06. Pemimpin

812 Kata
Di pekarangan rumah, Ayub jongkok mengelap robot bermesin handal yang setia mengantarkannya kemanapun pergi. Tak lain motor gede kesayangan, baru saja ia menjemputnya dari bengkel. Tanki bagian samping membentuk cekungan sebesar telur ayam alias penyok. Ayub mengusapkan kain lap ke badan motor, sesekali kain dicelup ke dalam ember berisi air. Sekilas kepalanya melongok mengamati rumah berjarak dua rumah dari tempat tinggalnya, tak lain rumah kontrakan Salwa. Tumben, hari ini pintu rumah terbuka. Biasanya, rumah itu seperti tak berpenghuni. Pintu dan jendela tertutup rapat. Tak pernah terdengar suara TV. Hanya sepasang sendal pink yang tergeletak di depan pintu yang menunjukkan bahwa rumah itu sesekali masih dihuni. Seminggu terakhir, Salwa memilih berdiam diri di rumah. Tidak pergi sekolah. “Assalamu’alaikum…” “Wa’alaikumussalam warahmatullah.” Tangan Ayub berhenti menngusap, kepalanya mendongak menatap wajah yang mengucap salam. Dan… what? Hampir Ayub melompat karena kaget melihat wujud di depannya. Zulkifli. Kirain manusia planet mana? Lelaki bertubuh kurus itu berdiri menyandarkan tangan kanannya di jok motor milik Ayub. “Zul? Kamu baik-baik aja?” Ayub berdiri menyambutnya, setengah kaget bercampur gembira. “Kayak yang kamu liat.” Zul merentangkan tangan sembari mengangkat bahu menunjukkan bahwa kondisinya sangat baik. “Memangnya kenapa? Nggak ada hal buruk yang terjadi padaku.” “Gimana nggak cemas? Kamu ngilang setelah terjadi ledakan bom bunuh diri di hotel itu. Namamu memang nggak ada diantara korban yang disebutin di TV, tapi tiba-tiba kamu ngilang, itu yang bikin aku khawatir. Ponselmu juga mati. Aku nggak tau harus ngubungin siapa buat nyari informasi tentangmu. Temen-temen kampus juga banyak yang nanyain kamu. Tapi syukurlah kamu nggak kenapa-napa.” “Nyantai aja, bro. Aku sehat wal’afiat.” Ayub menarik napas. “Teroris, bikin kekacauan di mana-mana. Bahkan membunuh anak-anak yang nggak berdosa. Meresahkan.” “Jangan ngomel. Dosa. Anggap aja mereka bertujuan jihad,” sahut Zul ringan. “Jihad ke Palestina mungkin akan lebih jelas, berperang melawan manusia-manusia serakah yang merampas kehidupan umat muslim. Lalu kenapa mereka harus mempertaruhkan nyawa untuk tujuan yang nggak dimengerti gini? Mulai dari hadis sampai ke ayat-ayat Al Quran, aku belum pernah nemuin ajaran yang ngajakin bom bunuh diri. Justru Islam ngelarang kekerasan dan merusak. Apalagi membunuh tanpa dasar. Ya udahlah, yang penting kamu nggak apa-apa. Itu lebih dari cukup.” “Wow… Aku kagum sama kamu. Jadi begini otak jebolan pondok. Bawaannya religi mulu. Lalu, menurutmu orang-orang yang ngelakuin bom bunuh diri itu bukan muslim?” selidik Zul menaikkan dagu. “Jiwa muslim adalah yang ngikutin kebenaran Al Quran, yang di dalamnya terdapat ajakan, ajaran dan perintah tentang kebaikan. Mengaku muslim tapi bukan muslim, yang kayak gitu itu banyak.” “Termasuk yang kamu anggap teroris?” Ayub tidak menjawab. Cukup hati Zul saja yang menjawab. “Kalo dulu rakyat memerangi penjajah Belanda, Jepang, dan negara-negara lain yang menginjak-injak harga diri bangsa, tapi sekerang rakyat berperang melawan ketidakadilan dan keserakahan yang datangnya dari dalam negeri sendiri, para koruptor,” desah Zul. Dan dengan antusias ia berkata, “Mereka mencuri hak rakyat tanpa perduli malaikat pencatat amal dan Tuhan yang Maha melihat. Bahkan para wakil rakyat yang seharusnya membela kepentingan rakyat, justru memikirkan kepentingan pribadi. Masih banyak yang harus dipikirkan, ribuan orang hidup dalam kemiskinan. Tapi mereka justru menuntut negara agar menggelontorkan uang hanya demi membela kehidupan mewah.” Zul menggebu-gebu. “Seharusnya yang jadi pemimpin adalah orang yang punya iman kokoh, sehingga ia amanah dengan tugas. Mungkin karena itulah Tuhan mengirim teroris untuk mereka.” Ayub tersenyum melihat Zul berambisi. Selalu begitu setiap membahas segala sesuatu yang berbau pejabat negara. Zul memiliki pemikiran buruk pada mereka yang berkuasa. “Ya udahlah, nggak penting juga dibahas. Biar itu jadi tanggung jawab mereka di hadapan Allah.” Zul duduk di lantai halaman, tepat disisi Ayub yang telah duluan duduk sambil mengelap motor. “O ya Ayub, Abah Rasyid sakit apa?” “Serangan jantung,” singkat Ayub. “Kapan meninggalnya?” “Dua minggu yang lalu.” “Seandainya aku disini, aku pasti ikut memakamkannya. Ledakan bom di hotel waktu itu ngebuat aku perlu nenangin diri dari keramaian. Trauma. Aku butuh menyendiri.” Zul merangkul bahu Ayub. Menarik nafas panjang dan berkata, “Aku turut berduka.” “Sampaikan ucapan itu pada Salwa. Dia butuh motivasi agar tetap tabah.” “Salwa? Siapa itu?” “Puteri dari Almarhum Abah Rasyid,” terang Ayub. “Tapi aku nggak pernah tau soal itu.” “Aku juga baru tahu. Salwa baru datang dari Bandung.” “Oke, aku mau nemuin Salwa buat ngucapin bela sungkawa.” “Pergilah.” “Ayo, temenin. Nggak mungkin aku kesana sendirian.” “Oke.” Ayub meletakkan kain lap ke dalam ember. Mereka berjalan beriringan. Dan terhenti ketika sampai di depan rumah kontrakan Salwa. Pemandangan di halaman rumah membuat keduanya bersitatap heran. Seperti kapal pecah. Koper, tas, buku-buku, pakaian dan bermacam benda lainnya berserak di lantai halaman yang sempit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN