaf." *** Cerita Dexa berakhir. Semua yang diceritakan Dexa juga termasuk dalam dugaan Levo. Levo sudah menduganya saat melihat kos Dexa adalah tempat terakhir terlihat Samantha sendirian sebelum Samantha dikabarkan meninggal. Tapi Levo akan kesulitan. Karena Dexa melihat kejadian itu dalam keadaan mabuk. Jika Dexa menceritakan semuanya, sudah pasti Andrew akan menyangkal. Meski akan menyangkal, Levi juga tak kepikiran. Lebih baik Dexa memberi kesaksian nyata sesuai dengan keadaan daripada harus berbohong. Karena akan sama saja pada akhirnya. Andrew tetap akan mati. Setidaknya di detik terakhir kematiannya, Andrew tau jika ada orang yang melihatnya membunuh anaknya sendiri. "Hm, jadi begitu. Baiklah, aku sudah mengerti." "Ya, lalu apa yang harus kita lakukan? Pasti Andrew takkan mau mengaku." Dexa hampir frustasi karenanya. "Tenang saja. Kita pasti akan berhasil membuat Andrew kalah dan mengalah." "Kau lihat sendiri kan? Andrew tak semudah itu digertak." Levo menatap Dexa penuh arti. "Diamlah dan ikuti saja aku." Mendengar itu, Dexa langsung menurut dan mengangguki ucapan Levo. Ia tersadar kembali jika Levo adalah seorang yang sudah handal di bidangnya kali ini. Sedangkan Dexa hanya menuruti hawa amarah dan kesal karena perbuatan Andrew. Hingga ia lupa jika Andrew akan mati pada akhirnya. Meski mengaku atau tidak. "Baiklah, Levo." "Baiklah, kita harus kembali ke tempat eksekusi pertama. Andrew akan tunduk tapi memang membutuhkan waktu yang cukup lama." "Ya, kita harus main cerdik." Levo setuju dan tersenyum lebar. "Yak! Aku sudah punya rencana. Kalian tunggu saja rencanaku." Dexa terkekeh. "Wah, aku sudah tak sabar melihat rencana seorang Levo." Setelah menceritakan semua yang ia ingat pada Levo, Dexa menarik napas pelan. Sosok itu tak tega mengingat gadis kecil tak bersalah yang harus meninggal di tangan ayah kandungnya sendiri. Meski yang melakukan tangan kanan Andrew yang sudah Levo yakini bahwa orang itu adalah Leo, tapi tetap saja semua perintah berasal dari mulut Andrew. Levo pun mengajak Dexa kembali ke tempat eksekusi pertama dan melihat Andrew masih posisi terjungkal karena pukulan Dexa tadi. "Kau merepotkan." Gumam Levo sembari membangunkan kursi beserta Andrew yang masih terikat di sana. "Wah, wah, kalian ini kurang ajar. Saya akan tuntut kalian hingga ke pengadilan dan hingga kalian dihukum seumur hidup." Levo terkekeh. "Kau bodoh. Kau tau kalau aku ini bisa menghilang? Coba bayangkan kalau aku yang ada di penjara, aku masih bisa keluar tanpa membobol jeruji atau menyuap para anggota polisi." Andrew terdiam kesal. Ucapan Levo seperti hal yang membuat siapapun akan terkena mental hingga ke tulang. "Ah, daripada membuang waktu. Sekarang aku tanya. Apa tujuanmu membunuh Samantha?" "Apa maksudmu? Samantha anakku?" Tanya Andrew heran. "Siapa lagi?" Levo sedikit kesal dan bersikap sedingin es. "Apa buktimu kalau Samantha adalah korban pembunuhan? Anakku yang malang itu jatuh dari balkon lantai dua. Dia meninggal karena kecelakaan. Bukan karena pembunuhan!" Andrew menyangkal tentang. Kematian anaknya. Samantha. "Kau ingin bukti? Dialah buktinya." Levo menunjuk Dexa yang mengetahui tentang tragedi malam itu. Dexa mendekat. "Aku tau apa yang kau lakukan malam itu." Ia mulai mengungkit malam itu. Air muka Andrew langsung berubah. "Kau menyuruh orang lain untuk membunuhnya kan? Samantha, anak kecil yang menangis di pinggiran jalan. Sendirian. Gadis itu kedinginan dan tampak kau buang. Lalu dengan tega kau membunuhnya. Dan lebih teganya lagi, kau memanipulasi kematiannya." Dexa mulai menceritakan semua yang ia lihat malam itu. Akan tetapi, baru saja Dexa menghentikan ceritanya, Andrew terbahak. Mendengar semua cerita yang Dexa lihat hari itu, Andrew selalu menyangkal dan mengatakan bahwa Dexa salah melihat seseorang. Akan tetapi, Dexa yakin jika anak itu adalah Samantha dan sosok datang dari mobil tersebut adalah Andrew. Ia akui, ia memang sedang dalam keadaan mabuk. Tapi ia masih waras karena hanya meminum sedikit. Lagipula pendengarannya takkan salah. Suara yang sekarang didengar Dexa juga sedikit mirip dengan yang ia dengar saat itu. "Kau bodoh. Kau mabuk kan? Kau pikir itu aku hah?" Kesal Andrew yang membuat Dexa maju dengan kesal. Akan tetapi Levo mencegahnya. "Mengaku saja. Apa alasanmu membunuh Samantha?" Levo mencoba mencairkan suasana antara Dexa dan Andrew yang mulai menegang. "Aku tidak membunuh siapapun." Andrew menjawab dengan santai. "Bohong." Andrew terkekeh. "Kau masih ingin menggali informasi itu? Takkan ada yang bisa kalian dapatkan dariku." "Kau ingin cara lain?" tanya Levo. Berhasil membuat Andrew mengernyitkan keningnya. "Cara apa maksudmu?" Suara Andrew terdengar gemetar. Sudah pasti ia takut dengan gertakan Levo. "Aku akan meracunimu agar kau mengatakan yang sejujurnya." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN