Memulai hari untuk berangkat magang sehari, memang seharusnya lebih semangat. Deril pun demikian. Deril memasukkan barang – barang yang telah disiapkan oleh Jessi untuknya. Tas ransel yang dia bawa cukup besar, sehingga semua barangnya bisa muat masuk kesana. Deril begitu antusias. Magang adalah cara mereka beradaptasi dengan dunia nyata. Memang pengumuman tugas akan dilaksanakan pada hari ke empat puluh. Tetapi mereka bisa magang di dunia nyata dengan pilihan mereka sendiri. Karena, biasanya mereka akan dapat petunjuk dari beberapa orang di lembah hijau. Ya, seperti Jessi memberitahu Deril apa tugasnya nanti. Beberapa kurcaci lain juga demikian, atau siapa saja disana bisa memberitahu tugas mereka.
Dunia nyata merupakan dunia yang sangat kejam. Dunia yang sudah mereka tinggalkan. Dan mereka akan segera terlahir kembali. Bertugas disana menjadi peri ataupun malaikat, bukanlah hal yang mudah. Mereka harus hidup beriringan dengan manusia. Serta harus menyembunyikan identitasnya dengan rapi. Bagaimana jika identitas mereka ketahuan manusia di dunia? Hal itu bukanlah hal besar, asal mereka sudah menghapus ingatan para manusia yang telah mengetahui identitasnya. Tapi, disetiap tindakan akan ada konsekuensinya. Setiap kali mereka menghapus ingatan, maka jam pasir akan berjatuhan lebih cepat. Waktu untuk mencari batu biru akan berkurang. Oleh karenanya, mereka harus sangat berhati – hati.
Langit sudah berwarna biru. Deril segera menuju tempat kereta de – compound berada. Steve mengikutinya. Ada rasa aneh dalam hati Steve. Rasa kehilangan itu sudah muncul, bahkan sebelum mereka berpisah. Diperjalanan itu hanya diam yang mengisinya. Deril dengan pikirannya sendiri, tentang bagaimana dia nanti bertugas. Sedangkan Steve berpikir bagaimana dirinya nanti setelah Deril bertugas. Hidup di Lembah hijau tanpa teman yang biasanya selalu ada, bukanlah hal yang mudah. Steve menata hatinya, mulai berencana apa saja yang akan dilakukannya nanti. Selepas temannya pergi bertugas.
Di sekitaran kereta sudah banyak para jonggyo yang datang. Mereka berbaris di depan gerbong pilihan mereka. Termasuk Deril, setelah mengisi daftae hadir. Dia segera berdiri di depan gerbong peri hutan. Dia sudah ikhlas menerima tugas itu, jika memang itu yang akan di umumkan besok. Deril sangat siap dengan segala rintangan yang akan dia hadapi. Jessi melihat ke arahnya. Mata mereka pun bertemu. Tak ada lagi sakit yang mereka rasakan. Ikhlas melepaskan pada pilihan masing – masing, merupakan puncak pada sebuah kesetiaan. Jessi tersenyum, Deril rasanya sangat ingin berlari ke arahnya. Namun, dia tahu, ini bukanlah saat yang tepat untuk sebuah pelukan.
Para guide memberikan arahan pada para jonggyo. Para guide memberitahu poin – poin penting yang harus mereka lalukan dalam magang itu. Hal – hal yang tidak boleh dilakukan, serta apa saja yang harus mereka bawa saat kembali. Pantangan paling besar adalah, mereka tidak boleh menemui keluarga mereka. Siapa saja yang melanggar, akan mendapatkan hukuman. Pengumuman tugasnya akan diundur entah sampai berapa lama. Sungguh hukuman yang sangat berat, bagi mereka yang sedang berbahagia menanti hari terlahir kembali.
Menjalani tugas sebagai jonggyo, merupakan satu tahap lebih dekat dengan terlahirnya mereka kembali ke dunia. Mereka tidak boleh menyia – nyiakannya, hanya karena rindu pada keluarga. Mereka harus menahan dalam hatinya. Sebab, setiap kelahiran mempunyai posisinya sendiri. Menjadi apa dia nantinya, seperti apa dia, dan ada dimana dia. Semua akan mereka jalani, tanpa perlu keluarganya yang terdahulu.
Steve hanya melihat Deril dari kejauhan. Tak ada kata yang terucap. Dia hanya mengamati temannya itu. Dia berpikir sendiri, bagaimana dia nanti. Apakah Jessi akan memberitahu tentang tugasnya? Atau bahkan dia akan sangat bimbang, karena tak tahu apa tugasnya nanti. Menurutnya Deril begitu beruntung, dia mempunyai Jessi yang siap membantunya kapanpun. Memberitahu tugasny, menyiapkan peralatannya, dan mencintainya. Sungguh sempurna, seandainya mereka hidup bersama di dunia nyata. Bukan disini.
Para jonggyo sudah masuk ke dalam gerbong kereta. Menunggu awan putih pertama muncul. Sebentar lagi mereka akan berangkat. Deril melambaikan tangannya pada Steve
“Steve, jangan kangen ya. Hahaha.” Ucapnya berteriak.
“Kangen sama kamu? No way.” Jawab Steve.
“Hati – hati.” Lanjutnya sambil melambaikan tangan.
Deril hanya tersenyum pada Jessi, Jessi pun demikian. Mereka tak ingin yang lain tahu tentang hubungan mereka.
Awan putih pertama sudah muncul. Peluit kereta sudah ditiup. Kereta itu mulai bergerak, gerbong demi gerbong yang sudah melewati lawang sudah tak terlihat. Para kurcaci sudah berhamburan pergi. Mereka yang mengantar temannya pun juga mulai berjalan pergi. Hanya Steve yang masih berada disana, dengan segala pikirannya sendiri. Jessi yang melihat hal itu segera menghampirinya.
“Ada apa?” tanyanya.
“Gapapa jes. Aku cuma sedang berpikir.”
“Berpikir tentang apa?”
“Kira – kira siapa yang bakal ngasih tahu aku ya nanti.”
“Ngasih tahu apa?”
“Tugasku. Deril mah enak ada kamu. Nah aku?”
“Hahahaha.” Jessi tertawa terbahak – bahak.
“Malah ngakak.” Ucap steve kesal.
“Begituan kamu pikirin?”
“Yaiyalah. Kan mau persiapan.”
“Steve, kamu nanti juga bakal tahu tugasmu kok.”
“Caranya?”
“Kamu harus baik – baik sama aku. Hahahaha.” Jessi tertawa lagi.
“Jangan menyalahgunakan kekuasaan dong.”
“Hahaha. Kamu kan dekat sama Albapante. Tanya saja sama dia.”
“Oh bisa ya?”
“Bisa. Tapi....”
“Tapi apa?”
“Kamu harus mau disuruh – suruh sama dia. Hahaha.”
“Sama aja bohong.”
“Ya tinggal pilih. Sama aku atau sama yang lain.” Ucap jessi sambil menahan tawanya.
“Terserah deh. Ga mau mikir itu deh. Puyeng.”
“Hahahaha. Tenang saja aku pasti membantumu.” Jawab jessi.
“Bener nih?”
“Iya bener.”
“Aku balik dulu deh. Selamat bekerja.”
Steve berlalu meninggalkan jessi. Jessi masih ngikik – ngikik sendiri mengingat jawaban dari Steve.
***
Di dalam kereta de – compound, para jonggyo asik dengan kesibukan mereka masing – masing. Di gerbong cupid sedang asik berbicara, tentang siapa yang akan mereka jodohkan nantinya. Di gerbong malaikat maut sedang serius, mengahafal cara agar para arwah dapat segera dituntun menuju lembah hijau. Di gerbong peri benang sedang asik menghafal warna benang. Begitu pula di gerbong peri hutan, tempat Deril berada. Mereka sedang asik ngobrol tentang berbagai tumbuhan, tentang bagaimana sikapnya, kesukaannya, dan apa saja yang mereka tidak sukai. Deril mendengarkan dengan seksama, saat teman seperjuangannya menjelaskan hal itu. Di gerbong lain pun tak kalah seru. Mereka seperti sedang perjalanan tamasya. Bernyanyi dan makan camilan.
Kereta kini melewati batas antara lembah hijau dan dunia nyata. Batas itu berupa gerbang yang sangat besar. Gerbang itu akan otomatis terbuka saat kereta de – compound melintas. Gerbang itu seperti pintu masuk ke istana. Dengan benteng yang tak kalah besar di kanan – kirinya. Disana banyak patung – patung kecil dengan senjata ditangannya. Konon katanya, patung itu adalah para penjaga disana. Siap saja yang tak mempunyai ijin melintas, akan dihadang oleh mereka.
Setelah melewati gerbang itu, pemandangan mulai berubah. Awalnya mereka hanya melihat hamparan rumput hijau saat di lembah hijau. Sekarang mereka mulai melihat bangunan – bangunan tinggi, sungai – sungai, dan rumah – rumah yang terlihat kecil dari tempat mereka berada. Layaknya sedang menaiki pesawat, mereka bisa melihat dari ketinggian kereta saat itu. Kereta invisible itu segera mendarat. Ada sebuah bangunan besar ditengah hutan. Tempat itu dikelilingi oleh pohon tinggi, berjajar seperti pagar alami. Kereta mulai memperlambat lajunya. Para jonggyo menyiapkan barang – barangnya. Bersiap akan turun beberapa saat lagi. Udara disana berbeda dengan di lembah hijau. Tempat yang sangat asri itu menghadirkan kenangan mereka saat hidup. Menghirup udara di dunia, seperti sebelumnya. Kereta de – compound sudah berhenti. Tepat diseberang bangunan besar itu. Bangunan besar itu bernama Blue house. Dimana semua keperluan administrasi dan segala keperluan jonggyo ada disana. Blue house merupakan tempat untuk mereka komplain, ataupun meminta bantuan. Bahkan untuk berhubungan dengan orang – orang yang masih ada di lembah hijau. Semua diurus dengan baik oleh para petugas disana.
Deril dan semua jonggyo turun dari kereta. Mereka melangkahkan kaki menuju blue house. Para guide mengajak mereka untuk berbaris sebentar. Mereka menjelaskan lagi, hal – hal yang mereka sebutkan sebelum berangkat dari lembah hijau. Setelah itu mereka diiringi masuk ke blue house untuk melakukan pendataan. Urusan administrasi sudah selesai. Semua jonggyo sudah mendapatkan id. Mereka pun diutus untuk segera melakukan magang. Para guide akan berjaga di blue house, mereka dibiarkan pergi sendiri dalam magangnya. Agar mereka terbiasa dengan kondisi itu. Mandiri dan bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Deril melangkahkan kakinya tak tentu arah. Dia hanya berjalan saja. Dilihatnya jonggyo lain pergi ke berbagai arah. Diapun demikian, pergi ke arah yang dia rasa benar. Deril terus melangkah. Hingga dia kekuar dari hutan tempat blue house berada. Deril segera mengambil kacang dari dalam tasnya. Dia berjalan sambil memakan kacang itu. Pemandangan di dunia memang sangat indah. Pemandangan yang sudah dirindukannya sejak lama. Kini dia melangkah disana lagi, menghirup udaranya lagi, bahkan bisa berkeliling ke tempat dimana dia sukai.
Deril berhenti di sebuah halte bis yang sudah tak terurus. Ada karat disana – sini, juga banyak sarang laba – labanya. “Mesti kemana ya ini?” ucapnya sendiri. Dia menoleh kekanan – kiri. Diseberang tempatnya duduk ada sebuah taman. Dia pun memutuskan untuk istirahat disana saja. Dia segera berjalan menuju taman tersebut. Deril merebahkan tubuhnya diatas rumput.
“Hei. Jangan disini dong kalau tidur. Kami kan jadi kusut.”
Der menoleh, mencari sumber suara. Tapi disana tak ada siapa – siapa.
“Malah tolah – toleh. Aku disini. Dibawahmu.”
Deril terbelalak, ternyata rumput yang berbicara padanya. Hal yang sangat tak terduga baginya.
“Oh maaf.” Ucapnya sambil segera bangkit, lalu duduk ditepian trotoar.
“Kalian gapapa?” tanyanya.
“Kalau kamu lama – lama rebahan tadi, ya bisa kusut.”
“Oh gitu. Maaf ya aku ga tau.”
“Kamu peri hutan ya?”
“Kok tahu?”
“Soalnya cuma peri hutan yang bisa denger kami ngomong.”
“Oh begitu.”
“Kami biasanya diinjak, diduduki, ditiduri sama manusia. Tampilan kami jadi kusut.”
“Oooh.”
“Jangan cuma ah oh saja. Kamu harus menghentikan mereka sebelum kami terinjak, terduduki bahkan dipakai alas tidur untuk mereka.”
“Caranya?”
“Buat mereka sadar, bahwa tulisan dilarang menginjak rumput disana itu bukan hanya pajangan. Tapi memang harus ditaati.”
“Ah baiklah, nanti aku akan melakukannya untuk kalian.”
“Kamu sudah bertugas? Atau masih magang?”
“Magang.” Jawab Derik singkat.
Kemudian ada seorang pemuda yang datang. Melihat aneh pada Deril yang berbicara sendirian. Pemida itu segera membersihkan beberapa ranting pohon yang ada di atas rumput.
“Wah dia baik sekali.” Batin deril.
Namun, ternyat pemuda itu akan menempatinya sebagai alas untuk tidur. Deril segera berlari ke arahnya.
“Hei. Jangan tidur disitu.” Ucap Deril.
Pemuda itu terbangun.
“Kenapa? Urus saja urusanmu.”
“Kamu bisa membaca kan?”
“Bisalah.”
“Baca tuh.” Kata Deril sambil menunjuk papan larangan menginjak rumput.
“Alah, ga ada penjaganya aja.” Jawabnya.
“Aku penjaganya. Cepat pergi dari sini. Kalau mau tidur, disana ada kursi. Tidur saja disana.” Ucapnya geregetan.
“Halah, bawel banget. Sok – sok an jadi penjaga.” Jawabnya sambil berlalu.
Deril merasa lega, dia sudah berpindah ke kursi. Satu pekerjaannya sudah terlaksana. Para rumput pun bersorak dan berterima kasih padanya. Deril merasa puas bisa membantu mereka. Deril pun melanjutkan perjalanannya. Dia berjalan menuju sebuah rumah yang terlihat kosong. Namun kamudian dia urungkan niatnya. Karena terlalu menyeramkan untuk kesana sendirian. Deril mencoba pergi ke daerah rumahnya. Dia berjalan menyusuri pinggiran sungai. Mencari jalan tercepat menuju rumahnya.
Dalam perjalanan itu Deril selalu mendengar suara – suara tumbuhan disekitarnya. Kemudian dia berhenti, dia mendengar suara tangis. Dia menajamkan pendengarannya, mencari tahu dimana sumber suara itu. Saat sudah yakin dimana sumbernya, dia lalu berjalan menuju asal suara tersebut. Benar saja, ada sebuah tumbuhan yang sedang menangis.
“Kamu kenapa?” tanya Deril.
“Aku kesakitan.”
“Sakit?”
“Iya, ada beberapa luka dibadanku. Lukanua cukup dalam dan lama keringnya”
“Mana?”
Deril terperangah saat dia melihat ada bekas goresan pisau disana. Manusia memang kurang kerjaan, mengukir namanya dipohon. Seperti tidak ada tempat lain saja. Batin Deril kesal.
“Lalu apa yang bisa aku lakukan untukmu?” tanyanya.
“Kamu bisa memberiku siraman air pada bekas lukanya.”
“Hanya itu? Haruskah dengan obat?”
“Tidak perlu obat. Air adalah penyembuh. Air sudah cukup bagiku.”
“Baiklah. Aku akan segera mencari air untukmu.”
“Terimakasih.” Ucap sang pohon.
Deril berjalan menuju sungai tadi. Dia mengambil sebuah botol bekas yang tergeletak diasana. Dia mengambil air, lalu dengan terburu – buru dia berlari menuju pohon tadi. Menyiramkan air tersebut pada lukanya. Pohon itu merintih kesakitan.
“Apakah sakit?”
“Sedikit. Setelah ini pasti akan cepat tertutup.”
“Lalu, kamu perlu apa lagi?”
“Tidak ada. Terimakasih sudah menolongku. Semoga batu birumu segera ketemu.”
“Sama – sama. Semoga saja. Hari ini aku masih magang. Belum bertugas.”
“Oh, kamu masih magang. Aku saranin kamu jangan terlalu jauh dari blue house. Nanti kamu bisa ketinggalan kereta.”
“Terimakasih sudah diingatkan. Aku akan segera kembali kesana.”
“Sudah berpa tugas yang kamu kerjakan?”
“Dua, dengan menolongmu.”
“Lakukan satu tugas lagi. Tapi di dekat blue house saja.”
“Aku pergi dulu.” Ucap deril sambil melambaikan tangan pada pohon. Deril baru sadar. Langkah kakinya sudah membawanya cukup jauh dari blue house. Dia segera berjalan menuju blue house lagi. Pupus sudah harapannya untuk melihat ke sekitar rumahnya dulu.
Hari sudah mulai siang, matahari berada tepat diatas kepala. Membuat Deril merasa kebausan. Dia mengambil minumannya dan meneguknya hingga habis. Deril memutuskan duduk ditrotoar untuk beristirahat dan memakan bekalnya. Karena dia ingat, duduk di rumput akan membuat mereka kesakitan.
Bersambung.