Kesalahan Lain

1633 Kata
Hide yang duduk pada kursi kulit mengilat berwarna gelap, menatap dua orang yang membungkuk di depannya, dengan pandangan datar. Tapi diamnya Hide itu justru membuat dua orang itu terlihat gelisah. Mereka tahu jika Hide yang diam, lebih berbahaya daripada Hide yang bicara. “Siapa di antara kalian yang melukai tangannya?” tanya Hide. Setelah beberapa lama, pertanyaan akhirnya datang. Dua orang yang ada di depannya terlihat semakin gugup, saling menatap. Pernyataan itu menyiramkan ketakutan pada kegelisahan mereka yang menumpuk. “S...saya, Sandaime." (Ketua Generasi Ketiga) Pria dengan tato di pipinya menjawab terbata, sambil kembali membungkuk. “Yamada? Apa yang kau lakukan padanya?” Hide menyandarkan kepalanya, kini hanya menatap Yamada. “Saya menendang pecahan cangkir, tapi gadis itu memegangnya. Tangannya tergores karena itu.” Yamada bercerita dengan tubuh membungkuk semakin dalam, lebih dari sembilan puluh derajat. Hide menurunkan kakinya yang tadi saling menumpang, menghela napas. Gerakan kecil yang membuat Yamada mundur, ketakutan dengan apa yang akan dilakukannya. Tapi Hide tidak melakukan hal aneh, hanya menyisir rambutnya dengan jari. “Lalu itu salah atau tidak?” tanya Hide, lagi. “Salah. Sangat salah. Maafkan saya, Sandaime.” Yamada berlutut dan bersujud dengan kening menempel pada lantai. “Terlambat, bukan? Dia sudah terluka.” Hide hanya mengeluarkan kalimat pendek, dan keringat yang ada di kening Yamada semakin banyak. Seolah seluruh aliran darahnya mengacu ke kepala. Itu karena Yamada tahu benar jika kalimat singkat itu bisa jadi akan mengirimnya ke alam baka lebih cepat. Hide kurang lebih mengatakan jika dirinya sudah salah karena melakukan tugasnya dengan ceroboh. Dan karena luka tidak mungkin sembuh begitu saja, maka Yamada harus mempertanggungjawabkannya. "Apa aku perlu meminta salah satu kelingking tanganmu? Sepertinya akan cocok. Jari untuk jari juga. Ini..." “Ayolah! Kau tidak mungkin akan benar-benar menghukumnya, bukan? Itu hanya goresan kecil.” Pria yang sejak tadi berdiri di depan konter bar, menyela amarah Hide, lalu menghampiri dan mengulurkan minuman. Tapi Hide tidak menerima minuman itu. “Aku tidak meminta pendapatmu, Ryu!” Hide mendesis, dan Ryu hanya mengangkat tangan sambil tersenyum tipis. Sangat paham jika Hide sedang tidak bisa dibujuk. Ryu akhirnya hanya duduk di samping Hide, sambil menyesap minumannya. “Saya benar-benar tidak sengaja. Saya… sssaya hanya ingin membuatnya ketakutan. Seperti… seperti perintah Anda.” Yamada masih bersujud, membela diri dengan gugup. “Oh, perintahku? Jadi, maksudmu luka itu adalah salahku?” Hide membalik pernyataan Yamada sambil tersenyum sinis. “Bukan! Tentu saja bukan. Saya… Dia… Maksud saya, saya ingin membuatnya ketakutan agar dia tidak bekerja di tempat seperti itu lagi!” seruan Yamada jelas mengandung ketakutan yang semakin besar. “Hmm… Sayangnya kau tidak memakai otak saat melakukannya,” cela Hide. “Benar! Maafkan saya!” Yamada menerima hinaan itu dengan rela, asalkan nyawanya selamat. “Yah, paling tidak kau mengakui kalau otakmu itu tidak berguna.” Hide mengibaskan tangan. Bangkit lantas menghampiri Yamada, berdiri di depannya. "Maafkan saya, Sandaime!" Yamada semakin gemetar, dan mengatupkan bibirnya dengan sangat erat, saat perlahan ujung belakang sepatu Hide menginjak kelingking pada tangan kanannya. Hide menimpakan seluruh berat tubuhnya pada satu kaki itu. Yamada hanya berani mendesis menahan sakit, padahal kelingkingnya seolah remuk. Keluhan rasa sakit hanya akan membuat Hide semakin marah. “Pergilah!” kata Hide, setelah berhasil mengubah kelingking Yamada membengkak dua kali lipat dan berubah warna. Penghakiman yang membuat Yamada merasa mendapat selimut hangat saat badai salju musim dingin. Menyakitkan, tapi tidak seburuk dugaannya. “Terima kasih! Terima kasih, Sandaime!” Yamada bangkit, mengulangi bungkukan paling tidak lima kali, sambil memegang tangan kanannya. Dia baru pergi, setelah Hide mengibaskan tangan, mengulangi usiran. “Untuk apa kau menghukum hanya untuk luka seperti?” Ryu kembali menyahut sambil tertawa geli, setelah hanya tinggal mereka berdua di dalam bar yang belum beroperasi itu. “Karena aku benci kerja yang ceroboh. Dan kau jangan merusak suasana!” Hide menggeram, lalu berpaling menatap Ryu. “Apa kau sudah menyiapkan yang aku minta?” tanya Hide. “Tentu saja. Aku menggunakan otak untuk melaksanakan perintah itu.” Ryu mengangguk, menyindir dengan memakai kalimat Hide tadi. “Kau yakin tidak akan ada yang tahu?” Hide masih mengejar untuk kesempurnaan. “Tentu. Mereka tak akan tahu ini perintahmu, bahkan mereka juga tidak akan tahu jika aku yang menyiapkannya. Tapi terus terang saja, rencanamu ini bodoh.” Ryu menyebut bodoh dan dimaafkan. Hanya dia yang boleh menyebut Hide bodoh tanpa kehilangan nyawa. “Bodoh?” Tapi jelas Hide masih tersinggung. “Memang cukup pintar, karena dengan ini kau membuatnya tetap dekat denganmu, tapi kau juga seharusnya memakai kesempatan ini untuk membuktikan diri padanya. Membuatmu terlihat seperti malaikat baik hati yang berjasa,” kata Ryu, sambil menebar kedua tangannya di samping tubuh, menirukan wujud sayap malaikat. “Dan kau mengatakan aku yang bodoh!” Hide hanya mendengus, saat melihat Ryu mulai mengepakkan tangan seperti burung. Tentu Ryu yang terlihat bodoh sekarang. Hide berdiri meraih kunci mobil yang ada di meja, dan Ryu menggeleng tidak setuju saat melihatnya. “Apa kau akan kembali menjadi hantu membayang-bayanginya? Kau aneh!” Ryu mencela, sementara Hide berjalan keluar dari bar. Hide tidak menanggapi, terus berjalan sampai area parkir, lalu menjalankan mobilnya. Tebakan Ryu tidak salah. Seperti yang diduga, Hide pergi mengawasi Ayu—seperti hari sebelumnya, saat jadwal kosong. *** Ayu menyeret kakinya menyusuri jalan dari stasiun menuju ke rumah Hide. Jalan itu biasanya dilaluinya dengan ringan, meski selelah apa pun tubuhnya. Tapi khusus hari ini, jalan itu terasa begitu jauh dan lama. Ayu harus mengerahkan seluruh sisa tenaga di tubuhnya agar bisa terus melangkah. Apa yang terjadi hari ini memang membuatnya lemah lunglai, tidak berdaya. Kelelahan fisik yang bercampur dengan kelelahan pikiran. Ayu mencoba menguatkan diri setelah kehilangan pekerjaan yang tersisa. Ayu juga sudah mencoba untuk melamar ke berbagai tempat. Tapi sayangnya tidak ada yang berhasil. Entah karena mereka memang tidak membutuhkan tenaga tambahan, atau mungkin reputasinya yang buruk sudah menyebar, jadi mereka tidak menerimanya lagi bekerja di sekitar daerah itu. Tapi Ayu tentu tahu jika tebakan yang kedua itu adalah bayangan liar saja, yang didorong oleh putus asa. Ayu yakin, baik Kazuo maupun Iwata tidak mungkin sengaja menyebarkan tentang dirinya kepada pemilik restoran maupun swalayan lain. Keberadaannya tidak sepenting itu. Ayu menghela nafas dan menyingkir saat melihat sorot lampu mobil di belakangnya, tapi kemudian berhenti melangkah karena ternyata mobil itu berhenti di sampingnya. Ayu terperanjat, saat melihat Hide memandang ke depan, dari jendela yang terbuka. Dia pulang lebih awal dari biasanya. “Masuk!” perintahnya, masih belum menoleh, dan hanya duduk kaku menunggu Ayu untuk masuk. Jika pada hari dan keadaan biasa, sudah jelas Ayu akan menolak penawaran itu. Tapi saat ini Ayu benar-benar lelah, dan duduk di mobil sampai mencapai rumah terdengar seperti angin dari surga. Ayu membuka pintu dan duduk, tanpa menyapa maupun bicara apa pun. Dia hanya bersandar pada kaca mobil dan menatap keluar. Sedikit lega karena Hide tidak bertanya karena memang Ayu tidak ingin membahasnya. Hide hanya menjalankan mobil dalam diam sampai ke rumah, yang hanya memakan waktu sekitar lima belas menit. Ayu dengan sengaja melambatkan gerakan saat masuk ke rumah, karena tidak ada di depan Hide. Itu adalah sikap waspada menurut Ayu. “Ada surat untukmu.” Ayu tersentak, saat Hide menghentikannya langkahnya di ruang tengah, sambil menunjuk surat yang ada di meja. Hanya sekilas, dan Hide meneruskan langkah ke kamar. Surat resmi karena Ayu melihat amplop itu bertuliskan nama perusahaan. Ayu mengambil surat itu, dan membaca lebih teliti. Memang untuknya karena bertuliskan namanya dan alamat rumah ini. Tapi Ayu tidak mengenali nama perusahaan itu. Dengan tergesa, Ayu membuka dan membaca isinya. Melewati pembukaan basa-basi sekilas, dan langsung pada inti surat itu. [... karena itu kami ingin memanggil Anda untuk melakukan wawancara, berkenaan dengan mengisi salah satu posisi di perusahaan kami.] Ayu terkesiap sambil menutup mulutnya, tentu tidak mungkin siap dengan kejutan itu. Ayu meneruskan membaca. Tertulis tanggal jika wawancara itu akan dilakukan besok. Ayu langsung merasa jika ada seseorang yang menghidupkan lampu di dalam kepalanya. Pikiran yang tadi gelap karena putus asa, langsung hidup dan cerah. Tapi Ayu kemudian mengernyit. Penawaran itu terlalu bagus untuk jadi nyata. Ayu membalik amplop, dan kembali membaca nama perusahaannya. Ayu tidak ingat apakah dia pernah melamar pada perusahaan itu atau tidak, karena ada puluhan perusahaan tempatnya melamar. Ayu tidak ingat masing-masing nama perusahaan itu. Ada satu cara untuk meyakinkan. Ayu berlari menuju ke kamar, dan membuka laptop. Mengetikkan nama perusahaan itu pada pencarian. Dan hasilnya muncul. Shingi Fusaya Real Estate, perusahaan yang bergerak di bidang properti. Jual beli, investasi properti, dan dan juga pembangunan. Ayu kembali mengernyit. Mengingat-ingat dan memang ada beberapa perusahaan properti tempatnya mengirim lamaran pekerjaan. Tapi tidak ingat apakah Shingi termasuk atau tidak. Namun, Ayu memutuskan untuk menyingkirkan semua ketakutannya itu, karena sudah terlihat jika profil perusahaan yang tertulis di sana cukup bagus dan perusahaan itu memang benar-benar ada, bukan penipuan. Ayu mengangkat tangan ke udara. “YES!” serunya. Jika beberapa lalu Ayu mengutuk nasibnya yang sangat sial, maka sekarang Ayu ingin memeluk tubuhnya sendiri, karena ternyata ada rencana lain yang terbuka untuknya. Ayu tentu saja akan menerima pekerjaan apa pun yang ditawarkan oleh perusahaan itu, dan berencana untuk bekerja dengan bersungguh-sungguh di sana. “Kenapa kau berteriak?” Ayu yang tadi mengangkat tangan, menurunkannya lalu mundur menjauh dari pintu. Karena terlalu gembira tadi, Ayu lupa menutup pintu kamarnya, dan kini Hide berdiri di sana, menatapnya. “Aku... itu...” “Kenapa kau mendapat surat dari kantor real estate? Apa kau bermaksud menyewa apartemen? Kau mampu menyewa apartemen?” Terdengar sedikit ejekan di sana. “Bukan... Aku tidak... Pokoknya bukan.” Ayu tadinya ingin menjelaskan soal pekerjaan, tapi urung dan memilih untuk menyimpannya sendiri setelah mendengar ejekan Hide. “Aku tidak tahu kenapa mereka mengirim surat itu. Tidak jelas.” Ayu berbohong dengan kepala menunduk, jadi ia tidak melihat bagaimana Hide tersenyum tipis saat mendengar jawabannya, dan beranjak pergi. Ayu akan menyimpan rencananya ini, sampai nanti saat dia benar-benar bisa mandiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN