Mereka masih di dalam kamar. Menanti langit berubah warna lagi. Sungguh mendebarkan bagi Steve, sejak pengalaman itu membuatnya selalu merasa was – was.
Kemudian dia mengeluarkan sebuah buku catatan.
“Dapet darimana kamu?” Tanya Deril
“Ada deh.”
“Halah, sok misterius. Palingan dapet dari perpus. Ya kan?”
“Hehehe iya.”
Steve menulis
Strategi menghadapi albapante.
1. Apel (ibu pohon)
“Kira – kira apa lagi ya kelemahannya?” Tanya Steve.
“Ya mana aku tahu.”
“Kan kamu uda lebih lama disini. Coba ceritakan apa saja yang kamu tau soal dia.”
“Apa ya.”
Deril mengingat – ingat apa saja tentang albapante. Dia diam dan memejamkan matanya. Steve hanya mengamati temannya itu. Semenit. Dua menit. Lima menit. Sepuluh menit. Kok lama banget ya, batin Steve.
“Woi. Malah tidur.”
“Eh hehehe.”
“Nyengir kek kuda.”
“Kayanya ada nih yang bisa ngasih tau kita.”
“Siapa?”
“Lazardi.”
“Siapa dia?”
“Anak buah Albapante.”
“What. Emangnya dia bakal mau gitu bocorin kelemahan Albapante?”
“Ya dicoba dulu.”
“Caranya?”
“Nanti setelah makan kita temui dia.”
“Dimana?”
“Di kantin lah.”
“Loh kok dia ada kantin? Ga di rumah Albapante?”
“Dia lagi dihukum. Pelayanan memasak makanan.”
“Habis ngapain dia kok dihukum?”
“Yang aku denger sih, dia pernah mecahin jam pasir. Jadi pas dia ikut Albapante ke ruang jam pasir. Ga sengaja dia nyenggol jam pasir dan pecah deh.”
“Albapante tuh siapanya Lembah hijau sih?”
“Setahuku dia itu semacam ketua, kayak kepala sekolah gitu.”
“Kalo gitu harusnya kan kurcaci pink lebih akrab sama dia?”
“Iya, tapi kan dia bilang lupa ngembaliin tongkat sihir yang dia pinjem dari Albapante. Jelas bakal kena omel dan dihukum pastinya dia.”
“Makanya nyuruh kita buat balikin?”
“Iya, makanya kita kudu waspada. Albapante tuh homo. Kan serem kalo sampe dia ngapa – ngapain kita. Sebelum kesana baiknya kita bawa apel ibu pohon yang banyak. Biar dia kenyang dan ga aneh – aneh.”
“Semoga saja.”
Steve mengintip dari tirai kamar. Langit perlahan berubah menjadi ungu. Sedikit lagi mereka bisa keluar kamar dan segera makan malam. Terdengar langkah kaki di luar kamar. Seperti sedang berlari.
Tok tok tok.
Pintu kamar mereka diketok. Steve mengintip lagi dari tirai kamar.
“Ga ada orang.” Ucapnya.
“Udah jangan dibuka. Tunggu langit ungu bentar lagi.”
“Oke.”
Tok tok tok.
Steve mengintip lagi. Dan masih saja tidak ada siapa – siapa disana.
Tok tok tok.
Tok tok tok.
“Woi bukain.”
“Cepetan buka.” Ucap Deril.
“Siapa emangnya? Ga ada orang kok.”
“Kurcaci pink tuh. Cepet buka. Sebelum dia ngomel.”
Steve membuka pintunya. Jelas saja dia tidak melihat ada orang. Karena jika diluar rumah pohonnya, dia berubah menjadi kurcaci. Tingginya hanya sekitar paha orang dewasa. Kurcaci pink segera menerobos masuk. Dengan nafas yang masih ngos – ngosan. Dia segera mengambil minuman di atas lemari.
“Gawat.” Ucapnya kemudian.
Steve dan Deril masih diam sambil menunggu dia melanjutkan kalimatnya.
“Albapante nyariin aku.”
“Kan enak tuh tinggal balikin tongkatnya.” Ucap Deril.
“Gila. Bisa kena sihir dia nanti aku. Ayolah kalian yang balikin.” Ucapnya memelas.
“Emang kenapa sih kamu takut banget sama dia?” tanua Steve.
“Sapa yang ga ngeri kalo kena sihir.”
“Lah trus ngapain nyuruh kita?” sahut Deril ketus.
“Kan kalian ganteng.” Kurcaci pink segera menutup mulutnya. Ada sembur merah diwajahnya, malu.
“Oh jadi kami ganteng ya menurut kamu?” ucap Deril genit.
“Apaan. Hih. Jijik, matanya ga usah genit gitu.”
“Jijik tapi ganteng kan?”
“Keceplosan, aslinya engga.”
“Ah masak sih?”
“Bodo amat.”
Steve memandang mereka berdua.
“Kalian ini kok kayak pacaran sih? Berantem tapi kangen – kangenan ahhaahahhahaha” ucap Steve membuyarkan perselisihan mereka.
Keduanya terdiam, wajah mereka seketika memerah.
“Sudah – sudah. Jadi intinya ngapain kamu kesini?”
“Tadi kurcaci biru ngasih tau aku, kalau Albapante nyariin aku. Pasti gara – gara aku ga ngembaliin tongkat sihirnya nih.”
“Emangnya dia punya berapa tongkat sihir sih? Kok kamu bisa pinjem?” Tanya Steve.
“Ada beberapa. Aku pinjem satu. Buat ngerenov rumah pohon bulan lalu. Dan lupa balikin.”
“Aku bakal bantu. Tapi ada syaratnya.” Ucap steve.
Deril memandangnya ragu.
“Syarat apa?”
“Selain kamu harus jelasin apa aja yang aku bakal tanyain soal buku kemaren. Kamu juga mesti bantu nyari kelemahan Albapante. Biar kami bisa keluar dengan aman.”
“Kami?” ucap Deril.
“Iya dong. Hehe” sahut Steve.
“Kayanya aku tau sesuatu. Dia pernah menghindar waktu aku bawa si pertiwi ke rumahnya.”
“Pertiwi? Siapa lagi?” ucap Steve.
“Kucingku.”
“Emang reaksinya gimana waktu itu?”
“Dia menghindar, berjalan mundur sambil nyuruh pertiwi keluar.”
“Apa dia ga suka kucing? Atau alergi kucing?”
“Ah benar, sepertinya dia alergi kucing.”
Deril masih membisu. Bisa – bisanya mereka tak menghiraukannya.
“Jadi kelemahan kedua adalah kucing.” Ucap Steve.
Kemudian dia menuliskannya di buku catatannya tadi.
“Kalo kita bisa nemu 1 lagi kelemahannya. Aku yakin kita bisa keluar dari rumah Albapante dengan aman der.”
“Yakin kamu?”
“Yakin.”
“Bantu aku ya, secepatnya.” Ucap kurcaci pink.
“Kira – kira dia bakal nyihir aku g ya?” ucap Steve kemudian.
“Dia ga bakal berani lah nyihir kamu.” Jawab kurcaci pink
“Kenapa?”
“Dia ga punya kuasa untuk itu. Kalau dia ngelanggar, dia yang bakal habis disini.”
“Jadi?” lanjut Deril.
“Jadi kalian cuma harus ngindarin kehomoan dia aja. Pasti aman deh. Bantu ya. Please.”
“Kok ngeri ya sama kata kehomoan ini.” Sahut steve.
Deril meliriknya.
“Makanya jangan aneh – aneh. Lupain itu buku, aman sudah kita.” Lanjut Deril
“Emang kamu ga kasihan sama kurcaci pink?” jawab Steve.
“Ya mau gimana, kamu ga kasihan sama aku kalo dia raba – raba aku jes?”
“Jes?” ucap Steve.
“Kamu ga bakal diraba lah sama dia, kan kamu cantik gitu.” Jawab Kurcaci pink.
“Oh jadi aku tumbal dong nih?” Ucap Steve kesal.
“Tunggu dulu. Tadi kamu manggil dia apa? Jes?” lanjutnya.
“Sssstttt. Jangan keras – keras.” sela kurcaci pink.
“Tanya aja sama dia.” Jawab Deril.
“Jelasin.” Steve masang wajah garang.
“Namaku Jessi. Inget kan siapa pengarang buku itu? Jessi Alforld. Itu aku.”
“Oh tiap kurcaci punya nama?”
“Iya tapi rahasia.”
“Di rumah pohon kamu seperti manusia, kenapa di luar jadi kurcaci?”
“Ini adalah tugas kami. Sebenarnya wujudku ya yang di rumah pohon waktu itu. Kami bangsa peri akan berwujud berbeda saat bertugas. Ya sama kayak kalian.”
“Jadi, peri itu manusia juga?” tanya Steve penasaran.
“Kami adalah anak dewa. Kami yang lahir dengan kekuatan dewa, tidak bisa reinkarnasi. Disinilah kami, bekerja untuk lembah hijau.”
“Lalu kurcaci yang lain?”
“Mereka juga sama, mereka bisa memilih pekerjaan. Mau disini, atau di dunia. Jika di dunia ya mereka berinteraksi dengan manusia. Mereka biasanya mengurus arwah – arwah yang tak mau atau bahkan tak bisa kesini.”
“Arwah? Orang mati? Kayak aku?” sahut Steve. Sementara Deril masih saja mendengarkan, dia tidak menyangka ada cerita lain yang masih dia belum tau tentang Jessi.
“Iya, beberapa arwah yang tertinggal, atau luput terarahkan ya gentayangan. Ganggu manusia, ada juga yang bahkanerusak mereka. Seperti pesugihan dan lain – lainnya.”
“Kok aku merinding ya.” Ucap steve.
“Intinya, arwah ya harus disini bila ingin bisa lahir kembali. Kalau mereka tetap di dunia. Dan melewati masanya, bisa jadi mereka akan tetap jadi hantu. Yang seperti kalian tahu saat hidup. Vampirlah, sundel bolonglah, tuyul, dan banyaklah macemnya.”
“Malah disebutin lagi nama hantunya.” Ucap Steve takut.
“Halah udah jadi arwah juga takut hantu.” Deril nyeletuk.
“Kok sakit ya dikatain gitu.” Jawab steve sambil melirik sinin ke Deril.
“Kalo kalian udah tau kelemahan selanjutnya, tolong segera kembaliin ya. Ini tongkatnya kamu simpen. Aku pergi dulu.”
“Inget, jangan manggil namaku di depan umum.” Lanjutnya sambil menutup pintu.
Steve segera meletakkan tongkat itu di tempat yang aman. Deril masih saja membisu. Seperti ada yang sedang dipirkan olehnya.
“Kamu kenapa?”
“Ah engga, gapapa steve.”
“Yakin? Kusut gitu mukanya.”
“Engga kok gapapa.”
“Jangan kayak cewek dong, selalu bilang gapapa. Giliran ga dipeduliin bilangnya ga peka.”
“Hish.”
“Kamu mikirin jessi ya?”
“Eh.”
“Jujur deh. Kamu suka ya?”
“Mana ada aku suka sama dia. Kami cuma temenan.”
“Ya kan dari temen jadi demen.”
“Kamu ni, bawel banget ya ternyata.”
“Jujur aja. Ga usah malu.”
“Aku sama Jessi uda temenan sejak aku disini.”
“Lalu?”
“Ya saling bantu.”
“Terus?”
“Saling rindu.”
“Nah kan.”
“Eh anu maksudku...”
“Halah. Jujur aja.”
“Iya aku suka sama dia. Tapi....”
“Tapi apa?”
“Setelah mendengar kisahnya tadi. Aku jadi tau. Bahwa kami memang ga bisa bersatu.”
“Eh kamu bisa kok tinggal disini.”
“Maksud kamu?”
“Inget buku jodoh lembah hijau kemaren?”
“Iya.”
“Kan mereka milih buat selamanya tinggal disini. Kamu juga pasti bisa kaya mereka.”
“Kamu bener juga ya.”
“Gimana, uda tertarik buat bantuin aku sekarang?”
“Yoi. Semangat dong aku.”
“Tapi aku masih iri sama kamu.”
“Kok iri sama aku?”
“Ya abisan kamu cantik, kan Albapante ga bakal merepet ke kamu kalo ngebalikim tongkat.”
“Ahahahha. Kayanya dia juga ga bakal merepet ke kamu. p****t gede bukan tipenya Albapante.”
“Hahahahahaha.”
Mereka tertawa. Menertawai wujud mereka masing – masing.
Albapante memang orang yang sangat misterius. Berbahaya dan menyeramkan. Tapi ada seorang yang menganggapnya ramah dan baik. Yaitu Lazardi. Orang yang akan mereka temui setelah makan malam. Lazardi orang yang sangat setia padanya. Segala macam tugas selalu dia kerjakan dengan baik. Hanya saja tanpa sengaja dia memecahkan jam pasir saat bertugas membersihkan ruangan. Albapante hanya diam, tidak marah, lalu menyuruhnya menghadap komisi disiplin. Dan disanalah dia sekarang. Kantin. Menjadi pelayanan makanan.
Segera setelah langit berubah ungu. Mereka pergi ke kantin. Setelah mengambil makan dan duduk. Sesekali mereka melirik ke arah Lazardi.
Kantin sudah berangsur sepi. Para penghuni lembah hijau telah berhambur pergi dari kantin. Mereka berdua segera mendekati Lazardi.
“Hai.” Sapa Deril.
“Ya?”
“Aku Deril dan ini Steve.”
“Aku Lazardi. Ada perlu apa ya?”
“Kami butuh bantuanmu. Boleh bicara sebentar?”
“Boleh.” Lazardi meletakkan piring kotor yang tadi dipegangnya. Mereka berjalan menuju salah satu meja dan duduk disana. Steve dan Deril mengapitnya, Lazardi berada ditengah – tengah mereka.
“Apa yang bisa aku bantu?” tanyanya.
“Emmm. Kami mau bertemu Albapante.”
“Ya tinggal pergi ke rumahnya saja kan?”
“Tapi kami butuh informasi mengenai dia.”
“Informasi apa?”
“Emmm. Kira – kira Albapante sukanya apa ya? Kami mau bawa sesuatu buat dia.” Ucap Steve berhati – hati.
Lazardi melihat ada keanehan dipertanyaan itu.
“Sebelum aku jawab itu. Memangnya kalian ada perlu apa sampai mau ketemu dia?”
“Ada yang mau kami kembalikan padanya.”
“Apa?”
“Ada pokoknya.” Ucap deril menyela. Takut Steve akan berkata jujur soal tongkat Albapante.
“Kalian bawa saja apa yang mau dikembalikan. Aku tak punya jawaban untuk pertanyaan kalian tadi.”
“Permisi.” Lanjutnya sambil pergi menyelesaikan tugasnya.
Deril dan Steve kecewa, mereka tidak mendapatkan informaso sedikitpun dari Lazardi. Sepertinya dia tidak suka dengan pertanyaan mereka tadi. Steve dan Deril segera pergi dari kantin. Mereka berjalan sambil saling diam. Mereka lebur pada pikirannya masing – masing. Tidak ada Strategi ketiga.