04. Sedih

1326 Kata
Mobil merangkak memasuki area komplek perumahan. Sebelum sampai rumah yang dituju, mobil melintasi rumah kontrakan Abah Rasyid. Ayub menegakkan posisi duduk saat melihat sehelai kain yang tiangnya ditancapkan tepat di depan rumah Abah Rasyid. Pertanda ada yang meninggal dunia. Beberapa orang tampak lalu lalang keluar masuk rumah itu. “Stop! Stop!” seru Ayub. “Aku turun di sini. Makasih udah nganterin.” Ayub turun dari mobil dan berlari memasuki rumah Abah Rasyid. Ayub memasuki rumah. Kakinya gemetar ketika berdiri di tengah-tengah ruangan dan melihat sesosok tubuh terbujur tepat di atas kasur tempat Abah Rasyid berbaring pagi tadi. Kain kafan menutup seluruh tubuh itu. Beberapa orang duduk mengelilinginya. Rasa dingin menjalar di sekujur tubuh Ayub. Lemas. Tak bertenaga. Ayub duduk bersimpuh didekat tubuh yang terbujur. Lalu membuka kain kafan yang menutup wajah Abah Rasyid. Lelaki paruh baya itu terpejam menyungging senyum. Wajahnya putih bersih seperti sedang tertidur. Ayub terpaku dan tak dapat berkata-kata. Ia tahu, semua manusia akan kembali kepada-Nya. Tapi rasanya ini terlalu cepat. “Huu huuuu.. Hiks....” Suara isak tangis memecah keheningan. Kepala Ayub mengikuti sumber suara tepat di sebelahnya, seorang gadis menangis sesenggukan, kepala gadis itu menyandar di d**a Harun. “Sabar. Kamu yang ikhlas. Ini takdir Allah,” ucap Harun sembari menyentuh pundak gadis itu. “Kenapa kamu nggak ngabarin aku?” tanya Ayub membuat Harun merasa bersalah akibat telat memberi informasi. “Baru setengah jam Abah Rasyid menghembuskan nafas terakhir. Aku belum sempet ngabarin,” terang Harun. Gadis cantik yang masih belia itu bangun dari sandarannya dan menoleh ke arah Ayub. Dahi Ayub mengernyit ketika bersitatap dengan gadis itu. Sepertinya ia pernah melihat wajah gadis itu. Tapi dimana? Ayub mengingat-ingat. Setelah melihat seragam putih abu-abu dan luka lecet di siku tangan gadis itu, ia baru sadar bahwa gadis itu adalah orang yang menabraknya pagi tadi. Gadis itu tidak berkedip menatap Ayub. “Ini Salwa, anak Abah Rasyid.” Harun menunjuk gadis berwajah cantik itu. “Salwa datang sejak pagi tadi. Dan dia nungguin di sini. Abah Rasyid menangis saat melihat kedatangan Salwa. Lalu meminta agar Salwa membuka kotak yang pernah beliau pesankan padamu. Terakhir, beliau mengucap syahadat.” Ayub menutup kain di wajah Abah Rasyid. Lalu pandangannya kembali ke wajah Salwa yang sembab, basah oleh buliran air mata. Ingatan Ayub melayang pada kejadian satu minggu yang lalu. Ketika itu ia sedang duduk santai berdua dengan Abah Rasyid. “Ini untuk Abah.” Ayub meletakkan secangkir kopi ke meja. Abah Rasyid tersenyum lalu menyeduhnya. “Seharusnya Abah yang menyediakan air minum untukmu, ini kan di rumah Abah.” “Abah kayak baru kenal aku sehari aja.” Ayub tersenyum menatap pria tengah baya yang sudah bertahun-tahun menjadi tetangga. Abah Rasyid bukan hanya tetangga saja, tapi seperti saudara, teman, atau ayah bagi Ayub. Sudah banyak yang Abah Rasyid lakukan untuk Ayub, dan bisa dibilang Ayub belum bisa membalas kebaikan Abah Rasyid. Kebaikan yang tidak bisa disebutkan satu-satu, akan memakan waktu semalaman untuk membahasnya. Abah Rasyid memandangi wajah Ayub cukup lama. Ayub menangkap harapan di dalam mata yang memandangnya itu. “Ayub, Abah punya anak perempuan. Namanya Salwa. Dia masih sekolah.” Ayub mengangguk. Tentunya anak semata wayang yang sering Abah Rasyid ceritakan, yang selama ini tinggal di Sumatera bersama Bibinya setelah Ibunya meninggal di usia Salwa yang masih tiga tahun. “Beberapa bulan yang lalu, bibinya Salwa meninggal dunia. Abah sudah menjemput Salwa dan mengajaknya ke Jakarta. Sekarang Salwa tinggal di kos-an dekat sekolahnya. Dia kelas sebelas di SMA 09. Usianya baru lima belas tahun lebih, minat sekolahnya sangat tinggi, dia cerdas, pintar, tapi….. sedikit bandel.” Abah diam untuk menarik napas. “Abah ingin aku menjemputnya?” Ayub menerka-nerka. “Tidak. Abah ingin kamu tahu, selain Abah, Salwa tidak punya siapa-siapa lagi. Dia hidup sebatang kara. Dia tidak punya penghasilan. Bahkan dia tidak memiliki tempat tinggal. Lalu bagaimana nasibnya jika aku meninggal nanti?” mata Abah Rasyid berkaca-kaca. Oh Tuhan…. Ternyata inilah jawaban dari kegundahan yang sejak tadi terlihat di matanya. “Selama ini Abah tidak pernah dekat dengan Salwa. Salwa tumbuh menjadi gadis yang tidak mendapat pendidikan dari ayah dan ibunya. Abah sedih jika harus meninggalkannya sendirian. Bagaimana akhlaknya? Abah takut di akhirat nanti akan bertengkar dengannya karena tidak sempat mendidiknya.” Abah Rasyid berhenti sejenak. Tatapannya nanar menembus bola mata ayub. “Ayub, dia sebatang kara. Dan aku hanya percaya pada orang sepertimu. Jika aku meninggal, nikahilah dia. Bimbing dia.” Sesaat Ayub tercekat. Ternyata itulah akhir dari maksud ucapan Abah Rasyid. Ayub tidak bisa menjawab. “Tolong berikan kotak di atas lemari itu pada Salwa.” Abah Rasyid menunjuk sebuah kotak kecil terbuat dari kayu berwarna cokelat yang terletak di atas lemari. Lamunan Ayub buyar saat mendengar isak tangis. Salwa sesenggukan, sesekali mengucek-ucek hidung dan mata hingga membuat ujung hidungnya yang mancung memerah. Meski dalam keadaan menangis, matanya yang indah itu masih terlihat menawan. Rambutnya lurus hitam sepanjang pinggang. Tangannya memegangi kotak kayu berwarna cokelat yang dipesankan Abah Rasyid. Ayub mengalihkan pandangan ke kain kafan saat kedua kalinya tatapannya beradu dengan mata Salwa. “Kasian Salwa, dia terburu-buru di jalan sampe-sampe nabrak orang. Dan lihatlah, dia terluka.” Harun menunjuk luka di siku tangan Salwa. Ayub melirik sebentar. Andai Harun tahu orang yang ditabrak Salwa adalah Ayub, entahlah.... Tanpa mengulur waktu, para tetangga yang dapat dipercaya memandikan jenazah. Dalam hitungan menit, telah banyak warga yang berkumpul. Menyaksikan jenazah hingga ikut menyolatkan. Iring-iringan pengantar jenazah bergegas meninggalkan pelataran rumah usai melaksanakan shalat jenazah. Masing-masing orang berusaha meraih usungan peti jenazah dalam perjalanan menuju pemakaman dengan mempercepat langkah. Nabi mengajarkan agar dalam mengantar jenazah hendaknya mempercepat langkah. Dengan bergegas membawa jenazah, bila jenazah itu orang salih, berarti segera membawanya menuju kebaikan. Begitu erat tali kasih sesama umat muslim setiap ada yang berduka. Tak perlu ada himbauan, mereka berbondong-bondong menyegerakan proses pemakaman. Salah satunya bertujuan untuk menguatkan ikatan persaudaraan dan memperdalam kesetiaan antar umat muslim. Sebelum maghrib, proses pemakaman telah usai. Semua yang hadir dalam pemakaman berangsur-angsur meninggalkan tanah gundukan. Hanya tinggal Salwa, Ayub dan Harun yang masih bertahan di sana. Salwa jongkok di sisi papan nama almarhum. Beberapa orang ibu-ibu telah membujuknya pulang, tapi ia tidak mau. Ayub dan Harun berdiri di belakangnya. Entah apa yang membuat Ayub masih terpaku di sana? Dan Harun, tak tahu juga kenapa ia masih disana? Mungkin ia menunggu Ayub beranjak. Sementara kaki Ayub terasa berat untuk melangkah. Suara mengaji di masjid bersahut-sahutan. Pertanda adzan maghrib sebentar lagi akan berkumandang. Hawa panas berganti dengan hawa dingin. Pemandangan hampir remang-remang. “Salwa, pulanglah. Udah hampir maghrib,” bujuk Ayub seraya mendekati gadis belia itu. Salwa mendongak. Melihat Ayub yang berdiri di sisinya. Matanya yang sembab dikelilingi warna merah. Ayub tertegun. Sedih sekali melihat wajah Salwa yang basah. Tak tega. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Mengiburnya? Membujuknya? Atau ikut duduk di sisinya? Ah, tidak. Ayub tidak melakukan apa-apa. Cukup berdiri saja di sisi Salwa, menatap muka Salwa yang lelah. Salwa pasti bingung, bagaimana kelanjutan nasib hidupnya? Sekolahnya? Tinggal dimana? Tentu ia merasa masa depannya cukup rumit. “Abahmu udah berada di tempat yang terbaik,” lanjut Ayub. “Pulanglah. Nggak baik kalo kamu masih disini.” Salwa masih menatap Ayub tanpa mengucapkan sepatah kata. Ia sedang berpikir sesuatu tentang Ayub. “Ayo, pulanglah. Abahmu disayang Allah, makanya Allah begitu cepat memanggilnya,” kata Ayub lagi. Masih tidak beranjak, Salwa diam dan bertahan pada posisinya. “Emangnya kamu nggak takut sendirian di kuburan? Bentar lagi gelap, loh.” Ayub berusaha membujuk dengan cara berbeda. Sedikit bergurau. Usahanya tidak berhasil. “Cewek cantik nungguin kuburan? Nggak aneh, gitu? Entar ditemenin makhluk gede, item, berewokan, dan sangar. Mau?” “Itu mah Ayub nyamar jadi genderuwo,” lirih Harun yang tidak terdengar oleh Salwa. Kali ini muka Salwa berubah, agak takut membayangkan apa yang dikatakan Ayub. Kemudian ia bangkit berdiri dan berjalan pergi tanpa sepatah kata. “Kasian. Sekarang Salwa sebatang kara.” Harun mengamati langkah kaki Salwa yang lemas. Ayub tidak mengomentari. Ia melangkahkan kaki meninggalkan pemakaman. “Tungguuu!” Harun berlari mengikuti. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN