Dua bulan berlalu.
Ayub terkesiap saat gadis itu menatapnya. Seketika, ia menjelma menjadi makhluk kaku laksana manekin. Keringat dingin mencuat ke permukaan keningnya dan menyengat mata. Dengan tubuh gemetar, ia menyeret langkah mundur, gadis itu berjalan mendekatinya.
“Ayub Al Hafiz!” panggil Gadis berambut panjang itu memecah keheningan. Tatapannya yang seakan-akan menelanjangi, membuat Ayub berpaling dengan wajah seperti terbakar dan jemari yang sedingin es. Pandangan gadis itu turun ke rahang kokoh, ke d**a bidang, lalu ke perut six pack berotot yang terbentuk jelas melalui kemeja Ayub yang ketat. “Kau sangat menawan!”
Tubuh Ayub membeku saat punggungnya membentur dinding. Gadis itu menjulurkan tangan dan membelai dadanya hingga membuat lehernya tercekat, kesulitan menelan saliva.
Jangan mendekat! Ini dosa.
Sayangnya kalimat itu hanya Ayub telan dalam hati. Mulutnya tak bersuara dan tubuhnya masih sama, gemetaran.
Gadis itu berbisik, “Aku sayang kamu!” Tangannya menggenggam kerah kemeja Ayub lalu menariknya kuat, hingga dalam posisi yang tidak terkendali, tubuh Ayub terjerembab ke lantai bersama dengan tubuh gadis itu di bawahnya.
“Ya Tuhan….” Lirih Ayub seiring dengan kelopak matanya yang terbuka.
Ah, mimpi yang sama dan sudah yang kedua kalinya. Ia mengusap bulu roma di belakang lehernya yang meremang, mengacak rambut sekali sisir dengan jemari lalu mengusap wajah. Merenung sesaat merasakan detakan jantung yang berpacu tiga kali lebih cepat.
Gadis itu, beberapa kali muncul di dalam mimpi dengan penampilannya yang ala-ala kebarat-baratan. Wajahnya samar. Rambutnya panjang, tidak berhijab. Padahal selama hidup, Ayub tidak pernah dekat dengan perempuan.
Kenapa bukan gadis berhijab yang sopan dan tau norma agama yang muncul dalam mimpi? Mungkin faktor lupa baca doa saat hendak tidur, akibatnya mimpi yang datangnya dari syetan mudah menghampiri. Pikirnya sembari menghela nafas.
Ia bangkit bangun dan duduk. Bola mata hitamnya melirik jam dinding.
Pukul 02.00, dini hari.
Ayub menghambur ke toilet menyerbu air keran dan berwudhu.
Ayub menghempaskan kening berbalut sorban di atas sajadah putih. Shalat tahajud. Seketika, kesejukan menyelimuti jiwa. Damai. Tenteram.
Tiba-tiba terdengar deritan pintu kamar Zul, tetangga sebelah yang kamarnya tepat berada di sisi kamar Ayub. Tak lama kemudian suara deru mesin motor meninggalkan rumah sebelah. Sepanjang yang Ayub tahu, Zul bekerja paruh waktu di sisa jam kuliah. Ia tipe manusia yang ulet dan giat.
Sunyi menyambut pagi. Seperti tak ada lagi kehidupan.
***
Salwa memasang seragam putih abu-abu dan berdiri di depan cermin hingga terpantul wajah cantik di dalam cermin tersebut. Rambutnya yang berkilau tergerai sepanjang punggung. Kedua tangannya dihias dengan berbagai macam pernak-pernik gelang dan cincin ala-ala anak jamn now. Sebuah jam mahal melingkar di pergelangan kanannya. Tak heran jika ia berpenampilan modis, jatah uang bulanannya lumayan banyak dan dia pergunakan untuk mempercantik penampilan supaya sederajat dengan teman-temannya. Selama ini dia selalu menuntut dan meminta pada Abahnya tanpa berpikir dua kali untuk hal itu.
“Duuuh... Aku mesti bayar uang sekolah pake apa? Mana Gurunya udah nagih-nagih terus lagi. Kan malu.” Salwa mengacak rambut kasar. Kemudian mukanya mendadak mendung, teringat Abah. “Abah, kenapa Abah tega ninggalin aku sendirian? Liatlah Abah, sekarang anakmu hidup sebatang kara. Aku mesti gimana sekarang? Hidupku kok jadi ngeri gini? Trus sekolahku gimana? Abah, aku kangen sama Abah.”
Suara deringan ponsel di meja mengejutkannya. Tangannya menjulur malas meraih ponsel di atas meja dekatnya duduk. Reina memanggil. Tak lain si pemilik ponsel. Dua minggu yang lalu, tepatnya sebelum Abahnya meninggal, ia meminjam ponsel plus motor Reina. Dan sekarang, apakah Reina akan meminta balik ponsel dan motor metiknya?
Ya ampun, motor metik Reina rusak. Bagaimana Salwa akan mengembalikannya?
“Halo, Rei.”
“Yaelah, Sal. Kebiasaan, deh. Tiga kali manggil baru dijawab. Lo dimana?” suara cerewet Reina menyahut di seberang.
“Di rumah.”
“Lah, ini udah jam berapa? Entar telat, loh. Bentar lagi bel bunyi. Nggak takut apa sama Pak Botak? Dia bakalan ngegantung leher elo di tiang bendera loh kalo tau ada muridnya yang telat. Iiih…… serem, ah. Eh, tunggu dulu, lo di rumah? Emangnya lo nggak tinggal di kosan lagi?”
“Nggak.” Salwa tidak mengabari teman-temannya perihal ayahnya yang meninggal. Ia hanya memberi tahu wali kelas, itupun ia kabari tiga hari setelah ia tidak hadir di sekolah tanpa keterangan. Wali kelas pun akhirnya memaklumi ketidakhadirannya selama tiga hari yang telah lewat.
“Trus apa kabar si merah?” Reina menyebut motor metiknya yang berwarna merah dengan nama si merah.
“Ba.. baik.”
“Nggak lo jual, kan?”
“Sembarangan. Gue masih waras kali. Motor lo di rumah gue.”
“Kenapa nggak pernah lo bawa ke sekolah?”
“Tenang aja, entar gue balikin.”
“Iya iya, gue becanda doang. Jangan marah. Udah, tenang aja, lo pake si merah sampe sebulan lagi juga nggak apa. Lagian gue udah dilarang Mama pake motor. Lo kan tau sendiri gue dianter jemput sama supir sekarang kalo ke sekolah.”
“Kalo soal ponsel, bentar lagi gue balikin, kok. Kemarin gue pinjem Cuma buat browsing di internet soal tugas sekolah. Ini udah selesai, buat apa juga gue pegang terus.”
“Nggak apa-apa kok lo pinjem lama. Gue kan punya dua ponsel.”
“Tetep aja, entar kalo rusak gue ngegantiiin lagi. Parah jadinya, kan?”
“Ya udahlah, kita omongin nanti soal ponsel. Kapan lo masuk? Bel udah bunyi, loh.”
“Gue nggak masuk sekolah.”
“Bolos? Idiih, nggak ajak-ajak.”
“Pokoknya gue nggak sekolah hari ini.”
“Kenapa? Sejak tadi suara lo nggak bersemangat gitu? Lo sakit? Ato barusan dipalakin orang? Tapi nggak diperkosa orang, kan? Oke oke, rumah lo di mana? Entar biar rame-rame kita jengukin.” Kemudian suara Reina yang cempreng berubah menjadi berbisik, “E eh, ya udah dulu ya, Sal. Pak Botak masuk.”
Tut tuth..... Terputus.
Gila ya Reina, diperkosa, dipalakin, sakit? Apaan sih? Salwa geleng-geleng kepala.
