03. Cewek Selalu Benar

879 Kata
Nabila mengambil tisu dari dalam mobil dan mendekati Ayub. “Ini akan sedikit sakit.” Nabila menjulurkan tangan ke wajah Ayub. “Mau ngapain?” Ayub memundurkan wajah melihat tangan Nabila memegangi tisu. “Mau bersihin lukamu.” “Ooh… Kirain mau ngapain.” Akhirnya Ayub diam saja ketika tangan halus Nabila membersihkan darah di pelipisnya menggunakan tisu. Namun ketika tisu mengenai lukanya, ia pun berteriak, “Aaw…” Nabila tersenyum. Baru kali itu ia melihat sosok lelaki yang selama ini kuat dan tangguh mengaduh kesakitan. “Sakit?” tanya Nabila sedikit meledek. “Enggak. Enak, kok.” Lagi, Nabila tersenyum. “Lama lagi?” tanya Ayub sedikit merintih. “Kamu kan cowok, masak gitu aja kesakitan.” “Jadi cuma cewek yang boleh kesakitan?” “Dari jaman batu, cewek dilahirkan untuk mengaduh dan mengeluh. Dan cowok adalah tempat mengeluh. Nah, kalo cowoknya aja udah ngeluh, kemana lagi tempat cewek mengadu?” “Bener kata orang, cewek selalu benar.” “Dan selalu nomer satu.” Nabila tersenyum simpul setelah mengungkapkan kalimatnya. Ayub tidak berkomentar lagi. Setahunya, Nabila terkesan pendiam dan hanya akan bicara mengenai urusan kuliah saja. Tapi setelah mengenal lebih dekat begini, ternyata Nabila lebih renyah dan supel. “Masuklah ke mobil,” ajak Nabila. Ayub mengangguk dan melangkahkan kaki, tertatih. Supir buru-buru memegangi lengan Ayub dan memapahnya, lalu membukakan pintu mobil. Supir memutari mobil dan duduk di bagian kemudi. Ayub di sisinya. Nabila menyusul masuk ke mobil, duduk di jok belakang. Mobil melesat cepat setelah supir menginjak gas. “Ini milikmu?” Nabila menyerahkan dompet tipis yang sudah tidak ada isinya lagi. “Ya.” Ayub meraih dompet itu. Mobil berhenti di sebuah toko sesuai perintah Nabila. Gadis itu membelikan kopiah putih dan baju koko untuk menukar pakaian Ayub yang sudah sobek. Lagi-lagi, Ayub tak dapat menolak tawaran Nabila. *** Seorang dokter laki-laki membalut luka di kening dan pelipis Ayub dengan perban. Lalu dokter itu menyerahkan obat yang jumlahnya memabukkan. Padahal Ayub paling anti dengan bau obat. Apalagi obat yang ia terima sekarang segede jempol. Yang jadi pertanyaan sekarang, bagaimana caranya menelan obat sebesar itu? Sepertinya ia harus kembali mengingat masa kecil, makan pisang, setelah pisang agak lumat, maka ia akan memasukkan obat ke tengah-tengahnya dan merem melek saat menelannya. Muka Ayub memanas malu melihat Nabila mengeluarkan dompet cantik dari dalam tas dan membayar biaya pengobatan. Hari ini Nabila sudah melakukan perbuatan baik bertumpuk-tumpuk. Ayub jadi segan. Mereka kembali ke mobil setelah urusan selesai. Hembusan angin AC menyejukkan tubuh dan pikiran mereka. Mobil melaju meninggalkan klinik. Supir mengemudi dengan penuh konsentrasi. Nabila menarik buku dari dalam tas dan mulai terlihat asik membacanya. Di sampulnya terlihat gambar masjid, jelas yang sedang ia baca adalah buku bernuansa islami. Nabila memang hobi membaca. Setelah satu buku habis terbaca, buku lainnya menjadi santapannya. Ingatan Ayub melayang pada kejadian di masjid Raya tadi. Ratusan orang sudah memenuhi masjid dan menanti pengajian dimulai ketika ia datang. Ustad Zaki menyambut riang setelah cukup lama menanti kedatangannya. Beliau memahami keterlambatan Ayub setelah Ayub menceritakan kejadian hingga akhirnya telat datang. Beliau juga merubah posisi duduk pembawa acara. Yang tadinya kursi agak jauh dari mimbar, kini lebih dekat dengan mimbar. Telah disediakan mikrophone beserta tiangnya di depan kursi sehingga mempermudah gerakan tubuh Ayub, ia tidak perlu melangkahkan kaki untuk menjangkau mikrophone. Ayub kagum dengan sikap Ustad Zaki dalam menyikapi kesulitan orang lain. Dulunya, Ustadz Zaki adalah pecandu narkoba, gila perempuan, hobi dugem, padahal ia jebolan pesantren. Tapi setelah menikah, ia berubah seratus delapan puluh derajat. Istrinya berhasil membimbingnya menjadi suami yang taat agamanya. Ustad Zaki melupakan dunia malam. Meninggalkan narkoba. Kini dakwah yang menjadi tujuan hidupnya demi memberi ilmu yang bermanfaat bagi pendengarnya. Satu hal yang membuat Ayub kagum, kehidupan Ustad Zaki yang kini kaya raya bukan merupakan hasil dari upah berdakwah, sering kali ia menolak amplop dari jadwalnya yang selalu padat dengan panggilan dakwah. Karena memang dakwahnya tidak diberi tarif. Alias gratis. Ia malu pada Allah jika ilmu yang ia sampaikan diberi bayaran. Ia sadar segala karunia Allah diberikan kepada manusia dengan gratis. Firman Allah diturunkan untuk dipelajari juga gratis. Maka tak sepantasnya ia memberikan ilmu Allah kepada orang lain dengan mengharapkan tarif. Da’i kondang itu menjadi kaya berkat kegigihannya dalam berbisnis hingga ia memiliki sebuah perusahaan besar penerbit buku islam. Tidak seperti teman-temannya yang mengaku Da’i namun menjadi kaya-raya berkat hasil berdakwah, artinya dakwah bertujuan untuk mengumpulkan harta dunia. Bahkan ada yang tidak bersedia memenuhi undangan dakwah bila tidak sesuai dengan tarif. Dulu, ketika Ayub masih mondok di pesantren, Ustaz Zaki sering datang ke pesantren saat memenuhi undangan dakwah. Usai berdakwah, beberapa kali beliau menemui Ayub dan bertukar pikiran. Beliau kagum pada pertanyaan-pertanyaan yang Ayub lontarkan dalam sesi tanya jawab disetiap dakwahnya. Disamping Ayub lulusan pesantren, statusnya yang kini sedang mengenyam pendidikan di Universitas islam terkemuka di Indonesia, menjadi pandangan tersendiri bagi Ustaz Zaki. Beliau juga tahu, Ayub hafal Al Qur’an. Beliau memandang Ayub memiliki kelebihan dan kemampuan di bidang agama. Ah, Ayub rendah diri bila mengingat itu. Ia merasa belum memiliki ilmu setinggi mereka yang mampu menyampaikan dakwah di depan ribuan umat. Saat ini dakwah yang ia lakukan hanya melalui n****+ garapannya yang terbit dan sudah beberapa kali dicetak ulang. Ia tidak menggunakan uang honor untuk diri sendiri, melainkan untuk membantu perehapan masjid. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN