22

2325 Kata
"Moza?" gumam Dexa saat melihat nama di sebuah nisan yang terpaku di ujung sebuah gundukan. Gundukan tanah yang sudah mengering dan memadat dengan rumput liar yang mengelilingi sisinya saja. Seolah ada tangan yang selalu membersihkan dan menjaga makam tersebut. Tentu saja ada. Meski orang tua Nezi dan Moza menghilang entah ke mana. Bahkan di jajaran para menteri atau dewan juga tak ada. Lalu meskipun Nezi terkurung di dalam markas Blackhole, makam Moza tetap bisa terawat karena adanya Levo. Sosok itu yang setiap hari mengunjungi makam Moza. Membersihkannya dan mengganti nisannya saat nisan itu sudah tampak tak terbaca. Sepertinya pihak kepolisian atau rumah sakit yang mengubur jenazah Moza memberikan nisan yang asal-asalan dan tak layak. Sehingga membuat nisan itu cepat terlihat buruk daripada yang lain. Levo mengangguk dan menatap Dexa. Suasana makam yang terlampau sepi membuat keduanya bisa dengan santai bercakap dan mengobrol apapun. Bebas, takkan ada yang mendengarkan. Mungkin para roh gentayangan saja yang mendengarkan dan hal itu tak berguna bagi orang yang sudah mati. "Kenapa kau mengajakku ke makam Moza? Bukankah ini makam kakak Nezi? Seharusnya kau mengajak Nezi. Bukan aku." Dexa terheran dengan sikap Levo. Memang benar apa yang diucapkan Dexa. Tapi Nezi sendiri yang enggan diajak ke makam Moza karena Nezi masih tak kuasa menahan diri setiap kali mengingat kematian Moza yang begitu menyedihkan. "Ada hal yang ingin kusampaikan tentang Moza padamu." "Apa itu?" Kemudian ia mencoba untuk mengingat lagi apa yang diucapkan oleh Moza padanya sebelum Moza meninggal di hari mengenaskan itu. "Moza itu ... juga memiliki keunikan seperti kita." Dexa melongo. Nezi tak menceritakan jika Moza memiliki keunikan juga. Entah Nezi merahasiakannya atau memang Nezi tak tahu. Dexa tak mengerti itu. Kemudian, Levo melanjutkan ucapannya dan membuat Dexa paham. Bahwa Nezi juga tak mengetahui jika Moza memiliki keunikan itu. "Nezi tak mengetahuinya. Moza itu merahasiakan keunikannya dari orang lain. Sebab, keunikan Moza adalah melihat masa depan dan bisa melihat waktu kematian orang lain. Moza ... sosok itu bisa melihat masa depan orang lain begitupun dengan dirinya sendiri. Sejak awal, Moza terlalu fokus dengan masa depan orang lain hingga dirinya tak fokus menjalani hidup. Sebab, hanya kematian yang menjadi akhir dari masa depan seseorang. Cara orang itu mati dan bahkan waktu kematian mereka juga bisa terlihat oleh Moza. Siapa yang takkan gelisah jika dirinya tau kapan dirinya akan mati atau orang-orang yang ia cintai akan mati." Mendengarkan cerita Levi, hati Dexa seolah teriris menyakitkan. Ternyata ada banyak hal yang Nezi tak tau tentang Moza. Atau mungkin Nezi yang tak pernah mau tau. "Apa Nezi tau tentang hal ini?" Daripada penasaran, akhirnya Dexa menanyakan hal itu pada Levo. Ternyata dugaannya benar. Levo menggeleng. "Nezi tak tahu. Aku menyembunyikan ini karena Moza memintaku untuk menceritakan semua tentang Moza yang sebenarnya pada seseorang bernama Dexa." "Aku?" tanya Dexa sembari menunjuk batang hidungnya sendiri. "Kenapa?" Levo menarik napasnya pelan. "Moza adalah kakak kelasku sejak SD. Umur kami tak terpaut jauh. Moza sering berpindah sekolah tapi aku selalu bisa menemuinya kapanpun karena kau tau sendiri jika aku bisa berpindah tempat kemanapun. Jadi, kami sering bercerita. Moza mengatakan jika dirinya tak punya teman. Karena Moza menganggapku sebagai adik sama seperti Nezi. Sama seperti yang diceritakan Nezi padamu. Aku juga melihatnya sendiri. Terkadang, saat dia tenang, aku datang untuk memberi saran. Meski aku hanya dianggap adik, tapi Moza mendengarkan saranku. Moza pernah bilang, jika dirinya sangat iri pada Nezi karena Nezi memiliki masa depan yang indah sebagai pelukis. Tapi semua itu hanya sebatas apa yang dia lihat sebelum pada akhirnya semua takdir berubah. Nezi menjadi pelukis yang akhirnya menjadi buronan. Moza tak tahu karena dirinya fokus pada waktu kematiannya yang hampir dekat. Sehari sebelum Moza meninggal, aku sempat bertemu dengannya. Moza tampak pucat. Ia tak mengatakan apapun padaku. Sempat aku bertanya apakah dia bisa melihat waktu kematiannya sendiri atau tidak. Dia tak menjawab seolah tak ingin ada orangnya yang tau jika dirinya akan mati. Tapi aku paham. Moza tau waktu kematiannya kapan. Meski begitu aku tak peduli dan tetap berada di sisinya walau saat Moza meninggal tepat di depan mata aku hanya mampu menangis dalam diam di dalam kamarnya." "Jadi, kau ada saat Moza meninggal?" "Kebetulan saat itu aku ingin menemuinya karena ingin mengatakan jika aku sudah menemukan seseorang bernama Dexa. Seorang anak kecil yang masih polos dan tak tahu apa-apa. Aku ingin menanyakan apakah orang yang kutemui itu benar yang dia maksud atau tidak." "Memangnya kenapa harus mencariku? Apa aku punya salah atau aku turut andil dalam kematian Moza?" Dexa menjadi takut dibuatnya. Rasanya Moza yang mencarinya itu seperti renternir yang menghantui. "Awalnya Moza hanya diam. Dia tak mengatakan apapun mengapa aku harus mencari dan menemukan Dexa lalu harus melindunginya. Tapi pada akhirnya Moza bercerita jika seorang anak lelaki bernama Dexa akan memiliki peran penting untuk memusnahkan salah satu induk ketidakadilan. Kau harus tau bahwa, Moza bisa melihat masa depan seseorang meski Moza belum mengenal sosok itu. Moza bisa merasakan siapapun yang memiliki keunikan dalam diri mereka juga. Termasuk bayi yang baru lahir." Dexa tak bisa memungkiri lagi. Ia kagum pada sosok Moza. Moza sangat handal. Apa yang menjadi keunikannya sangat keren. Bisa melihat masa depan dan mampu melihat waktu kematian seseorang. Tapi Moza pasti melewati hari yang berat karena harus tau bahwa ia akan mati di usia yang sangat muda dan melihat masa depannya yang tampak begitu cerah seperti orang lain yang ia lihat. Maka dari itu, Moza menjadi tak fokus dan selalu gagal naik kelas dan menangkap materi. "Jadi, Moza bisa melihatku sebagai benteng penyerang untuk induk ketidakadilan yang sedang terjadi?" tanya Dexa memastikan. Levo mengangguk. "Ya, kurang lebih begitu. Dia sangat ahli dalam menebak. Jadi aku percaya saja padanya. Kulihat, ternyata kau juga memiliki keunikan. Kemungkinan kau adalah Dexa yang dimaksud oleh Moza." Tiba-tiba Levo menunduk dalam. Ia langsung bersimpuh di depan makam Moza dan bergumam, "Hei, Kak. Ada Dexa di sini. Apakah dia yang kau maksud? Jika benar, apa yang harus kulakukan padanya? Dia anak bodoh. Suka sekali menjahili orang-orang. Apa dia benar bisa menjadi penyerang yang kau maksud?" Mendengar gumaman itu, Dexa mendengkus. "Tentu aku bisa." "Dexa." Panggilan Levi terdengar berat. Membuat Dexa ikut bersimpuh dan menatap Levo yang sudah banjir air mata. "Maafkan keluarga Lee." Dexa mengernyit. "Apa maksudmu?" "Keluargamu harus berhutang karena keluarga Lee." "Aku tak pernah tau akan hal itu." "Moza bercerita, dia pernah mendengar nama keluarga Azitro. Keluarga yang awalnya sukses karena Tuan Azitro merupakan anggota dewan yang bijak. Tapi harus dituding korupsi meski sudah terbukti tidak melakukannya. Yang menuding nya adalah Tuan Lee. Tuan Azitro bangkrut dan kemudian menjadi rakyat biasa. Menjalani hidup kekurangan karena semua asetnya telah disita. Harus terpelintir hutang demi anak dan istri. Meski Tuan Azitro tak pernah menceritakannya padamu, secara gamblang Moza mendengar ayah dan ibunya tertawa atas jatuhnya keluarga Azitro sehingga mereka bisa naik ke tahta yang lebih tinggi." Semua cerita Levo memang menyakitkan. Tapi Dexa juga tak bisa membenci siapapun. Nezi bahkan Moza tak bersalah. Yang salah sudah pergi entah ke mana. Jika Dexa harus membalas, Dexa akan membalas ke dua manusia tak berhati itu. Tapi percuma saja karena Dexa pun juga tak tahu di mana mereka. "Sudahlah. Itu masa lalu. Sekarang aku juga tak bisa membalas apapun. Lagipula, keluargaku sudah bahagia di sana. Hutang-hutang yang melilit juga telah kau putuskan rantainya. Jadi, aku bisa bernapas lega sekarang." Terkadang Dexa bisa begitu bijak menanggapi sesuatu. Meski sorot matanya mengatakan bahwa tak ada yang baik-baik saja. Setidaknya ia mencoba untuk membohongi diri agar otak juga ikut tertipu dan hanya mengeluarkan stimulan yang baik untuk tubuh. "Apa Moza mengatakan tentang masa depanmu dan para anggota Blackhole lain?" tanya Dexa mengalihkan perhatian. "Tidak. Dia tak pernah mau mengatakan apapun tentang waktu kematian atau hanya sekadar masa depan orang lain pada orang tersebut. Ia mengatakan jika hal itu tak perlu dikatakan. Biarlah ia yang tau dan ia sendiri yang menanggung. Itu yang dia katakan." "Kau tidak memaksanua?" "Pernah aku memaksa. Tapi Moza jadi mendiamkanku. Dia bilang, masa depanku baik-baik saja dan aku tak perlu khawatir." "Ah, baguslah kalau begitu." Justru karena kalimat itu, Levo menjadi tak tenang. Jika dirinya di masa depan akan baik-baik saja, lalu bagaimana dengan nasib Blackhole? Semua takkan berjalan dengan baik terus menerus seperti sekarang. Pasti akan ada yang terluka. Tapi jika dirinya akan baik-baik saja, lalu siapa yang akan menanggung luka dari semua misi Blackhole yang berbahaya. Levo tak kuasa memikirkan hal itu. Ia tak mampu melihat anggotanya terluka. Mereka semua sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri. Levo takkan pernah siap kehilangan mereka kapanpun dan apapun keadaannya. "Levo?" "Ah, ya?" Levo mengerjap menatap Dexa kebingungan. "Kenapa kau melamun?" Levo menggeleng. "Aku hanya merindukan Moza." Dexa terdiam sejenak. Ia tak ingin mengganggu nostalgia Levo akan Moza. Pasti sangat rindu. Terlihat dari mata itu. "Baiklah. Kita akan pergi sekarang." Dexa. Mengernyit. Tiba-tiba Levo bangkit dan meregangkan tubuhnya. "Pergi ke mana?" "Ke mana lagi kalau bukan ke tempat eksekusi? Andrew menunggu kita di sana." Seringai yang terlihat memperlihatkan semangat lagi. Dexa ikut tersenyum. Setidaknya Levo bisa bersenang-senang setelah ini. "Baiklah!" *** BREAKING NEWS Dari breaking news yang dilihat oleh Zack saat ini membuat perhatian Sena dan Mea juga teralihkan. Pada dasarnya, berita itu membuat ketiganya tak tertarik. Karena sudah mengetahui jika berita tentang Andrew lah yang akan disiarkan. Mereka hanya ingin tau apa yang terjadi pada mobil yang terbakar dan orang yang berusaha memadamkannya. Terlebih lagi mereka memikirkan nasib si sekretaris dan bodyguard setia Andrew. Nezi hanya duduk diam di sofa. Matanya kosong. Ia tak mengerti apa yang dilakukan Levo dan Dexa di makam Moza. Tapi melihat makam Moza, ia merasa sangat rindu. Seperti luka lama yang hadir kembali. Rasanya luka itu tak bisa hilang begitu saja. Tak hilang begitu cepat. Setiap kali ada yang mengorek pasti akan berdarah kembali. "Zack, apa kau sudah menuntaskan teman-teman Fany yang toxic itu?" tanya Mwa sembari melahap ayam goreng di tangannya. "Huh, mereka lebih buruk dari yang kukira." "Apa maksudmu?" tanya Mea heran. Gadis itu mengunyah sambil menatap Zack yang menyeruput kopinya sembari melihat ke arah televisi. "Mendengar kabar bahwa orang tua Fany meninggal, mereka langsung berpesta. Mereka pikir Fany juga meninggal." "Bukankah mereka tau kalau Fany tidak meninggal di hari itu? Fany sempat masuk ke televisi. Ada Levo juga si sana!" Mea mengatakannya dengan ada sedikit kebanggaan jika Levo masuk televisi. "Tapi sedengarku, Fany dituduh sebagai pembunuhnya karena Fany menolak adanya penggalian informasi lebih lanjut." Zack menggeleng pelan kemudian menghela napas kesal. "Waaahh, dunia sangat kejam. Saat anak yang ditinggal mati karena pembunuhan menjadi tersangka tanpa bukti dan hanya berdasarkan asumsi." Mea menggeleng tak mengerti. Sepertinya dunia mulai gila. Begitulah pikir mereka. "Nezi, bagaimana dengan Levo? Apa dia sudah ada di tempat eksekusi pertama?" tanya Zack mengalihkan perhatiannya pada Nezi yang hanya diam sedari tadi. "Ya. Dia dan Dexa sudah ada di sana. Mereka sedang melontarkan beberapa pertanyaan pada Andrew. Tapi aku tak bisa mendengar apa pertanyaan itu." Terkadang Nezi merasa bahwa keunikannya itu nanggung. Karena ia hanya bisa melihat dari kejauhan. Tapi tak mampu mendengar apapun yang ia lihat. "Ah, pasti Levo sedang bersenang-senang. Aku bosan di sini." Jiwa psycho Mea membuat Nezi tersenyum tipis dan menggeleng. Gadis itu sangat menggemaskan. Apalagi setiap merasa bosan dan menekuk wajah. Meski wajah senyum Mea juga sangat memabukkan. Nezi jadi ingat pertama kali bertemu dengan Mea. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari. Apalagi hanya Nezi dan Mea yang mendampingi Levo setiap misi. Kehangatan Mea membuat Nezi luluh dan pada akhirnya mendaratkan hatinya pada Mea sebagai pilihan singgahan terakhir. Apapun akan Nezi lakukan demi melihat Mea bahagia dan hidup dengan nyaman. "Jangan dipandangi terus, nanti Mea meleleh seperti es krim." Mea melirik ke arah Sena yang bergumam menatap Nezi. "Wooaah, ada percintaan segitiga di sini?" sindir Zack menatap kedua gadis dan seorang lelaki yang hanya terdiam di pojok sofa. "Jangan mengatakan hal aneh, Zack." Nezi mendengkus. Membuat Zack terkekeh pelan. "Aku tau kau sangat mencintai Mea mu ini, Nezi." Mea menahan senyuman. "Zack, aku akan membunuhmu." "Ah, baiklah. Dengan senang hati." Zack langsung menyenderkan punggungnya dan menutup mata. Seolah pasrah meskipun Mea akan membunuhnya. "Menyebalkan!" Sena berdeham. Mengalihkan semua pandangan padanya. "Mea, Zack, Nezi, sepertinya kalian lupa dengan seseorang." Mereka bertiga mengernyit tak paham. "Siapa?" tanya Mea. "Kalian ingat istri Andrew?" Zack menjentikkan jemarinya. Tak sengaja membuat api membakar jas laboratorium Sena karena Zack terfokus pada Sena. "Zack!" "Astaga! Maaf, aku tidak sengaja!" Zack langsung menjentikkan kembali jemarinya. Sena meratapi jas laboratorium yang lagi-lagi harus beli karena sudah kelima kali Zack membakarnya. Pertama saat Zack pertama kali datang dan harus disuntik dengan cairan serum. Kedua saat Zack tak bisa mengontrol rasa senangnya saat jatuh cinta pada Fany. Ketiga saat Zack marah karena Fany menolak perasaannya. Keempat saat Zack bermain-main iseng. Dan terakhir sekarang. Sungguh menyebalkan memang. "Soal istri Andrew tenang saja." Nezi menenangkan kedua belah pihak yang berseteru karena jas lab yang gosong separuh. Untungnya tidak merembet ke cairan yang ada di meja dekat dengan Sena. "Kau tau di mana dia, Nezi?" tanya Mea heran. "Aku tak tahu di mana dia sekarang. Tapi aku punya firasat jika istri Andrew berpihak pada kita. Karena kematian Samantha, istri Andrew sudah tak mempedulikan Andrew lagi." "Aku masih penasaran, apa yang membuat Samantha meninggal begitu tragis." Sena mengelus dagunya. "Sepertinya Samantha meninggal karena menjadi tumbal." Zack mengatakan dengan suara pelan sok misterius. "Zack bodoh!" Mea langsung memukul kepala Zack dengan gemas. "Lalu apa?" "Entahlah. Aku juga tak tahu. Kasus ditutup dengan alasan Andrew tak mau membuat Samantha merasa terganggu di alam sana." Jawaban Nezi membuat Mea terkekeh. "Terkadang Andrew terlihat sangat bodoh dengan alasannya yang tak masuk akal. Tapi kurasa dunia lebih bodoh karena mau dibodohi dengan orang bodoh." Bukan Mea namanya kalau mulutnya tak sepedas cabai lima puluh kilo. "Benar. Tapi Andrew tak sebodoh yang kita kira. Dia sudah merugikan banyak orang dengan kecerdikannya." Memang benar apa ucapan Nezi. Maka dari itulah, Andrew pantas ada di genggaman Blackhole. Karena Blackhole, adalah tangan yang mencoba merampas keadilan dari orang yang bertindak seenaknya. "Kuharap Levo segera mendapat keterangan dari Andrew dan mengakhirinya." Sena mengangguki ucapan Mea. "Ya, semoga. Sedikit demi sedikit. Kita akan menemukan inang mereka, para manusia yang tak berhati nurani." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN