Keberadaanmu yang Tidak Wajar

1168 Kata
“Bukankah kemarin kau memasukkan datanya di sini? Rumah yang ini tidak termasuk berharga mahal.” Ayu menunjuk folder lain, membantu Riko karena terlihat kebingungan. “Aaahh…” Riko mendesah panjang, lalu membuka folder yang dimaksudkan oleh Ayu, dan tentu akhirnya menemukan data rumah yang ada di depan mereka. “Hebat. Kau cepat sekali belajar rupanya,” puji Riko. Ayu hanya tersenyum malu, tapi gembira mendengarnya. “Aku tadi berpikir rumah ini akan termasuk yang mahal melihat ukurannya,” kata Riko, sambil membuka data dari tab di tangannya. Ayu sudah meninggalkannya, mulai mengukur lebar gerbang. Menunduk dan mencatat dengan teliti hasil pengukuran itu. Kerja lapangan memang termasuk bagian dari pekerjaan barunya. Untung saja, untuk kegiatan luar seperti ini, Shinigi menyediakan celana panjang hitam sebagai seragam. Ayu dulu sempat heran saat membayangkan dia harus bekerja di luar memakai rok pendek itu. Saat melihat jika celana panjang termasuk dalam seragam yang dia terima, Ayu semakin menyukai kantor barunya itu. Dan hal itu jelas terlihat dari kecakapannya bekerja. Ayu dengan cepat berpindah, mengukur tinggi pagar yang melingkari rumah itu, pada setiap sisi halaman. Sedikit sulit, karena halaman rumah itu diisi oleh semak perdu dan rumput lebat yang semuanya hampir menyamai tinggi Ayu. “Oh, kau sudah sampai di sini?” Riko kembali kaget, saat melihat Ayu sudah keluar dari halaman sisi kanan, sambil menyibak rumput. “Ya, aku sudah menyelesaikan pengukuran kedua sisi.” Ayu menyerahkan hasil catatanya, dan Riko tentu saja gembira. “Hebat dan cekatan. Kau bahkan bisa mengingat jika rumah ini ada di daftar harga murah.” Riko kembali memuji. “Itu biasa saja. Kau saja yang bodoh karena tidak cepat menemukannya!” Kyoko yang sudah mendahului mengukur tinggi pintu masuk, menyahut. Mencela Riko dengan pedas. Tapi Riko hanya meringis, tidak membalas. Sementara Ayu menggelengkan kepala mendengar celaan kejam itu. Ayu dulu mengira jika Kyoko tidak menyukainya, karena dirinya adalah orang baru yang tidak diinginkan, tapi ternyata memang Kyoko tidak menyukai semua orang secara umumnya. Bahkan Riko yang sudah bekerja bersamanya selama hampir dua tahun juga masih mendapat perlakuan yang sama. Tapi fakta itu membuat Ayu bersyukur. Paling tidak Kyoko tidak menjadi kasar hanya karena dirinya. Setelah hampir dua minggu bekerja di kantor itu, Ayu mulai terbiasa untuk mengabaikan sikap Kyoko yang tidak menyenangkan itu. Kantor itu nyaris sempurna, dan Riko yang menjadi pembimbingnya sangat sabar saat mengajarkan segala hal yang tidak diketahui oleh Ayu—karena tentu saja dia benar-benar buta tentang lingkungan properti maupun yang berkaitan tentang hal itu—jadi Ayu akan menerima Kyoko sebagai sedikit kekurangan yang masih bisa ditolerir. “Kalian akan terus mengobrol atau bagaimana?!” Mori berteriak dari dalam rumah, karena menurutnya mereka tidak bekerja. Dengan tergesa, semua anggota Tim 2 menyusul ke dalam untuk melihat bagian interior rumah. Keadaannya tidak seburuk di luar yang jelas diabaikan, bagian interior rumah itu cukup lumayan rapi masih banyak perkakas yang bagus dan keadaannya juga tidak banyak yang rusak. Suasana rumah itu terlihat seperti rumah Hide, hanya sedikit lebih sempit. Tapi memang Ayu menangkap sedikit aroma apak yang terlalu menyengat. "Kenapa rumah seperti ini berharga murah?" Ayu bergumam heran. Melihat keadaan di luar yang berantakan, Ayu mengira hal itu yang menjadi penyebab harga murah, tapi saat melihat bagian dalam yang cukup rapi dan bagus, Ayu akhirnya heran. “Hikikomori. Pemiliknya meninggal kurang lebih 3 bulan yang lalu, dan baru ditemukan sebulan yang lalu.” Mori menjelaskan dengan datar. PRANG! Riko yang sedang mengangkat salah satu vas di atas meja, menjatuhkannya. Tentu saja terkejut dengan keterangan yang cukup seram itu. Hikikomori adalah gaya hidup yang mulai populer akhir-akhir ini. Gaya hidup menyendiri, tidak ingin bertemu siapa pun, menutup diri dari dunia. Dan tentu pada akhirnya akan meninggal sendiri, dan terkadang membutuhkan waktu lama sebelum ada yang menemukan jasadnya. Saat pertama kali mendengar tentang hikikomori, Ayu sempat tergoda karena tentu saja akan lebih mudah jika dia mengasingkan diri dari dunia, tidak lagi perlu memikirkan masalah maupun bertemu dengan siapa pun. Tapi Ayu kemudian sadar jika hikikomori juga bukan pilihan untuknya, karena dia sama sekali tidak bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa bekerja. Dan yang jelas, Ayu tidak ingin mati dalam keadaan sendiri. Terlalu menyedihkan. Bahkan jika itu Hide yang menemaninya saat sekarat, Ayu mungkin akan menerimanya. Mungkin. “Ck! Kau ke sini untuk menaksir dan mengukur bukan malah membuat keadaan semakin berantakan!” Ayu tersentak oleh teguran Mori untuk Riko. “Maafkan saya, Mori-san.” Riko bergegas membungkuk lalu membereskan pecahan vas itu. “Bereskan! Lalu masing-masing ke kamar untuk memeriksa keadaannya.” Mori menunjuk kamar yang ada di sekitar. Ayu menatap kamar yang di dekatnya, tapi tentu ragu. Bahkan Kyoko juga tidak tampak bergerak. Informasi yang diberikan Mori tadi, tentu mempengaruhi keberanian mereka. “Kenapa kalian malah diam? Semuanya sudah dibersihkan. Tidak akan ada bekas mayat apa pun di dalam kamar. Dan aku tidak akan memberitahu kalian di mana kamar tempat mayatnya ditemukan.” Mori menyeringai puas, tentu saja tahu apa yang membuat anak buahnya ragu bergerak. “Cepat bekerja!” desaknya. Riko, yang telah selesai membereskan pecahan, dan juga Kyoko bergerak memasuki kamar. Ayu tentu hanya bisa mengeluh dalam hati, sementara kakinya melangkah memasuki kamar yang paling terdekat dengan tempatnya berdiri. Ayu menahan napas tapi kamar itu memang kosong melompong. Tidak ada meja, hanya lemari penyimpan futon. Ayu tidak ingin memikirkan apa yang menyebabkan kamar itu menjadi kosong melompong dan mulai mengukur dimensi kamar, dan juga memeriksa keadaan dinding serta kayu yang menjadi kusen jendela dan pintu. Mengesampingkan hal horor dari keterangan Mori, Ayu juga sebenarnya sudah terbiasa dengan bagian pekerjaan yang ini. Pengecekan bangunan yang telah menjadi aset Shinigi adalah tugas utama Mori dan anak buahnya—baik Tim 1 maupun 2. Ini bertujuan agar data yang ada lebih akurat dari pada yang masuk sebelumnya. Data itu yang pada akhirnya nanti akan menjadi dasar untuk menentukan biaya renovasi—dan harga jual kedepannya. Ayu membungkuk, mengelupas wallpaper yang terlihat berbercak hitam, dan tampak tembok di baliknya lembab. Ayu jelas mencatatnya. Tembok yang lembab dan dinding yang berjamur adalah kekurangan yang harus diperbaiki. “Siapa kau?” Ayu mendongak, dan memandang Mori yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Ayu mundur dan menegakkan tubuh, mengernyit menatap Mori. “Maaf, tapi apa maksud Anda?” Pertanyaan itu tidak normal, karena tentu Mori tahu siapa dirinya. “Aku sudah melihat data dirimu, dan kau di bawah standar. Titel dan pendidikanmu tidak cukup untuk masuk Shinigi seharusnya. Tapi kenapa kau bisa ada di sini?” Mori bahkan tidak berusaha untuk membuat pertanyaan itu menjadi lebih sopan, atau tidak terlalu menyakiti. Wajah Mori datar, tidak tampak menghina, tapi jelas Ayu merasa terhina mendengar Mori menyebut di bawah standar, tentu saja itu menyengat dan menyakitkan. Selama dua minggu bekerja, Ayu sudah bekerja keras untuk mengejar, dan belajar tentang hal yang sama sekali baru untuknya. Hampir setiap hari Ayu pulang paling akhir, demi lebih tahu dan menghindari ketimpangan dalam Tim 2. Mori tersenyum, tapi masam. “Kehadiranmu terlalu aneh. Shinigi biasanya tidak akan menerima titipan, tapi sepertinya keadaan berubah. Aku sekarang penasaran, ingin tahu berapa lama kau bertahan di sini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN