Albapante

1969 Kata
  Kurcaci pink merasa puas dengan jawaban kedua orang itu. Kini dia sedang mencari sebuah benda yang nantinya akan dia serahkan pada mereka berdua. Sementara Deril dan Steve saling berpandangan. Mereka merasa ada yang tidak beres dengan senyuman kurcaci pink. “Ketemu.” Kurcaci pink setengah bersorak. “Apa itu?” ucap Steve dan Deril serempak. “Ini adalah tongkat sihir milik albapante.” “Hah?” Deril langsung lemas. “Eh kenapa emangnya?” sahut Steve. “Albapante itu seorang penyihir terkenal di Lembah hijau. Kekuatannya tak tertandingi. Tapi...” “Tapi apa?” Steve penasaran, sedangkan Deril masih saja lemas. “Tapi dia suka sesama cowok. Hahahaha.” “Maksudnya gimana nih?” “Jadi tolong kembaliin tongkat ini. Abis aku pinjem bulan lalu. Dan aku lupa mau balikin, kalo aku sendiri yang balikin bakal runyam nantinya. Tapi kalo cowok – cowok kayak kalian sepertinya dia bakal lupain kesalahanku telat ngembaliin tongkatnya.” Kata Kurcaci pink sambil mengedipkan mata kearah Deril. “Gila. Ga mau aku.” Ucap Deril. “Eh, gimana – gimana?” Steve masih saja ga mudeng. “Kamu lagi dijadiin tumbal sama dia.” “Ya ga juga, kan ada imbalannya.” Sekali lagi dia mengedip ke Deril. “Ogah aku ogah.” “Yah kalo ga mau dikasih tau siapa pasangan itu ya udah gapapa.” “Eh jangan dong, ayo dong ril. Bantuin.” “Gila, gamau gamau.” “Penasaran banget nih aku.” “Ya udah balikin sendiri. Aku sih ogah.” “Terserah sih, kalian mau berdua atau Steve aja juga gapapa.” Ucap Kurcaci pink sambil ngedip kali ini ke Steve. “Kalian pikirin dulu deh. Kalo uda mutusin, tinggal kesini aja.”  Steve masih saja merengek pada Deril untuk membantunya. Dia benar – benar penasaran siapa mereka dan bagaimana mereka bisa menawar lalu berhasil tinggal selamanya di lembah hijau. Sedangkan Deril masih kekeh ga mau. “Ayolah ril bantuin.” Steve masih saja merengek disetiap langkah kakinya. “Aku kasih tau ya. Dia itu penyihir homo. Kamu ga ngeri apa?” “Ya kan cuma ngembaliin, trus kita balik.” “Kamu kira segampang itu ngadepin albapante?” “Lah emang gimana?” “Dia tuh terkenal homo, banyak laki – laki yang minta bantuan dia. Tapi pada ahirnya mereka hilang. Bahkan pihak lembah hijau pun tak bisa berbuat apa – apa.” “Hah, jadi susah keluarnya kalo sudah disana gitu?” “Begitulah. Kamu mau ga bisa hidup lagi?” “Enggalah.” “Yaudah lupain penasaranmu soal buku itu. Siapa mereka dan bagaimana cara mereka bisa seperti itu. Lupakan.” “Tapi aku penasaran.” “Emang kamu ada rencana mau tinggal disini?” “Engga sih, penasaran aja gitu.” “Gila.” “Kira – kira ada ga ya yang pernah lolos dari penyihir itu?” “Ada. Tapi udah bertugas orangnya. Jangan aneh – aneh. Sudah lupakan.” “Ayolah ril, ayo.” “Ogah, tinggal beberapa hari lagi aku bertugas. Ogah kalo mestu berurusan sama dia.” “Ya udah deh. Aku sendirian aja yang kesana.” “Hah serius? Yakin?” “Iya.” “Semoga berhasil. Pokoknya aku udah ngasih tau. Kalo kamu masih ngotot, ya silahkan.” “Ya da usah sewot gitu. Ga sekarang juga aku kesana. Aku harus ngumpulin data dulu. Aku bakal cari tau, apa aja kelemahan – kelemahannya. Baru deh kesana. Gimana? Masih ga mau bantu?” “Nunggu hasil riset data kamu dulu aja, kalo mungkinkan aku bakal bantu. Kalo ga, ya semoga berhasil.” “Gitu dong.” Mereka lanjut berbincang segala hal. Ahir – ahir ini Deril memang sedang membiasakan diri ngobrol sama tumbuhan. Kadang Steve iseng ikut nimbrung. Itung – itung latihan katanya. Deril menceritakan ada sebuah pohon yang aneh di ujung pagat selatan lembah hijau. Pohon itu berbentuk seperti orang yang sedang berpelukan. Tadi saat Deril sedang ngeluyur tak tentu arah, tiba – tiba dia melihatnya. Deril yang penasaran menghampiri pohon itu. Dilihatnya dengan teliti, kedua pohon itu memang seperti berpelukan. Ada sebuah nametag yang menempel pada masing – masing pohon. Ara dan Iro. Steve yang mempunyai penasaran tinggi meminta Deril untuk mengajaknya kesana nanti. Tentunya setelah jam bersih – bersih selesai. Langit sudah berganti menjadi hijau, saatnya mereka membersihkan lembah hijau. Steve segera mengambil peralatan dan memilah sampah secepat mungkin. Dia begitu ingin segera melihat pohon yang diceritakan Deril tadi. Banyak hal baru di Lembah hijau dan segalanya menarik. Hal – hal kecil yang aneh tapi menyenangkan. Sesekali Steve melirik Deril yang kepayahan memilah sampah kaca yang begitu banyak. Sepertinya banyak yang patah hati didunia nyata saat ini. Steve benar – benar begitu antusias, pekerjaannya pun selesai dengan cepat. Kini dia membantu Deril membersihkan sampah diarenya. Tangan – tangan Steve begitu cekatan, seakan dia sudah hafal dan sudah terbiasa dengan pekerjaan itu. Deril merasa Steve sungguh – sungguh dengan segala niatnya. Ada rasa tersentuh dan ingin membantunya mencari tau kebenaran soal buku tadi. Derik dan Steve segera membereskan peralatannya dan pergi. “Kamu kok bisa cepet banget ngebersihinnya? Bahkan bantuin aku.” “Ya kan mau cepet – cepet lihat pohon yang kamu ceritakan.” “Kalo kamu beneran nemu cara biar bisa keluar dari rumah albapante, aku bakal nemenin kamu kesan.” “Serius? Maksih, kamu memang sahabat terbaik.” Ucap steve sambil merangkul temannya itu. Pertemanan setelah mati. Lucu memang, tapi itulah nyatanya. Mereka dipertemukan setelah mati, tapi rasa pertemanan itu begitu kuat dan berarti bagi mereka. Mereka selalu bekerja sama dan hampir selalu bersama. Kecuali saat dimana Steve tiba – tiba menghilang dan datang dengan informasi – informasi baru yang didapatnya. Bahkan sekarang, Steve lebih jago dalam urusan rasa penasaran yang terobati, daripada Deril yang sudah lebih lama di Lembah hijau. Lembah hijau memang begitu indah dengan segala rahasianya.  Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah mulai ditumbuhi lumut. Mengisyaratkan bahwa jalan itu jarang dan bahkan hampir tidak pernah ada yang melewati. Sesekali Steve hampir terpeleset karena licinnya lumut dijalan itu. Dipercabangan jalan Deril mengarahkan Steve untuk berjalan ke arah kanan. Diujung jalan itulah pagar selatan berada. Dimana berdiri 2 buah pohon yang berpelukan. Steve terperangah melihat pemandangan itu. Pemandangan yang begitu indah. Mereka terlihat berpelukan, dengan beberapa batu kecil di sampinf kanan kirinya. Layaknya 2 orang bersama anak – anaknya. Sungguh Steve tak berkedip. Dia menyentuh pohon itu. Mulai dari dahan yang berbentuk seperti tangan, daun yang letaknya persis seperti rambut bahkan batu disamping pohon pun dia sentuh. Seakan ada kekuatan magis. Steve terhipnotis. Tiba – tiba dia menangis. “Kenapa kamu?” Steve menoleh masih dengan tangisannya sambil berkata “Tanganku kena sengat lebah.” “Astaga, aku kira kesurupan.” “Emangnya ada ya arwah kesurupan?” “Iya juga ya, ada ga ya?” “Kok malah bahas kesurupan sih. Bantuin ini tanganku sakit.” Ucao Steve masih dengan meweknya. Tiba – tiba terdengar suara gerakan. Keduanya terdiam. Saling pandang. Melirik kesana – kesini mencari jawaban. Serempak keduanya langsung berjongkok di depan batu – batu kecil disamping pohon. Mereka waspada, siapa tahu ada sesuatu yang berbahaya. Lembah hijau masih menyimpan banyak misteri bagi Deril, walaupun dia sudah cukup lama disana. Apalagi Steve, pengalamannya dengan buto membuat dia menjadi semakin parno. “Hai.” Ada yang menyapa mereka sambil mengedipkan mata dan memelintir lumut panjang diatasnya, seperti memainkan rambut. Deril dan Steve terperangah. Mereka kaget melihat batu di depan mereka berubah. Dia berubah wujud seperti seorang gadis kecil. Dengan manjanya dia memilin – milin rambut lumutnya. Kemudian batu – batu lainnya juga mulai bergerak dan menunjukkan wujud mereka. Mereka seperti anak – anak kecil. Kedua pohon yang berpelukan itu pun melepaskan pelukannya dan berwujud seperti laki – laki dan perempuan. Benar dugaan Deril mereka seperti keluarga, ayah ibu dan anak – anaknya. Deril dan Steve masih berjongkok. Mereka tak berani bergerak. Saling pandang tak mengerti apa yang harus dilakukan.  “Hai.” Dia menyapa mereka lagi. “Hai.” Steve memberanikan diri menjawab. “Kalian ngapain disini?” tanya pohon yang sosoknya seperti ayah. “Ga ngapa – ngapain.” Ucap steve cepat. Sedangkan Deril masih diam saja. “Kayaknya kemaren aku liat kamu lewat sini.” Kata pohon ibu sambil menunjuk ke arah Deril. “I iya benar.” Jawabnya. “Ga usah takut. Yuk temenan. Nama aku Alfa.” Kata batu kecil di depan mereka. “Steve.” Ucapnya sambil mengulurkan tangan. Tangan batu kecil itu menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Kemudian dia mengarahkan tangan batunya ke Deril. “Deril.” Jawab Deril. “Panggil saja kami ayah dan ibu.” Kata pohon ibu. “Berdirilah.” Lanjutnya. “Maaf. Kalau kami mengganggu.” Ucap deril. “Ah engga kok. Kami malah senang kalo ada yang kesini dan bermain sama anak – anak.” “Kamu ini makhluk apa? Manusia? Pohon? Manusia pohon?” ucap Steve penasaran. “Hus dijaga kalo ngomong.” Sela Deril. “Gapapa. Gapapa. Hahahaha lucu juga kamu. Kami ini makhluk asli Lembah hijau. Kami disini mengatur kebutuhan para tumbuhan. Kami menjaga mereka.” “Peri hutan?” sahut Steve. “Bukan, bukan peri hutan. Peri hutan tugasnya ya di dunia nyata. Kalau disini ya kami inilah ayah – ibu pohon yang mengatur.” “Kalian ga usah takut. Anggap saja kami ini seperti para kurcaci. Masing – masing punya tugasnya sendiri disini.” Lanjut ibu pohon. “Ibu pohon. Apakah cuma kalian berdua aja pohon yang bertugas?” “Iya.” “Kalian kesini mau ngapain?” tanya ayah pohon lagi. “Anu ayah. Kami penasaran. Eh lebih tepatnya saya penasaran. Kemaren Der cerita kalau melihat ada dua pohon berpelukan. Saya ingin melihatnya. Disinilah kami sekarang.” Jelas Steve. Deril masih saja diam. Dia masih canggung dan malu. Karena kemarin saat melihat pohon itu dia sempat berucap  “Seandainya bisa berpelukan sama kurcaci pink seperti pohon itu.” Dan mungkin saja mereka dengar. “Kalian sudah disini. Ayo main sama kami.” Rengek Alfa. Steve segera menarik tangan Deril.  “Ayo.” Katanya. “Kemana kita?” tanya Steve. “Main petak umpet yuk.” Jawab Alfa girang. Mau tidak mau Deril pun ikut bermain. Mereka berlarian dan saling berkejaran merebut poin, siapa yang memencet tombol duluan saat menemukan lawannya yang sembunyi dialah yang mendapatkan poin. Steve berjaga. Anak – anak batu itu berlarian mencari persembunyian. Deril pun ikut sembunyi. Setelah hitungan kesepuluh Steve segera mencari mereka. Tak sulit menemukan batu diantara rumput. Dimana ada batu besar dia hampiri. Dan benar, itu salah satu dari 4 anak batu. Namanya Alma, Tinggal 3 lagi dan Deril yang belum ketemu.  Steve mondar mandir dan melihat senyum aneh dari ibu pohon. Dia pun menggampirinya. Belum juga Steve sampai di tempat ibu pohon duduk. Alfa sudah berlari, batu itu berlari dengan cepat. Dia berlari, bukan berguling. Steve pun tak mampu mengejarnya. Sampailah alfa pada tombol dan memencetnya duluan. “Aku menang.” Ucapnya kegirangan. Disusul oleh 2 batu lainnya. Alfred dan Aldo. Deril pun tak ingin kalah, dia segera berlari dari persembunyiannya dan memencet tombil. Steve kalah, lagi dan lagi. Mereka bercanda dan tertawa bersama. “Istirahat dulu, ayo kesini semua.” Ucap ibu pohon. Mereka berhambur ke arah ibu pohon berada. Kemudian duduk bersama. Ibu pohon memetik buah apel di salah satu dahannya.  “Coba icipi buah ini. Segar sekali.” “Wah, terimaksih ibu pohon.” Sahut Steve saat menerima buah apel itu. “Terimakasih.” Ucap Deril malu – malu. Mereka sangat menikmati buah apel itu. Rasanya manis dan segar dengan banyak kandungan air didalamnya. Sangat bagus untuk pelepas haus setelah berlarian kesana – kesini.  “Kalian tau, semua suka buah ini. Termasuk sang penyihir yang terkenal galak itu. Hahaha.” Ucap ayah pohon. “Penyihir?” sahut Steve dan Deril bersamaan. “Iya, si Albapante. Dia tidak akan galak sama kami. Karena hanya kami yang bisa memberinya buah apel selezat ini.” Lanjut ayah pohon. Senyum menguar diwajah mereka berdua. Satu sudah kelemahan Albapante mereka ketahui.  “Boleh ga kalo kami minta buah apel lagi?” “Boleh.” Sahut ibu pohon seraya akan memetik apel lagi. “Tidak sekarang ibu, ini cukup. Kami akan memintanya saat waktunya tiba. Boleh?” “Boleh saja. Kalian tinggal kesini saja. Nanti aku pasti memetiknya untuk kalian.” “Terimaksih sebelumnya ibu pohon.” Ucap Steve antusias. Mereka segera membersihkan sisa buah apel mereka dan meminta izin untuk kembali ke kamar. “Kami balik dulu ya ayah ibu.” Ucap Deril. “Hati – hati. Sebentar lagi langit akan berganti oranye. Waspada, cepatkan langkah kaki kalian.” Jawab ayah pohon. “Ah benar, langit oranye. Kita harus cepat.” Sahut Steve. Dia masih jelas mengingat kejadian itu. Dia tak ingin mengulanginya lagi, ah sungguh hal terburuk jika itu terjadi lagi. Deril merasa ada yang aneh dengan temannya itu.  “Memangnya kenapa dengan jam kamar?” “Sudahlah ayo cepat. Nanti kalo sudah sampai dikamar aku ceritain.” Ucap Steve sambil berlari. Mereka berlari secepat yang mereka bisa. Beruntung, mereka sudah dikamar saat langit berubah menjadi oranye. Nafas mereka masih ngos – ngos an. Steve segera menutup pintu dan tirai kamar. Dia benar – benar trauma dengan kejadian itu. Seram dan menakutkan baginya. “Ada apa sih emangnya saat langit oranye?” “Kamu ingat ga, waktu aku ga ada dikamar saat langit oranye?” “Iya kamu kemana?” “Aku masih dijalan menuju kamar setelah dari perpus. Tapi tiba – tiba ada buto yang lewat. Bentuknya serem banget. Matanya, mulutnya, tangannya, kakinya, duh pokoknya serem deh.” “Hah buto?” “Sssssstt.” “Jangan keras – keras.” “Kenapa?” “Rahasia. Ini rahasia jam kamar. Setiap langit oranye ada buto yang lewat untuk pergi ke sungai gembong.” “Seriusan? Kamu ga ngarang kan?” “Serius. Aku ditolong oleh para kurcaci. Kamu lihat kan kemaren para kurcaci sinis melihat padaku saat kita papasan sama mereka?” “Iya aku ingat. Pantas saja kurcaci pink minta syarat aneh. Kayanya dia mau ngerjain kamu deh Steve.” “Bisa jadi sih.” “Ah pokoknya jangan langgar aturan apapun. Aku kapok.” Ucap steve sambil mengintip dibalik tirai kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN