07. Surat

1283 Kata
Tak lama kemudian Salwa keluar dari dalam rumah dengan mata memerah. Air mata hampir tumpah dari sudut pelupuk mata. Tak mau ketahuan sedang menangis, Salwa segera mengalihkan pandangan saat bertukar pandang dengan Ayub. Tapi tetap saja Ayub mengetahuinya. Perempuan paruh baya berpenampilan glamour menyusul keluar dari dalam rumah. Dengan muka sinis dan berkacak pinggang, perempuan bertubuh gemuk itu mengangkat dagu dan memicingkan mata. Lalu ia mengunci pintu rumah dengan gerakan kasar. “Ada apa ini, Mak?” Ayub mengedarkan pandangan ke sekitar. “Rumah ini kukunci,” ujarnya sembari melirik Salwa sewot. “Bukan maksudku ikut campur, tapi kenapa harus dikunci? Lalu Salwa….” “Dia harus angkat kaki,” potong Mak Lina. “Dia nggak bisa bayar kontrakan. Memangnya dia mau bayar pake apa? Kalo ada sepuluh orang kayak dia, aku bisa rugi.” “Salwa sedang berduka. Seenggaknya kita bicarakan baik-baik dulu.” “Udah hampir dua minggu sejak ayahnya meninggal loh aku nggak nagih uang kontrakan. Tapi selama itu dia nggak bayar-bayar juga. Kurang baik apa aku sama dia? Sekarang pas kutagih, dia cuma bisa mangap. Ya udahlah, dia harus angkat kaki dari sini.” “Kasih kesempatan beberapa hari lagi untuk Salwa nyari tempat tinggal yang baru.” “Bukan urusanku. Aku udah baik banget ngasih dia tumpangan gratis selama hampir dua minggu. Kalo dia mau, dia bisa tinggal di masjid, itu kan rumah Allah. Siapa aja bisa tinggal di sana.” Mak Lina kembali melempar lirikan pedas ke arah Salwa. “Rumah Allah untuk tempat beribadah, Mak. Bukan tempat penampungan,” terang Ayub. “Untuk shalat, ngaji, berdoa, dan berbagai kegiatan yang berkaitan agama. Kalo ada puluhan orang tinggal di tempat ibadah, maka masjid bisa beralih fungsi, bukan lagi sebagai tempat ibadah, tapi tempat memasak, makan dan tidur. Lemari tempat menyimpan Al Qur’an akan diganti dengan piring-piring dan gelas, lantai tempat sujud akan diganti dengan puluhan orang yang berjejer tidur kayak ikan asin. Tempat wudhu diganti dengan antrian orang mandi. Sebagai umat muslim seharusnya mengajak meramaikan masjid ibadah, bukan malah mengalihkan fungsinya.” Perfect, gaya bicara Ayub yang berwibawa, berhasil membuat Mak Lina takluk dan tidak bisa membantah. Bukan hal sulit bagi Ayub meluruskan kebenaran, mengajak kebaikan dan menasihati seseorang. Sebab selama di pondok, ia sudah terbiasa berceramah. Mak Lina garuk-garuk kepala meski tidak gatal. Menyadari kesalahan ucapannya. “Sekarang gini aja…” “Bukannya aku yang diusir, kenapa malah kamu yang repot?” hardik Salwa memotong ucapan Ayub. Ayub sampai terbengong mendengar hardikannya. Suaranya yang seharusnya merdu itu menjadi tak enak didengar karena intonasi nadanya tinggi. Pandangannya pun culas. “Nah, kamu denger kan? Kamu nggak perlu repot-repot ngurusin dia.” Mak Lina berkacak pinggang. Seulas senyum meledek Salwa. “Salwa, sesama muslim itu saudara. Dan sesama saudara wajib saling menolong. Gini aja, tinggalah di rumah Nur, hanya dia satu-satunya perempuan yang nggak punya saudara laki-laki di sekitar sini. Aku akan minta ijin padanya. Mudah-mudahan Nur dan orang tuanya bisa menerimamu.” Nur, gadis berkerudung yang rumahnya berhadap-hadapan dengan rumah Ayub. Dia guru TK. Anak semata wayang dari keluarga mampu. Salwa menatap Ayub dengan tatapan tak menentu. Antara kesal, sedih, marah, ingin menangis, dan ingin menolak. “Ini hanya untuk sementara. Beberapa hari aja,” bujuk Ayub demi mendapat persetujuannya. “Enggak,” jawab Salwa lantang. “Aku nggak kenal siapa Nur.” Ayub menarik napas, ia tidak bisa memaksa. Gadis cilik itu pasti merasa canggung tinggal di tempat orang yang tidak dikenalnya. “Oke, gini aja, kalau kamu bersedia, akan kubayar uang kontrak sebulan ke depan, berikutnya kita akan cari solusi lain.” “Apa menurutmu itu ide terbaik?” tanya Salwa masih ketus. “Aku adalah teman baik Abahmu. Beliau udah kayak ayahku sendiri. Beliau memberiku amanah agar aku ngejagain kamu. Kamu setuju?” Salwa tidak menjawab. Sesungguhnya ia menyetujui, tapi yang ia lakukan sekarang hanyalah diam membisu. “O ow, sayangnya aku udah nawarin rumah ini sama orang yang bisa bayar lebih mahal,” sela Mak Lina. Dahi Ayub mengernyit. Mak Lina sedang mencari kesempatan di tengah kesempitan. Kantong Ayub jadi sasaran. “Oke oke, aku akan bayar sesuai harga yang Mak tawarkan dengan orang itu. Gimana?” tanya Ayub berharap. Mak Lina berpikir sebentar. Lalu berkata, “Oke, ide bagus. Nanti antar uangnya ke rumah.” Mak Lina meletakkan kunci rumah ke telapak tangan Ayub kemudian berlalu pergi sambil bersiul. “Apa harus sampai ngorbanin duit?” bisik Zul di telinga Ayub. “Segitu perdulinya kamu sama Salwa? Emangnya dia siapamu?” Ayub tidak bisa menjawab pertanyaan Zul. Ia sendiri tidak tahu kenapa hatinya tergerak sedemikian kuat untuk menolong Salwa. Yang ia tahu, yatim piatu seperti Salwa adalah tanggung jawab muslim lainnya. Dan ia akan menjadi manusia paling kejam bila membiarkan yatim piatu yang hidup berteangga dengannya hidup dalam kesulitan. Ayub memutar kunci pintu. Mengangkati koper dan barang-barang yang berserak di lantai halaman dan membawanya masuk ke dalam rumah. Seperti terhipnotis, Zul membantu mengangkati barang-barang itu. “Aku salut sama manusia berjiwa penolong kayak kamu,” bisik Zul. Ayub tidak menghiraukan. Begitu keluar rumah, tampak Salwa memunguti buku-bukunya yang berserak lalu melemparnya ke teras. “Kenapa diserakin disini? Itu buku-buku pelajaranmu,” heran Ayub melihat tingkah laku Salwa. Salwa menoleh dan menatap lelaki tampan di sisinya. “Aku udah nggak sekolah lagi. Untuk apa lagi kusimpan?” ketus Salwa. Ayub menarik nafas. Iba. Muka Salwa yang pahit jelas menggambarkan kekecewaan karena harus meninggalkan bangku sekolah. “Bayar kontrak aja aku nggak bisa, gimana caranya aku bisa dapet uang untuk biaya sekolah? So, jangan banyak tanya,” lanjut Salwa semakin ketus. Heran, kenapa sikap gadis kecil itu jutek? Culas. Apa memang begitu dari sononya? Ayub geleng-geleng kepala. “Untung cantik, kalo jelek, udah kujitak kepalanya. Sewot mulu. Nggak tau udah dibantuin apa?” bisik Zul di telinga Ayub. Ayub menyikut perut Zul dan berhasil membuat Zul membungkam. “Oya, aku dapet ini!” Zul menyerahkan beberapa lembar kertas. Ayub menyambut kertas itu dan membaca isinya dengan seksama. Ia mengenal tulisan tangan itu. Tulisan Abah Rasyid. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh… Salwa, anakku yang manis, Dalam kertas putih ini, abah ingin menorehkan tinta hitam bukan untuk mengotorinya, melainkan ingin menjadikannya pengetahuan untukmu. Sebelum abah menyampaikan pesan, terlebih dahulu abah ingin memberitahumu sedikit tentang kemuliaan Rosulullah. Dalam kehidupan Nabi, ia telah memberi posisi yang teramat tinggi bagi peningkatan harkat martabat perempuan, itu dapat dilihat jelas melalui pernikahannya. Istri yang dinikahi nabi kebanyakan adalah janda-janda yang dengan pernikahan itu kedudukan dan harkat para janda itu lebih terjaga. Kehidupan berat yang disandang para janda beserta tanggungan anak-anak membuat pernikahan mereka dengan nabi menjadi satu anugerah, juga batu lompatan bagi keselamatan hidup mereka. Itulah pernikahan nabi yang begitu mengangkat derajat perempuan. Salwa, Anakku yang sangat kucintai, dari kisah nabi itu, abah hanya ingin kamu menangkap tujuan dari pernikahan nabi, tak lain untuk meningkatkan derajat perempuan. Salwa sayang, apabila abah meninggal nanti, abah ingin kamu menikah dengan Ayub, dia laki-laki yang salih. Laki-laki yang bisa mengangkat derajat perempuan. Siapa lagi yang bisa melepaskanmu dari penderitaan hidupmu dengan tujuan mengangkat derajat perempuan jika bukan laki-laki yang hidupnya ditujukan untuk beribadah? Ayublah orangnya. Harapan abah, Ayub akan membimbingmu menjadi istri yang salihah. Mendidikmu dengan penuh kelembutan. Mengingatkanmu ketika kamu salah dan lalai. Juga membimbingmu sampai di akhir nafasnya. Semoga Ayub bersedia menikahimu. Wassalam… Salam kecup sayang, Rasyid, abah yang sangat menyayangimu “Aku dapet surat itu dari kotak ini.” Zul memperlihatkan sebuah kotak kecil terbuat dari kayu yang dipegangnya. Ayub menatap Salwa. Yang ditatap langsung mengalihkan pandangan ke bawah ketika pandangan mereka bertabrakan. Kemudian Salwa masuk ke dalam rumah. “Apa artinya itu surat wasiat?” tanya Zul penasaran. Ayub memasukkan kertas ke dalam kotak dan membawanya ke dalam rumah, meletakkannya di atas lemari. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN