Ayu mengelus pakaiannya untuk merapikan diri. Sudah beberapa kali Ayu melakukannya, semenjak dia melihat bagaimana wujud dari kantor Shingi Fusaya Real Estate. Ayu merasa penampilannya mungkin sedikit kurang rapi, saat menyadari jika perusahaan itu lebih besar dari bayangannya. Informasi yang tertulis di internet kemarin tidak lengkap.
Perusahaan itu menempati gedung lima lantai yang berada di daerah perkantoran utama kota Tokyo. Yang mana, sudah pasti harga tanah dan juga properti di situ sangat mahal. Bisa menempati satu gedung di situ berarti Shingi benar-benar kuat. Lingkungan pekerjaan yang ini akan sangat jauh berbeda daripada sekadar swalayan maupun restoran yang kemarin. Ayu merasa salah tempat saat pertama datang tadi.
Tapi saat menunjukkan surat panggilan di lobi tadi, sudah dipastikan Ayu tidak salah tempat. Surat itu disambut, dan Ayu dengan cepat diantar ke ke area HRD yang ada di lantai tiga untuk menjalani wawancara. Bahkan wawancara itu juga tidak seperti bayangan Ayu. Dia sudah sangat ketakutan jika tidak bisa menjawab apa pun yang ditanyakan oleh orang yang mewawancarainya. Tapi ternyata mereka hanya bertanya tentang kemampuannya untuk mengetik dan kemampuan yang berhubungan dengan komputer—yang tentu saja tidak buruk. Sampai separuh jalan wawancara, Ayu tidak merasa ada pertanyaan yang menyulitkanya.
“Karena kami perusahaan yang sangat sibuk, lebih sering kami meminta kepada karyawan untuk lembur. Apa kau bersedia melakukannya juga? Tentu akan ada perhitungan gaji berdasar jam lembur juga nantinya.”
Pertanyaan pewawancara yang berikut, membuat Ayu ingin tertawa terbahak. Tentu saja jawaban Ayu sangat jelas. Dia bahkan bersedia seandainya diharuskan menginap di sini, maupun tinggal berhari-hari. “Tentu saja. Saya tidak keberatan,” jawab Ayu dengan mantap.
Orang yang mewawancarainya itu mengangguk puas, lalu dengan tiba-tiba mulai membahas gaji dan kontrak. Membuat Ayu merasa jika wawancara itu itu tidak seperti wawancara, tapi lebih ke arah penandatanganan kontrak kerja, karena memang itulah yang terjadi. Jadwal itu berakhir cepat, dan di ujung wawancara itu, Ayu disodori kertas berisi kontrak kerja yang sudah tertulis rapi, menyebut berapa gajinya dan ketentuan kontrak kerja yang akan berlaku dua tahun. Gaji yang tersebut, lebih besar dari gaji dua pekerjaanya yang dulu digabungkan. Tentu hal itu membahagiakan bagi Ayu.
Tapi Ayu tidak bisa merayakan kebahagiaan itu. Begitu tanda tangan itu selesai, wanita yang mewawancarainya itu langsung memanggil orang lain, yang kini membawa Ayu ke ke lantai dua. Ayu mengikutinya sambil memandang sekitar. Sekali lagi merasa beruntung. Apa yang ditawarkan perusahaan ini jelas melebihi bayangannya.
“Silakan. Di situ ada seragam yang bisa kau gunakan. Kau akan mendapat seragam tambahan nanti saat pulang. Tapi untuk saat ini kau bisa memakainya. Dan juga sepatu,” katanya.
“Oh, baik.” Ayu membungkuk lalu memasuki ruang loker. Memandang sejenak, Ayu melihat loker yang tidak memiliki nama pada bagian depan. Ayu tentu saja bisa menebak jika loker itu adalah miliknya. Saat membukanya, Ayu melihat seragam standar yang biasa dipakai karyawan kantor. Tidak semua kantor mewajibkan adanya seragam, tapi masih banyak juga yang memakai seragam sampai saat ini. Dengan cepat, Ayu berganti baju yang berupa atasan blus ringan berwarna putih dengan dasi pita, dan juga rok selutut dengan belahan di sampingnya berwarna biru tua.
“Sudah selesai.” Ayu melapor sambil meraih tas bawaannya keluar dari ruang loker. Wanita yang tadi mengantarnya tersenyum. “Aku akan membawamu pada manager yang akan menjadi tempatmu melapor nanti,” katanya.
Ayu mengangguk, dan kembali mengikutinya.
Lantai dua—tempat Ayu akan bekerja, tampak sunyi saat dirinya lewat. Hampir semua pegawai yang ada di sana sibuk menghadap ke arah komputernya. Ayu menghitung ada sekitar empat orang lain yang bekerja di sana.
Bergantian mereka menoleh kepada Ayu, mengamati sebentar kemudian kembali pada pekerjaannya. Ayu membungkuk dan mencoba untuk tersenyum tapi hanya satu orang yang membalasnya. Perempuan yang berada di meja paling ujung dekat jendela.
“Masuklah.”
Ayu ingin memberi senyuman sekali lagi kepada wanita yang membalas bungkukkan badannya tadi, tapi orang yang mengantarnya sudah membuka pintu dan menyuruhnya untuk masuk ke ruangan manager.
“Mori-San. Ini Ayumi Nakamura. Dia akan bekerja membantu di Tim 2.”
Ayu masih memakai nama Nakamura tentunya, karena belum resmi bercerai dan berganti nama. Pria yang tadi sibuk mengetik itu, mendongak menatap Ayu. Dia menilai Ayu dengan memandang dari kaki ke kepala. Kacamata berbingkai hitam melengkapi penampilannya yang serius saat memandang itu.
“Selamat siang. Saya Ayumi Nakamura. Senang bisa bertemu Anda.” Ayu membungkuk memberi salam. Pria itu tidak hanya memiliki jabatan yang lebih tinggi darinya, tapi juga lebih tua pastinya. Dia bahkan terlihat lebih tua dari Pamannya. Mungkin sekitar tiga puluh lima atau enam. Hide masih berumur tiga puluh dua, sedang Ayu dua puluh.
“Aku tidak mendengar ini,” kata Mori. Bermaksud mengatakan jika kedatangan Ayu jelas tidak diduga olehnya. Kejutan.
“Aku juga tidak. Tapi rupanya begitu permintaan dari HRD.” Wanita yang mengantarnya mengangkat bahu, lalu keluar dari ruangan itu.
Ayu jelas sangat canggung. Mori terus menatapnya, sementara Ayu sama sekali tidak bisa membaca apa arti dari pandangan mata itu. Entah dia curiga, tidak puas, kesal atau mungkin marah atas kedatangannya yang tidak terduga. Tapi surat panggilan itu jelas, dan kontraknya telah ditandatangani. Ayu tidak ingin pandangan jahat itu merusak harinya. Maka Ayu menegakkan punggung, berdiri menunggu tanpa ingin terlihat ketakutan.
“Ayo.” Setelah puas menatap, Mori berdiri, mengajaknya keluar, berdiri di depan deretan meja yang tadi dilewati Ayu.
“Tim 2!” Mori memanggil.
“Ha–i!” Dua orang berdiri, dan Ayu nyaris tidak bisa menahan senyum saat melihat gadis yang tadi membalas sapaannya ikut berdiri. Mereka akan berada di tim yang sama setelah ini.
“Perkenalkan Ayumi Nakamura. Mulai hari ini akan menjadi bagian dari tim 2.”
“Tapi kenapa? Tim 1 tidak mendapat tambahan!”
Belum sempat Mori bernapas, protes keberatan terdengar, dan Ayu sedikit kecewa karena yang memprotes adalah salah satu orang yang berdiri. Anggota Tim 2 yang tidak ramah.
“Aku rasa HRD merasa kerja kalian kurang memenuhi target maka mengirim satu lagi untuk membantu kalian.” Penjelasan Mori jelas membuat mereka semakin murka. Gadis yang memprotes tadi, menampakkan wajah kesal sambil duduk dengan kasar.
“Oke, berarti… Riko, kau tolong dampingi dia selama satu minggu, dan jelaskan bagaimana pekerjaannya.” Mori menunjuk gadis ramah yang ternyata bernama Riko itu, dan dia tersenyum. Ayu amat sangat lega. Sedikit saja tidak beruntung, maka dia akan mendapat pendamping yang tidak menyukai keberadaannya. Riko jelas lebih baik.
“Hai, Riko Ikeda.” Riko mengulurkan tangan, dan Ayu jelas menyambutnya dengan senang hati.
“Ayumi Nakamura. Ayu saja.” Ayu bergegas memperkenalkan panggilan akrab, berharap mereka akan dekat.
“Kalau begitu kau bisa memanggilku Riko juga.”
Ayu menyukai senyum Riko. Wajahnya tampak semakin cantik saat tersenyum. Rambutnya terpotong pendek, ada sedikit bercak di dekat hidungnya, tapi menurut Ayu bercak itu sama sekali tidak membuatnya tampak buruk.
“Perkenalkan, ini Kyoko Fujita. Dia bekerja di tim yang sama dengan kita.” Seolah tidak terpengaruh dengan sikap Kyoko yang ketus tadi, Riko memperkenalkan Ayu padanya.
“Jangan ganggu aku!” Kyoko membentak, sama sekali tidak menoleh. Riko menggelengkan kepala, lalu beralih pada yang lain.
“Ini Misa Ogawa, dari Tim 1.” Riko memperkenalkan tim lain. Misa menjabat tangan Ayu—lebih baik dari Kyoko, tapi tidaklah sangat ramah.
“Ini Hiro Gotoo, dari Tim 1 juga." Ia satu-satunya pria di ruangan itu.
“Hai.” Hiro cukup ramah, tapi terlihat sangat sibuk, maka Ayu hanya sempat membalas senyuman saja.
“Ayo, aku akan menunjukkan di mana tempatmu.” Riko menarik Ayu ke salah satu meja yang ada di dekatnya. Pemilihan tempat yang sekali lagi melegakan Ayu. Dia tidak harus sering memandang Kyoko karena mereka saling memunggungi.
Ayu mengangguk, lalu mulai menghidupkan komputer. Apa yang didapatnya saat ini tidak sempurna—terutama karena sikap Kyoko dan Mori, tapi Ayu tidak akan terlalu memikirkannya.
Saat ini, Ayu hanya ingin bekerja keras agar hidupnya tidak lagi terlihat kacau. Memperbaiki sisa dan salah yang ada.