Salwa melempar ponsel ke atas spring bed. Dunia sepertinya sedang tidak bersahabat padanya. Belum sempat tarik napas, terdengar bunyi pintu diketuk.
Tok tok tok....
Ketukan pintu dari luar membuatnya bangkit berdiri dan segera menghambur ke depan untuk membuka pintu.
Sosok tubuh besar dengan lingkar pinggang 180 cm menyambut di depan pintu. Mukanya yang penuh dengan daging tampak sinis. Tubuhnya dihias banyak emas. Mulai dari anting-anting, kalung, gelang cincin dan jam tangan, semuanya terbuat dari emas.
“Kamu siapa?” tanya Salwa.
“Mak Lina, pemilik rumah kontrakan ini,” ketusnya.
Salwa menaikkan alis. “Trus kenapa?”
“Kenapa kenapa. Ya mau nagih uang kontrakan, dong.”
“Hah?”
“Jangan mangap! Gua butuh duit, bukan uap dari mulut lo.” Mak Lina berjalan memasuki ruang depan sembari mengipas-ngipaskan wajahnya dengan sebuah kipas yang sejak tadi dibawa.
Salwa memutar badan dan menatap punggung Mak Lina yang luasnya membuat kepala geleng-geleng.
“Kenapa malah ngeliatin? Mana uangnya?” Mak Lina menyodorkan telapak tangannya.
“Jadi kontrakannya belum dibayar, ya?” Salwa menggaruk belakang lehernya yang sebenarnya tidak gatal. Harus bayar pake apa? Daun? Pikirnya panik.
“Kalo udah dibayar, ngapain gue ngabis-ngabisin waktu jalan kaki ke sini? Udah, buruan sana ambil duitnya.”
“Jangan marah-marah, dong. Ya udah, bentar biar kucari uangnya.”
“Apa? Dicari? Emangnya harta karun pake di cari? Diambil, bukan dicari. Kok pake dicari segala?”
“Ya udah, tunggu sini,” sewot Salwa sebel. Kemudian ia masuk ke kamar di mana dulu tempat tidur Abahnya dan berjalan hilir mudik.
Kemarin, ia sudah menghabiskan waktu lima jam hanya untuk mengobrak-abrik isi rumah demi mencari uang yang siapa tahu ada yang terselip. Tapi hasilnya tidak seperti yang diinginkan. Abahnya hanya meninggalkan beberapa lembar uang di dompet. Dan itu hanya cukup untuk membayar uang buku, jajan di sekolah, dan membayar kosannya. Lalu dari mana ia akan mendapat uang untuk membayar kontrakan yang ditagih?
Sekarang, nasibnya benar-benar buruk. Seperti telur di ujung tanduk. Ia terancam dikeluarkan dari sekolah. Terancam diusir pemilik kontrakan rumah. Kemana ia akan tinggal? Mau jadi apa jika ia tidak punya tempat tinggal? Gelandangan? Tidur di jalanan? Ia benar-benar hidup sebatang kara. Tidak punya saudara.
“Ya ampun, aku mesti gimana, dong?” Salwa menggenggam erat telapak tangannya, lalu mengacak rambut kasar. Menggigit bibir. Mengetuk-ngetuk pelipis dengan telunjuk jari.
Tapi akhirnya ia sadar, dengan berjalan hilir mudik seperi yang sekarang dilakukannya, uang tidak akan jatuh dari langit. Yang ada ia hanya akan membuang-buang waktu saja. Dan si gendut di luar pasti akan semakin murka akibat kelamaan menunggu. Akhirnya ia mengganti seragam putih abu-abu yang dikenakannya dengan gaun. Lalu keluar dan tersenyum lebar berusaha mencari kedamaian.
“Bukan senyum yang gue minta, tapi duit.” Mak Lina kembali menyodorkan telapak tangannya.
“Bisa kasih gue waktu?”
“Lo pikir ini lapangan? Bisa seenaknya sembarangan orang numpang tidur gratis?” bentaknya membuat Salwa membeku di tempat.
***